Cari Blog Ini

Tiada Amalan maka Tiada Keimanan

Iman adalah tashdiiq (pembenaran) dalam hati, ucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota badan. Barangsiapa tidak ada padanya salah satu saja dari tiga rukun iman ini maka dia bukan orang beriman. Termasuk dari rukun iman adalah amalan. Insya Allah akan dibahas dua pertanyaan yang berkaitan dengan masalah amalan yang diambil dari kitab As`ilah wa Ajwibah fil iimaan wal kufr, karya Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz Ar-Rajihiy.

Pertanyaan Keenam:


Apa hukum orang yang meninggalkan seluruh amalan yang zhahir dalam keadaan dia menetapkan dua kalimat syahadat dan menetapkan (mengakui) akan kewajiban-kewajiban akan tetapi dia tidak beramal sedikitpun –tidak beramal sama sekali-, apakah orang ini muslim atau bukan? Perlu diketahui bahwasanya dia tidak mempunyai 'udzur syar'i sedikitpun yang mencegahnya melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut?

Jawaban:

Orang ini bukan orang beriman, maka orang yang menyangka bahwasanya dia telah membenarkan dengan hatinya akan tetapi tidak menetapkan dengan lisannya dan tidak beramal, maka dia tidak merealisasikan imannya, karena sesungguhnya imannya orang ini seperti imannya Iblis dan imannya Fir'aun, karena sesungguhnya Iblis juga membenarkan dengan hatinya, Allah berfirman:
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِيْ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ
"Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan." (Shaad:79)

Sedangkan Fir'aun dan para pengikutnya, Allah nyatakan tentang mereka:
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوَّا
"Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." (An-Naml:14)

Maka keimanan ini dan pembenaran yang ada dalam hati mesti harus adanya amalan yang akan merealisasikan (membuktikan) keimanannya tersebut, maka (keimanan itu) harus dibuktikan dengan pengucapan lisan dan amalan, sehingga (keimanan yang benar adalah) harus adanya pembenaran (dalam hati) dan ketundukan (dengan anggota badan).

Apabila hatinya tunduk dengan keimanan maka harus diamalkan dengan anggota badan. Adapun orang yang menyangka bahwasanya dia telah membenarkan dengan hatinya akan tetapi tidak mengucapkan dengan lisannya dan tidak pula mengamalkan dengan anggota badannya dalam keadaan dia mampu (untuk beramal), maka di mana imannya?!? Maka seandainya pembenaran (yang ada pada dirinya) itu adalah pembenaran yang sempurna dan dia mempunyai keikhlasan niscaya dia akan beramal, maka mesti harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran dan keimanannya tersebut, sedangkan nash-nash telah menerangkan hal ini.

Sebagaimana halnya orang yang beramal dengan anggota badannya, melaksanakan shalat, berpuasa dan berhaji itu harus adanya keimanan dalam bathinnya dan pembenaran yang akan mensahkan amalan-amalan tersebut, jika tidak, jadilah dia seperti islamnya orang-orang munafiq, karena sesungguhnya orang-orang munafiq itu beramal, mereka shalat dan berjihad bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi bersamaan dengan itu mereka tidak dinamakan orang-orang beriman, karena mereka tidak mempunyai keimanan dan pembenaran dalam hatinya yang akan mensahkan amalannya tersebut.

Maka (kesimpulannya) harus ada dua hal untuk benarnya keimanan:
  1. pembenaran dalam hati yang akan terbukti dengan adanya amalan
  2. amalan zhahir (anggota badan) yang akan sah dengan adanya pembenaran dalam hati
Adapun pembenaran dalam bathin tanpa adanya amalan, maka mana dalil atasnya (yang membenarkan hal ini)? Mana yang akan mensahkannya? Mana ketundukannya?

Maka tidak mungkin di sana ada pembenaran yang shahih di mana pelakunya tidak shalat dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat dalam keadaan dia mengetahui pahala yang Allah janjikan bagi orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan bagi orang yang mengucapkan kalimat tauhid dan (dia mengetahui) pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang shalat dan siksaan bagi orang yang meninggalkan shalat. Maka seandainya dia memiliki pembenaran yang shahih dan keimanan yang shahih niscaya dia akan segera bangkit untuk beramal. Dan seandainya dia mempunyai pembenaran yang shahih dan keimanan yang shahih niscaya dia akan segera menghilangkan syubhat-syubhat dan syahwat (yang ada). Sebenarnya meninggalkan shalat itu terjadi karena adanya syubhat dan maksiat serta syahwat sedangkan keimanan yang jujur akan menghancurkan syahwat dan syubhat tersebut.

