Pernah punya harapan yang sangat ingin terlaksana? Atau sebuah angan yang lama diimpikan? Bagaimana jika semua itu tiba-tiba ada di depan mata dalam keadaan untuk mendapatkannya ternyata harus berbenturan dengan syariat Rabb Sang Penguasa semesta? Sungguh bukan hal yang mudah untuk diputuskan.
Butuh keimanan dan keyakinan yang besar kepada Allah subhanahu wa taala untuk dapat membuat jiwa dan hati berpaling dari keinginan tersebut dan mantap berjalan di atas syariat-Nya. Itu sebuah keputusan yang besar. Mengorbankan harapan, angan, dan cita-cita yang mungkin diimpikan selama hidup untuk ditukar dengan ketundukan kepada syariatnya Allah subhanahu wa taala adalah bukan perkara yang remeh.
Pengorbanan yang besar -jika didasari keikhlasan kepada Allah semata, mesti akan berbuah balasan yang besar di sisi Allah. Demikianlah Allah subhanahu wa taala menetapkan dengan hikmah-Nya sebagai bentuk keadilan dan kemurahan-Nya. Al Jazaa min jinsi amal (Balasan seseorang adalah sesuai dengan amalannya). Balasan tersebut terkadang Allah tampakkan di dunia, bisa dirasa dan dinikmati oleh pelaku kebaikan tersebut. Akan tetapi… terkadang Allah simpan untuk kemudian Allah tampakkan kelak di hari akhir sebagai balasan berlipat yang akan menambah pundi-pundi kebaikannya di hadapan Allah subhanahu wa taala. SubhanAllah.
Demikianlah seharusnya keyakinan seseorang kepada janji Allah untuk membalasi setiap kebaikan yang dia lakukan. Terlebih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللهِ إِلَّا أَعْطَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ
“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah, kecuali Allah akan memberimu sesuatu yang lebih baik darinya.”
SubhanAllah… siapa yang tidak tertarik dengan janji tersebut? Sayangnya… sedikit orang yang rela menukar janji Allah ini dengan sesuatu yang telah nyata ada di depan matanya, walau sejatinya mudah saja terluput jika Allah menghendaki. Janji Allah itu memang perkara ghaib. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan apa bentuknya, atau kapan datangnya. Tapi perkara ghaib bagi seorang yang beriman bukanlah berarti tidak ada. Pada kisah niswah kali ini… kita akan dapat melihat betapa sahabiyah yang mulia ini kokoh dan teguh memilih ketundukan kepada Rabb-Nya sekalipun harus berbenturan dengan orang-orang yang dikasihinya. Dan karena sebab itulah Allah memberi ganti kepadanya dengan sesuatu yang lebih baik dari kehidupannya sebelumnya. Dialah Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha.
Ayahnya adalah Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsin. Ibunya adalah Shafiyyah bintu Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syamsin. Kedua orangtuanya adalah orang-orang terpandang di kalangan kaumnya. Ayahnya adalah salah seorang pemuka suku Quraisy yang sangat besar gangguan dan tekanannya kepada kaum muslimin sebelum keislamannya. Sekalipun demikian, ketika cahaya Islam mulai terpancar di bumi Mekah, Allah takdirkan Ramlah binti Abi Sufyan termasuk salah satu wanita yang menyambut seruan Rabb-Nya. Dia yang ketika itu telah menikah dengan Ubaidillah bin Jahsyin bin Riyaab bin Ya’mar dari Bani Asad, masuk Islam bersama suaminya. Tidak dihiraukannya tekanan dan ancaman yang didapatkan dari keluarganya terutama ayahnya, ia tetap dalam keimanannya. Dengan keyakinan yang kokoh bersama sang suami ia jalani kehidupan sebagai seorang muslimah sekalipun harus berpisah dan bersitegang dengan ayah kandungnya.
Hingga akhirnya, karena melihat betapa kerasnya tekanan dan gangguan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum muslimin yang mampu untuk berhijrah (berpindah tempat tinggal) segera hijrah ke Negeri Habasyah, sebuah negeri dengan pemimpin yang adil dan bijaksana. Maka ikut di dalamnya Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu ‘anha bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsyin. Perjalanan menuju Habasyahpun mereka lalui bukan tanpa rintangan. Bahkan sesampainya di negeri Habasyahpun kafir Quraisy tetap berusaha untuk mencelakakan kaum muslimin dan membuat mereka terusir dari negeri tersebut.
Akan tetapi… Qadarullah. Raja Habasyah yang bijaksana tersebut mempersilahkan kaum muslimin untuk tinggal di negerinya dengan aman tanpa gangguan. Terlebih setelah dialog yang diadakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menambah keyakinannya bahwa kaum muslimin bukanlah sekelompok orang yang buruk lagi sesat. Bahkan beliau menganggap bahwa apa yang datang kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan apa yang diturunkan kepada Isa ‘alaihis salam (keyakinan yang selama ini dipegangnya) adalah berasal dari sumber yang satu. Maka setelah itu, hiduplah sekelompok kaum muslimin di Negeri Habasyah dengan aman. Sungguh itu adalah sebuah karunia yang besar di tengah tekanan dan gangguan yang sebelumnya mereka dapatkan. Meskipun selalu tertanam sebuah harapan untuk kembali ke negeri kelahiran mereka yaitu Mekah. Demikian pula yang dirasakan oleh Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu ‘anha bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsyin. Hidup tentram dan damai, jauh dari tekanan dan gangguan itu adalah harapan mereka. Terlebih setelah beberapa saat tinggal di Habasyah, Allah mengkaruniakan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Habibah. Maka jadilah Ramlah berkunyah dengan kunyah Ummu Habibah.
