“Syaikh kami seorang wali, beliau bisa terbang di atas air, kebal terhadap api, dan banyak lagi karamah-karamahnya yang lain. Makanya... jangan coba-coba melanggar perintahnya, bisa kualat nanti...”
Demikian pembicaraan yang kadang terdengar dari sebagian orang yang tidak memahami makna karamah dan siapakah sebenarnya wali Allah itu. Di pandangan sebagian kaum muslimin memang gelar wali sering dikaitkan dengan keanehan-keanehan yang dimiliki pelakunya, yang terkadang keanehan tersebut bisa dikeluarkan kapan saja dibutuhkan dan dipertontonkan sesuai keinginan. Hanya karena si pelaku keanehan tadi adalah orang yang masih melakukan salat, atau terlihat memiliki kemampuan agama atau berpakaian syar’i, maka dengan mudahnya gelar wali disandangkan kepadanya sekalipun banyak kemungkaran, kebid’ahan, bahkan kesyirikan masih dilakukannya. Maka adalah termasuk perkara yang penting bagi kaum muslimin untuk mengerti apa makna karamah, dan siapakah wali Allah yang terkadang Allah beri karamah dari keutamaan-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّـهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah bahwa sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [Q.S. Yunus: 62-63]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka sungguh dia telah membuka peperangan dengan-Ku, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepada dirinya. Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan matanya yang dia melihat dengannya, dan tangannya yang dia bergerak dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya, dan jika dia meminta kepada-Ku sungguh Aku akan memberikannya, dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya.” [H.R. Al Bukhari].
Maka dengan dasar firman Allah serta hadis di atas dan juga banyak dari dalil-dalil yang lain, para ulama menjelaskan bahwa wali Allah adalah seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan keimanan dan ketakwaan yang bagus. Yang dengan sebab keimanan dan ketakwaannya itulah terkadang Allah berikan beberapa keutamaan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Keutamaan-keutamaan yang tampak itulah yang disebut dengan karamah. Karamah adalah semata karunia Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, tidak bisa dipamerkan begitu saja kapanpun dikehendaki. Adapun orang-orang yang keadaannya sebaliknya, ia seorang muslim yang buruk keimanannya, pelaku kebid’ahan bahkan kesyirikan, mengaku memiliki karamah, mengaku dapat memperlihatkannya kapanpun dia ingin, maka kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan oleh dirinya adalah bagian dari apa yang dilakukannya bersama dengan setan, karena karamah Allah hanyalah Allah berikan kepada orang yang bertakwa.
Dengan perantara karamah yang Allah berikan kepada seseorang, terkadang Allah bukakan pintu hidayah bagi orang lain. Karamah yang Allah berikan seakan menjadi sebuah bukti atau sebagai hujjah baginya di hadapan musuh-musuhnya. Atau terkadang ada beberapa karamah yang Allah jadikan sebagai ujian baik bagi orang tersebut ataupun bagi yang menyaksikannya, apakah akan menambah keimanan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ataukah justru menyebabkan kesombongan yang menyebabkan kebinasaan. Maka dalam kisah niswah kali ini, kita akan mendapati karamah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada salah seorang shahabiyah ini Allah jadikan sebagai sebab hidayah bagi kaumnya. Dialah Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha.
Nama beliau adalah Ghaziyah binti Jabir bin Hakim Al Quraisy radhiyallahu ‘anha. Beliau adalah wanita Quraisy dari Bani Amir bin Luay, Istri dari Abul Akri Ad Dausy. Mereka termasuk orang-orang Mekkah yang menyambut dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau hijrah ke Madinah. Islam telah masuk ke dalam hati mereka, mengokohkan keimanannya dan membuat semangat untuk berpegang kepada kebenaran membara di dada mereka. Maka didapati Ummu Syarik berusaha menyebarkan agama dan keyakinannya di tengah kaumnya. Ia mencoba mendatangi wanita-wanita Quraisy untuk mengajak mereka berislam. Tentunya semua bukan tanpa halangan. Gangguan, ujian, dan tekanan adalah suatu kemestian yang mesti dihadapi seseorang dalam berdakwah kepada Allah.
Ketika seruan hijrah ditegakkan, maka berangkatlah Abul Akri Ad Dausy ke Madinah, dalam keadaan ia terhalang untuk membawa serta istrinya, Ummu Syarik. Tertinggallah Ummu Syarik di Mekkah. Ummu Syarik menceritakan keadaan dirinya ketika itu, “Keluarga Abul Akri Ad Dausy (yaitu keluarga suaminya) mendatangiku, lalu mereka berkata, “Jangan-jangan engkau telah berada di atas agamanya (Muhammad)”. Aku berkata, “Sungguh aku telah berada di atas agamanya”. Mereka berkata “Sungguh kami akan menyiksamu dengan siksa yang pedih”. Kemudian mereka membawaku keluar dari kampung kami menuju ke sebuah tempat bernama Dzilkhulashah. Mereka berjalan dan ingin membuat tempat singgah di tempat tersebut. Mereka membawaku di atas onta yang berjalan lambat, seburuk-buruk, dan sejelek-jelek tunggangan mereka.
