Cari Blog Ini

Hanzhalah bin Abi Amir

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok-sosok terbaik dari umat ini. Allah pilih mereka untuk menemani dan menyertai Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam membangun sendi-sendi dakwah Islam. Mereka pula rawi-rawi terpercaya yang menjadi sebab tersampaikannya khazanah ilmu Islam kepada kita. Tanpa sebab mereka, kita buta. Tanpa sebab mereka kita tak mengerti bagaimanakah semestinya menjalani hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang mereka,
خَيۡرُ أُمَّتِي الۡقَرۡنُ الَّذِي بُعِثۡتُ فِيهِمۡ
“Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di tengah-tengah mereka.” [H.R. Muslim]

Dengan demikian, mencintai seluruh sahabat Nabi pun menjadi sebuah keniscayaan. Bersihnya kalbu dan lisan dari rasa benci dan celaan terhadap mereka adalah kewajiban. Dan mengkaji kisah hidup mereka juga suatu kemestian bagi setiap orang yang menginginkan teladan. Karena kita yakin, mereka benar-benar generasi pilihan yang Allah gariskan untuk menyertai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebaik-baik hamba Ar-Rahman.

Hanzhalah bin Abi Amir Al Anshari Al Ausi tercatat sebagai salah satu dari mereka. Sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, termuat dalam biografi beliau banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita petik. Berikut uraian singkat tentang pribadi dan keutamaan beliau, serta sebagian dari apa yang beliau alami semasa hidupnya.

Nama lengkap beliau adalah Hanzhalah bin Abi Amir bin Shaifi bin Zaid bin Umayyah bin Dhabi’ah. Beliau dari Bani Amr bin Auf yang merupakan bagian dari kabilah Aus, salah satu dari dua kabilah di Madinah yang disebut Al Anshar. Dengan demikian, beliau turut meraih berbagai keistimewaan yang disandang oleh Al Anshar pada umumnya. Seperti dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الۡأَنۡصَارُ لَا يُحِبُّهُمۡ إِلَّا مُؤۡمِنٌ، وَلَا يُبۡغِضُهُمۡ إِلَّا مُنَافِقٌ، فَمَنۡ أَحَبَّهُمۡ أَحَبَّهُ اللهُ، وَمَنۡ أَبۡغَضَهُمۡ أَبۡغَضَهُ اللهُ
“Al Anshar, tidak ada yang mencintai mereka kecuali seorang mukmin. Dan tidak ada yang membenci mereka kecuali seorang munafik. Maka barang siapa cinta kepada mereka, Allah akan mencintainya. Dan barang siapa benci kepada mereka, Allah pun akan membencinya.” [Muttafaqun ‘alaihi].

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Mekah dan tiba di kota Madinah, kaum Al Anshar menyambut beliau dengan penuh kegembiraan, dan sebagian dari mereka yang belum berislam pun menyatakan keislaman. Di antara mereka adalah Hanzhalah. Dia berislam dan bagus keislamannya.

Berbeda halnya dengan Abu Amir[1], ayah Hanzhalah. Kedudukannya sebagai pemimpin kabilah Aus di masa jahiliah justru menyebabkannya celaka. Dia dengki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas karunia yang Allah berikan kepada beliau. Dia memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan enggan untuk beriman. Bahkan dia pergi meninggalkan Madinah karena teramat benci kepada Islam[2]. Sempat Hanzhalah meminta izin untuk membunuhnya tapi tidak Nabi perkenankan. Terus Abu Amir demikian, hingga ia mati di atas kekafiran. Na’ûdzu billâh.

Hanzhalah Gugur sebagai Syahid


Kurang lebih tiga tahun berselang, sejak Hanzhalah pertama kali merasakan manisnya iman dan melihat indahnya menjalani syariat Islam. Hidup bersama manusia-manusia pilihan dengan teladan seorang utusan kepada seluruh alam, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah takdirkan kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy berperang.

Terabadikan pada bulan Syawal tahun ketiga hijriyah, pecah pertempuran Uhud antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di kaki bukit Uhud yang berjarak 5 mil dari Masjid Nabawi. Pasukan Quraisy datang untuk membalas dendam atas korban-korban mereka yang terbunuh pada perang Badar setahun silam.

Di awal-awal pertempuran seolah kemenangan telah terjanjikan untuk pasukan Islam. Namun alur cerita berbalik di akhirnya. Kenyataan pahit mesti dirasakan oleh pasukan muslim kala itu. Kekalahan harus diterima oleh kaum muslimin dengan sabar. Hanzhalah pun ikut gugur di antara ketujuh puluh syuhada. Hanzhalah dibunuh oleh Syaddad ibnul Aswad yang juga dikenal dengan Ibnu Sya’ub Al Laitsi.