Nikmat dan karunia… Adalah dua perkara yang sepantasnya disyukuri. Dan bentuk syukur seseorang terhadap nikmat yang Allah berikan kepada dirinya adalah dengan cara tambah mendekatkan diri kepada-Nya. Bukankah Allah azza wajalla berfirman dalam Al Quran Surat Ibrahim : 7
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu menyatakan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Akan tetapi… sangat disayangkan, banyak dari kalangan hamba-Nya yang lupa untuk bersyukur. Kenikmatan dan karunia yang dirasakannya justru membuatnya lupa diri dan berpaling dari Rabbnya. Maka itulah yang terjadi pada suami Ramlah binti Abi Sufyan. Kemudahan dan kenyamanan hidup di Negeri Habasyah membuat Ubaidillah bin Jahsyin terlena, bahkan menjadi tertarik untuk berpindah agama, menjadi pemeluk agama Nasrani. Betapa terkejutnya Ramlah binti Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha dengan penawaran suaminya untuk mengikutinya menjadi pemeluk agama Nasrani.
Terjawab sudah tafsir dari sebuah mimpi yang dialaminya beberapa waktu sebelum mengetahui kemurtadan suaminya tersebut. Ia bermimpi melihat suaminya dalam keadaan dan penampilan yang sangat jelek lagi buruk. Dikabarkannya mimpi tersebut kepada suaminya, dan dia yakin bahwa mimpi tersebut mengisyaratkan bahwa apa yang diperbuat suaminya adalah sebuah kejelekan yang dapat membinasakannya kelak, akan tetapi suaminya tidak menghiraukannya. Fitnah dunia telah memperdayakan diri Ubaidillah bin Jahsyin.
Ia berusaha dengan segala cara membujuk Ramlah agar mau mengikutinya. Ramlah, dengan kekuatan iman yang Allah azza wajalla berikan, mampu memilih untuk tetap teguh berpegang kepada ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak dihiraukannya godaan kenikmatan duniawi yang dipaparkan suaminya, dia tinggalkan semua demi mempertahankan agamanya, sekalipun tergambar dalam benaknya kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapinya berada jauh dari keluarga dengan bersuamikan seseorang yang berlainan keyakinan. SubhanAllah… Sekali lagi, dia harus merasakan pahitnya berbenturan dengan orang yang dikasihinya. Kali ini adalah suaminya sendiri, ayah dari putrinya tercinta. Akan tetapi semuanya dijalaninya dengan tabah. Tidak sedikitpun terbesit keinginan untuk berpaling dari agama-Nya.
Akhirnya, karena sebab keteguhan dan kekokohannya, Allah azza wajalla memberinya sebuah penyelesaian yang baik. Tidak lama berselang, suaminya wafat dengan tetap dalam keadaannya menjadi pemeluk agama Nasrani. Diterimanya takdir Allah dengan penuh kesabaran. Dirawatnya putri tercintanya di atas bimbingan syariat. Dia sepenuhnya yakin, Allah pasti telah merencanakan yang terbaik bagi dirinya dan putrinya. Dan memang demikianlah janji dan balasan yang Allah tetapkan bagi siapa saja yang bertakwa kepada-Nya. Allah berfirman dalam Al Quran Surat Ath Thalaq : 2-3,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّـهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا ٢ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّـهَ بَـٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّـهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan ada baginya jalan keluar (bagi permasalahannya). Dan Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Janji Allah azza wajalla terbukti. Belumlah habis masa iddahnya, ia kembali bermimpi mendapati seseorang memanggilnya dengan sebutan “Ummul Mukminin”. Seakan tidak percaya ia menafsirkan dirinya akan menjadi salah satu dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lama kemudian mimpi itu menjadi nyata. Salah seorang budak wanita Raja Najasy mendatanginya dengan membawa kabar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarnya dan meminta Raja Najasy menjadi wakil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahan tersebut. Kabar gembira tersebut disambutnya dengan penuh rasa syukur. Sebagai bentuk rasa syukurnya ia memberikan salah satu perhiasannya sebagai hadiah bagi budak pembawa kabar tersebut dan ia menjadikan Khalid bin Said bin Al Ash radhiyallahu ‘anhu sebagai wali bagi dirinya.
Maka berlangsunglah pernikahan Ramlah binti Abi Sufyan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Raja Najasy memberikan mahar sebesar 400 dinar kepada Ramlah. Akan tetapi Ramlah binti Abi Sufyan memulai kehidupannya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penaklukan Khaibar, kurang lebih pada tahun ke 6 atau 7 hijriyah. Beliau datang bersama rombongan Ja’far bin Abi Thalib yang hijrah dari Habasyah ke Madinah. Dan akhirnya Ramlah binti Abi Sufyan masuk ke dalam rumahtangga nubuwah, berada di bawah bimbingan nubuwwah. SubhanAllah…
Demikianlah… ketetapan Allah terjadi. Allah azza wajalla sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan keimanan seorang hamba. Bahkan ketika hamba tersebut berani mempertahankan keyakinannya kepada Allah sekalipun harus mengorbankan kesenangan dan kepentingan duniawinya, maka niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik dari yang dia tinggalkan. Sekarang… tinggal bagaimana seorang hamba meyakini akan benarnya janji Allah tersebut dengan sepenuh hatinya. Dan rela memberikan bukti akan besarnya keyakinannya tersebut kepada Allah. Pengakuan saja tidak akan berarti apapun. Hanya pembuktian yang akan membuahkan hasil. Semoga Allah memudahkan kita untuk bisa mencontoh sikap dan keimanan para pendahulu kita yang shalih. Amin…
Sumber: Majalah Qudwah edisi 45 vol.04 2017 rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.