Dan hal ini (tidak adanya amalan sama sekali) menunjukkan bahwasanya hatinya kosong dari keimanan yang shahih dan sebenarnya dia semata-mata hanya melafazhkan dengan lisan yang dia berucap dengannya akan tetapi tidak melampauinya (artinya sekedar pengucapan semata dan tidak diamalkan-pent), jika tidak, seandainya dia mempunyai pembenaran dengan hatinya atau pengakuan dengan hatinya saja dan tidak dilafazhkan, maka ucapan hati tersebut tidak melampaui amalan-amalan hati dan ketundukan, maksudnya bahwasanya orang yang menyangka bahwa dia telah membenarkan dengan hatinya dan tidak beramal dengan anggota badannya, ini adalah madzhabnya Jahmiyyah.

Karena hal inilah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Sulit dibedakan antara ma'rifah (mengenal Tuhan dengan hati) dan pembenaran semata. Sehingga sulit dibedakan antara pengenalan dengan hati dan pembenaran yang tidak disertai dengan amalan anggota badan sedikitpun", dan yang mengatakan ini adalah orang yang imannya seperti imannya Jahmiyyah –kita meminta kepada Allah keselamatan-."

Maka orang yang menyangka bahwa dia orang mukmin dan tidak mengucapkan dengan lisannya serta tidak pula beramal dengan anggota badannya dalam keadaan mampu untuk beramal maka ini adalah madzhabnya Jahmiyyah. Maka harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran (yang ada dalam hatinya) sebagaimana orang yang beramal harus adanya pembenaran dalam bathin yang akan mensahkan amalannya tersebut.

Berkata Al-Imam 'Abdullah Ibnuz Zubair Al-Humaidiy: "Aku diberitahu bahwa ada suatu kaum yang mengatakan: "Sesungguhnya barangsiapa yang menetapkan (akan wajibnya) shalat, zakat, puasa dan haji tetapi dia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut sedikitpun sampai mati atau shalat membelakangi kiblat sampai mati, maka dia adalah seorang mukmin selama tidak menentang kewajiban-kewajiban tersebut… apabila dia mengakui akan kewajiban-kewajiban tersebut dan menghadap kiblat.", maka aku katakan: "Ini adalah kekufuran yang jelas dan menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta perbuatan kaum muslimin." (As-Sunnah 3/586-587 karya Al-Khallal dan Ushuulul I'tiqaad 5/887 karya Al-Lalika`iy)

Dan beliau juga berkata: "Sesungguhnya kami tidak mengatakan sebagaimana perkataannya Khawarij: "Barangsiapa yang mengerjakan dosa besar maka sungguh telah kafir." Dan tidak ada pengkafiran dengan sesuatupun dari dosa-dosa, sesungguhnya kekufuran itu terjadi dalam meninggalkan lima hal yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terangkan dalam sabdanya: "Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun 'alaih dari Ibnu 'Umar, lihat Ushuulus Sunnah karya Al-Humaidiy hal.43, diambil dari kitab At-Tawassuth wal Iqtishaad fii annal kufra yakuunu bil qaul awil 'amal awil I'tiqaad)

Yang dimaksud "tidak beramal sama sekali" adalah tidak melaksanakan empat rukun Islam (shalat, zakat, puasa dan haji) dalam hidupnya, bukan amalan secara umum. Maka barangsiapa tidak beramal yaitu tidak melaksanakan empat rukun Islam (shalat, zakat, puasa dan haji) sama sekali dalam hidupnya maka dia bukan orang yang beriman. Adapun orang yang masih melaksanakan salah satu saja dari empat rukun Islam tersebut maka dihukumi sebagai orang muslim secara zhahir akan tetapi orang yang fasiq.

Pertanyaan Ketiga Belas:


Di sana ada beberapa hadits yang dijadikan dalil oleh sebagian orang bahwasanya barangsiapa yang meninggalkan amalan secara keseluruhan maka dia itu mukmin yang kurang imannya, seperti hadits:
((لَمْ يَعْمَلُوْا خَيْراً قَط))
"mereka belum beramal kebaikan sedikitpun" (HR. Al-Bukhariy no.7439 dan Muslim no.183 dari Abu Sa'id Al-Khudriy) dan hadits bithaaqah (kartu) serta hadits-hadits lainnya, maka bagaimana jawabnya?

Jawaban:

Tidak ada hujjah dalam hadits-hadits tersebut bagi orang yang menjadikannya sebagai dalil. Maka barangsiapa yang meninggalkan amalan secara keseluruhan dan dia menyangka cukup dengan pembenaran yang ada dalam hatinya sebagaimana telah lewat penjelasannya –lihat pertanyaan keenam-, maka sesungguhnya tidak akan terbukti keimanannya kecuali dengan amalan. Adapun hadits-hadits tentang syafa'at yang menjelaskan bahwasanya orang-orang mukmin yang bertauhid yang bermaksiat akan diberikan syafa'at oleh para Nabi, anak-anak kecil yang meninggal sebelum baligh, para syuhada, para malaikat dan orang-orang mukmin, maka tersisalah satu kelompok yang tidak terkena syafa'at mereka, lalu Rabb semesta alam mengeluarkan mereka dengan rahmat-Nya, Allah mengeluarkan dari neraka satu kaum yang belum beramal kebaikan sedikitpun.