Runut cerita, saat berjumpa dengan pasukan musuh di medang perang, Hanzhalah segera melaju cepat ke depan. Dia terus membelah barisan musuh hingga mencapai letak Abu Sufyan Shakhr bin Harb, komandan pasukan lawan. Hanzhalah berhasil menghempaskannya ke tanah dan hampir membunuhnya. Tapi siapa sangka, justru Hanzhalah yang terbunuh dengan tebasan pedang Syaddad ibnul Aus yang datang seketika.[3]

Demikianlah Allah pilihkan untuk Hanzhalah jalan kemuliaan sebagai syahid. Peringkat di bawah para nabi dan para shiddiqin. Sebuah keistimewaan yang tak setiap insan dapat mencapainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَحَدٌ يَدۡخُلُ الۡجَنَّةَ يُحِبُّ أَنۡ يَرۡجِعَ إِلَى الدُّنۡيَا وَلَهُ مَا عَلَى الۡأَرۡضِ مِنۡ شَيۡءٍ إِلَّا الشَّهِيد يَتَمَنَّى أَنۡ يَرۡجِعَ إِلَى الدُّنۡيَا فَيُقۡتَل عَشۡرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنَ الۡكَرَامَةِ
“Tak ada seorang pun yang masuk ke dalam janah ingin kembali ke dunia meskipun untuknya segala kenikmatan yang ada di bumi, kecuali seorang syahid. Dia berangan-angan kembali ke dunia kemudian terbunuh sepuluh kali lagi, dengan sebab apa yang dia lihat berupa kemuliaan (bagi seorang syahid).” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]

Hanzhalah Ghasilul Malaikah


Dengan segera pasukan musyrikin bertolak kembali ke Mekah seusai pertempuran Uhud. Kaum muslimin pun leluasa untuk mulai berkeliling memeriksa saudara-saudara mereka yang menjadi korban di medan laga, baik mereka yang terluka maupun yang meninggal dunia. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di antara jenazah-jenazah para syuhada. Beliau memandang mereka seraya berkata, “Aku adalah saksi untuk mereka pada hari kiamat. Sungguh, tak ada seorang pun yang terluka di jalan Allah melainkan Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah. Warnanya warna darah. Aromanya aroma kesturi.”

Di salah satu sudut, mereka dapati jasad Hanzhalah diam tergeletak di atas tanah. Tapi anehnya, jasad tersebut basah dan terlihat air menetes-netes darinya. Menjawab keheranan para sahabat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu bahwa beliau melihat beberapa malaikat tengah memandikannya.

“Temuilah istri Hanzhalah! Dan tanyakanlah perihal Hanzhalah kepadanya!” perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat. Datanglah mereka kepada istri Hanzhalah yang bernama Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Salul dan menanyakannya. Dia menjawab, “Hanzhalah berangkat dalam keadaan junub ketika mendengar panggilan jihad.” Mendengar penjelasan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata menanggapi, “Oleh sebab itulah dia dimandikan oleh para malaikat.” Semenjak itu Hanzhalah disebut dengan Ghasilul Malaikah dan dibangga-banggakan oleh kabilah Aus.

Kala itu Hanzhalah dan Jamilah adalah sepasang pengantin baru yang tak lebih dari satu malam bertemu. Allah memberkahi perjumpaan keduanya yang singkat itu. Jamilah mengandung janin Hanzhalah dan melahirkan sembilan bulan kemudian. Bayi itu diberi nama Abdullah.

Benar-benar satu keteladanan yang sangat berharga dari sikap Hanzhalah. Saat terdengar seruan jihad dikumandangkan, ia bergegas meninggalkan istri yang baru ia nikahi menuju kerasnya peraduan senjata. Bahkan seolah tak sempat lagi ia meluangkan waktu meski untuk bersuci dari hadas besar pada dirinya, karena khawatir akan terlambat memenuhi panggilan.

Demikianlah para sahabat. Mereka adalah sosok-sosok yang senantiasa cepat melaksanakan titah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridai Hanzhalah bin Abi Amir dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Wallâhu ta’âlâ a’lamu bish-shawâb. [Ustadz Abu Haidar Harits]


Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 63 vol.06 1437H-2016M rubrik Figur.

[1] Nama asli Abu Âmir adalah Amr. Ada pula yang mengatakan Abdu Amr. Pada masa jahiliah ia dijuluki ar rahib karena banyak beribadah. Karena kekafirannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjulukinya dengan al fasiq.
[2] Abu Amir pergi ke Mekah dan tinggal di sana. Kemudian dia datang bersama pasukan Quraisy untuk memerangi kaum muslimin pada perang Uhud. Ketika itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjulukinya dengan al fasiq. Dan saat terjadinya Fathu Makkah, dia melarikan diri ke Romawi yang merupakan kekuasaan Heraklius. Dia tinggal di sana hingga mati pada tahun 9 atau 10 H.
[3] Versi lain menurut sebagian sejarawan Islam bahwa Abu Sufyan-lah yang membunuh Hanzhalah, lalu mengatakan, “Hanzhalah bihanzhalah.” Yakni terbunuhnya Hanzhalah bin Abi Amir di perang Uhud sebagai balasan atas terbunuhnya Hanzhalah anak Abu Sufyan di perang Badar.