Mereka memberi aku makan berupa roti dan madu dan tidak memberiku setetes airpun. Ketika telah sampai kepada pertengahan siang, dan mataharipun mulai memanas, mereka turun dari unta dan membuat tenda. Mereka meninggalkanku di teriknya matahari hingga hilang akalku, pendengaran, dan penglihatanku. Mereka memperlakukan aku demikian selama tiga hari. Pada hari ketiga mereka berkata kepadaku, “Tinggalkanlah apa yang engkau ada di atasnya.” Aku tidak mengetahui apa yang mereka katakan kecuali kata perkata. Tidak jelas dikarenakan kehilangan sebagian kesadaran diri. Aku hanya mengisyaratkan ke langit dengan jari telunjukku sebagai isyarat kepada tauhid. Dan demi Allah sungguh aku benar-benar berkeyakinan demikian, dan sungguh ketika aku benar-benar merasa kehausan, tiba-tiba aku mendapati sebuah timba ada di atas dadaku. Maka aku mengambilnya dan aku minum darinya satu tegukan, kemudian timba itu terangkat dariku. Aku mengarahkan pandangan, maka ternyata timba tersebut tergantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu meraihnya.
Kemudian timba itu diturunkan kepadaku untuk kali kedua, aku minum darinya satu tegukan. Kemudian timba itu terangkat dariku, dan aku mengarahkan pandangan, maka ternyata timba tersebut tergantung antara langit dan bumi. Kemudian timba itu diturunkan kepadaku untuk kali ketiga, kemudian aku minum darinya hingga aku puas dan aku tuangkan air ke atas kepalaku, wajahku, dan bajuku. Ketika mereka keluar, mereka melihatku dan mereka berkata, “Dari mana semua ini wahai musuh Allah?” Maka aku katakan kepada mereka, “Sesungguhnya musuh Allah bukanlah aku, musuh Allah adalah orang yang menyelisihi agama-Nya.” Dan adapun ucapan kalian, “Dari mana semua ini,” maka ini adalah dari sisi Allah sebagai rezeki yang Allah berikan kepadaku.”
Bergegas mereka menuju sumur dan timba mereka. Mereka mendapatinya di tempatnya dan belum terlepas. Mereka pun seketika berkata, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya Rabbmu adalah Rabb kami dan sesungguhnya Dzat yang telah memberikan rezeki kepadamu adalah Dzat yang telah memberi rezeki untukmu di tempat ini setelah kami berbuat kepadamu apa yang telah kami perbuat. Dialah yang telah membuat syariat Islam.”
Maka kemudian mereka masuk Islam dan berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka juga mengakui keutamaanku atas mereka dan apa yang telah Allah perbuat atas diriku.
MasyaaAllah... Allah Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertolongan yang Allah berikan kepada Ummu Syarik tidaklah Allah berikan tanpa sebab. Bahkan sebab adanya pertolongan Allah tersebut adalah keimanan dan ketakwaan yang ada di dada Ummu Syarik, yang keimanan tersebut mendatangkan keridhaan Allah dan menjadikan terjadinya kejadian luar biasa berupa diturunkan baginya sebuah timba penuh air dari atas langit untuk menghilangkan dahaganya. Tidaklah karamah yang diberikan Allah tersebut membuat Ummu Syarik merasa sombong serta membanggakan diri di hadapan kaumnya. Akan tetapi semua beliau nisbahkan kepada Allah, dari kemulian Allah subhanahu wa ta’ala semata. Maka Allah kemudian takdirkan hidayah masuk ke dalam hati kaumnya hingga akhirnya mereka dapat menerima Islam dan berhijrah menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
SubhanAllah, demikianlah salah satu bentuk karamah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Bukan suatu perkara yang dapat direkayasa, tidak pula dapat dipamerkan dan diperlihatkan sekehendak hati. Akan tetapi benar-benar datangnya dari kuasa Allah dan keridaan-Nya. Sehingga jelaslah bagi kita bahwa tidaklah mungkin Allah memberikan keutamaan kepada orang-orang yang menyelisihi syariat-Nya. Jikalau ada kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang banyak menyelisihi syariat-Nya, tidak lain yang demikian merupakan salah satu dari tipu daya setan yang bekerjasama dengan manusia untuk memberikan fitnah bagi orang-orang yang melihatnya agar tertipu dan mau mengikuti seruan-seruan mereka.
Kita memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam tipu daya syaithan di manapun kita berada... Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 53 vol.05 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.