Berkata para 'ulama: "Makna: "Mereka belum beramal kebaikan sedikitpun" adalah tambahan atas tauhid dan keimanan." dan harus ditafsirkan dengan ini, karena sesungguhnya nash-nash itu sebagiannya melengkapi sebagian lainnya dan sungguh nash-nash telah menunjukkan bahwasanya surga itu haram atas orang-orang musyrik dan sungguh telah tetap dalam hadits yang shahih (HR. Al-Bukhariy no.3062 dan Muslim no.111 dari Abu Hurairah) bahwasanya Nabi memerintahkan seorang penyeru agar menyerukan pada sebagian peperangan: "Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang mukmin" dan ketika Rasulullah menjadikan Abu Bakr (atau 'Ali –pent.) sebagai amir (dalam suatu urusan-pent) pada waktu haji di tahun ke-9 hijriyyah, beliau mengutus bersamanya beberapa orang di antaranya Abu Hurairah dan yang lainnnya agar menyerukan dan mengumumkan dengan empat kalimat, di antaranya: "Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang mukmin dan tidak akan berhaji setelah tahun ini seorang musyrik pun dan tidak akan thawaf di Baitullah orang yang telanjang dan barangsiapa yang mempunyai perjanjian maka dia (diberi tangguh) sampai (batas) perjanjiannya dan barangsiapa yang tidak mempunyai perjanjian maka ditunggu sampai empat bulan." (Shahih, HR. Al-Hakim no.4376, 7354 dan 7355)

Maka hadits ini menunjukkan bahwasanya tidak mungkin orang kafir akan masuk surga, Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun." (Al-Maa`idah:72)

Ini adalah nash-nash yang muhkamah (jelas maknanya) sedangkan hadits ini (yang ada dalam pertanyaan) harus dikembalikan (pengertiannya) kepada nash-nash yang muhkamah tadi, dan qa'idah yang dipegangi ahlul ilmi adalah: Al-Mutasyaabih (nash yang samar pengertiannya) dikembalikan kepada nash yang muhkam.

Tidak ada yang berpegang dengan nash yang mutasyaabih kecuali orang yang condong kepada kesesatan sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya):
فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ
"Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari ta`wilnya." (Aali 'Imraan:7)

Dan telah tetap dalam hadits yang shahih dari 'A`isyah (HR. Al-Bukhariy no.4547 dan Muslim no.2665) bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang Allah sebut dalam ayat ini (Aali 'Imraan:7) maka berhati-hatilah terhadap mereka!"

Adapun ahlul haq maka sesungguhnya mereka mengembalikan nash-nash yang mutasyaabih kepada yang muhkam dan ditafsirkan kepada yang muhkam tersebut sedangkan hadits ini padanya terdapat kesamaran/ketidakjelasan akan tetapi (maknanya) dikembalikan kepada yang muhkam dari nash-nash yang jelas lagi terang yang menjelaskan bahwasanya orang musyrik tidak akan masuk surga dan sesungguhnya surga haram atasnya.

Maka tidak mungkin makna dari hadits: "Mereka belum beramal kebaikan sedikit pun" bahwasanya mereka adalah orang-orang musyrik yang tidak mempunyai tauhid dan keimanan yang mana Allah telah keluarkan mereka dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka ini tidak mungkin kalau yang dimaksud adalah demikian akan tetapi sesungguhnya yang dimaksud dari hadits: "Mereka belum beramal kebaikan sedikit pun" adalah tambahan atas tauhid dan keimanan.

Dan demikian pula hadits bithaaqah, tidak ada padanya keterangan bahwa orang yang diceritakan dalam hadits ini orang musyrik akan tetapi dia itu adalah orang yang bertauhid. Dalam hadits ini disebutkan: "Didatangkan seseorang dan dikeluarkan baginya 99 catatan, setiap catatan sejauh mata memandang dari kejelekan dan didatangkan untuknya satu kartu yang padanya tertulis dua kalimat syahadat maka diletakkanlah kartu tersebut pada daun timbangan dan lembaran-lembaran kejelekan tadi diletakkan pada daun timbangan yang satunya lagi maka menjadi ringanlah lembaran-lembaran kejelekan itu dan menjadi beratlah kartu tersebut." (Shahih, HR. Ibnu Hibban no.225 dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash)

Dan sudah diketahui bahwa setiap muslim mempunyai seperti kartu tersebut tetapi mereka banyak yang masuk neraka, akan tetapi orang ini (yang diceritakan dalam hadits bithaaqah tersebut) ketika mengucapkan dua kalimat syahadat ini dia mengucapkannya dengan ikhlash, jujur dan taubat maka karena itulah dua kalimat tersebut bisa mengalahkan dan menghapuskan kejelekan-kejelekan tadi lalu beratlah kartunya dan ringanlah lembaran-lembaran kejeleknnya.

Wallaahu A'lam.

Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-46 Tahun ke-2 / 08 Oktober 2004 M / 23 Sya'ban 1425 H.