Cari Blog Ini

Taisirul 'Allam - Hadits ke-179

الۡحَدِيثُ التَّاسِعُ وَالسَّبۡعُونَ بَعۡدَ الۡمِائَةِ 

١٧٩ - عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: 
(مَنۡ نَسيَ وهُوَ صَاِئمٌ فَأكَلَ أوۡ شَرِبَ فَلۡيُتِمَّ صَوۡمَهُ فإنَّمَا أَطۡعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ ). 
179. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang lupa dalam keadaan berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaknya ia lanjutkan menyempurnakan puasanya karena Allahlah yang memberinya makan dan minum.”[1]

الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي: 

بُنِيَتۡ هَٰذِهِ الشَّرِيعَةُ عَلَى الۡيُسۡرِ وَالسُّهُولَةِ، وَالتَّكۡلِيفِ بِقَدۡرِ الطَّاقَةِ، وَعَدَمِ الۡمُؤَاخَذَةِ بِمَا يَخۡرُجُ عَنِ الۡاسۡتِطَاعَةِ أَوِ الۡاخۡتِيَارِ. 
وَمِنۡ ذٰلِكَ أَنَّ مَنۡ أَكَلَ أَوۡ شَرِبَ. أَوۡ فَعَلَ مُفۡطِرًا غَيۡرَهُمَا فِي نَهَارِ رَمَضَانَ أَوۡ غَيۡرِهِ مِنَ الصِّيَامِ، فَلۡيُتِمَّ صَوۡمَهُ، فَإِنَّهُ صَحِيحٌ، لِأَنَّ هَٰذَا لَيۡسَ مِنۡ فِعۡلِهِ الۡمُخۡتَارِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنَ اللهِ الَّذِي أَطۡعَمَهُ وَسَقَاهُ. 

Makna secara umum: 

Syariat ini dibangun di atas kemudahan dan pembebanannya sesuai kadar kemampuan. Tidak ada hukuman terhadap apa saja yang di luar kemampuan atau di luar daya upaya. 
Di antara hal itu adalah bahwa siapa saja yang makan, minum, atau melakukan hal yang membatalkan puasa selain keduanya di siang hari bulan Ramadan atau bulan lainnya ketika puasa (dalam keadaan lupa), maka hendaknya dia melanjutkan menyempurnakan puasanya. Dan puasanya sah karena ini bukan dari perbuatan yang diikhtiarkannya. Bahkan itu dari Allah yang memberinya makan dan minum. 

اخۡتِلَافُ الۡعُلَمَاءِ: 

الۡجُمۡهُورُ مِنَ الۡعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الۡأَكۡلَ وَالشُّرۡبَ مِنَ النَّاسِي لَا يُفۡسِدُ الصِّيَامَ. 
وَالۡخِلَافُ بَيۡنَهُمۡ فِي الۡجِمَاعِ: هَلۡ لَهُ حُكۡمُ الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ بِعَدَمِ الۡإِفۡسَادِ أَمۡ لَا؟ 
فَذَهَبَ الۡإِمَامُ (أَحۡمَدُ) وَأَتۡبَاعُهُ إِلَى أَنَّ الۡجِمَاعَ مُفۡسِدٌ لِلصِّيَامِ، وَلَوۡ كَانَ مِنَ الۡجَاهِلِ أَوِ النَّاسِي. 
وَإِذَا كَانَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ فَهُوَ مُوجِبٌ لِلۡكَفَّارَةِ، وَهُوَ مِنۡ مُفۡرَدَاتِ مَذۡهَبِ أَحۡمَدَ. 

Perselisihan ulama: 

Jumhur ulama berpendapat bahwa makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang lupa tidak merusak puasa. Namun perselisihan di antara mereka dalam masalah jimak. Apakah jimak memiliki hukum makan atau minum sehingga tidak merusak puasa atau sebaliknya? 
Imam Ahmad dan pengikut beliau berpendapat bahwa jimak merusak puasa walaupun dilakukan oleh orang yang jahil atau lupa. Jika hal itu terjadi di siang hari bulan Ramadan, maka hal itu mengharuskan membayar kafarat. Ini termasuk mufradat (permasalahan fikih yang dia bersendiri dan tidak disepakati oleh tiga imam mazhab lainnya) mazhab Ahmad. 
وَدَلِيلُهُمۡ عَلَى ذٰلِكَ مَفۡهُومُ الۡحَدِيثِ الَّذِي اقۡتَصَرَ عَلَى الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ دُونَ الۡجِمَاعِ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى مُخَالَفَتِهِ لَهُمَا. 
وَلِأَنَّ النِّسۡيَانَ فِي الۡجِمَاعِ بَعِيدٌ، بِخِلَافِ الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ. 
وَذَهَبَ الۡأَئِمَّةُ، أَبُو حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيُّ، وَدَاوُدُ، وَابۡنُ تَيۡمِيَّةَ وَغَيۡرُهُمۡ، إِلَى أَنَّهُ لَا يُفۡسِدُ الصِّيَامَ. وَاسۡتَدَلُّوا عَلَى ذٰلِكَ بِمَا يَأۡتِي: 
Dalil mereka adalah bahwa pendapat itu dipahami dari hadis ini yang hanya mencukupkan menyebutkan makan dan minum saja, tanpa jimak. Ini menunjukkan bahwa jimak berbeda dengan makan dan minum. Juga karena lupa (puasa) ketika jimak adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya. Berbeda halnya dengan makan dan minum. 
Adapun para imam, seperti Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Dawud, Ibnu Taimiyyah, dan selain mereka berpendapat bahwa lupa ketika jimak tidak merusak puasa. Mereka beralasan dengan dalil berikut ini: 
أَوَّلًا: لِمَا رَوَى الۡحَاكِمُ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: (مَنۡ أَفۡطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيۡهِ وَلَا كَفَّارَةَ). 
قَالَ ابۡنُ حَجَرٍ: (وَهُوَ صَحِيحٌ). وَالۡإِفۡطَارُ عَامٌّ فِي الۡجِمَاعِ وَغَيۡرِهِ. 
ثَانِيًا: الۡعُمُومَاتُ الۡوَارِدَةُ فِي مِثۡلِ قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَا إِن نَّسِينَا أَوۡ أَخۡطَأۡنَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]. (وَعُفِيَ لِأُمَّتِي الۡخَطَأُ وَالنِّسۡيَانُ وَمَا اسۡتُكۡرِهُوا عَلَيۡهِ). 
ثَالِثًا: أَنَّ الۡمُخَالِفِينَ فِي صِحَّةِ الصَّوۡمِ يُوَافِقُونَ عَلَى سُقُوطِ الۡإِثۡمِ عَنۡهُ. 
وَإِذَا كَانَ مَعۡذُورًا فَإِنَّ الۡعُذۡرَ شَامِلٌ، وَلَا وَجۡهٌ لِلتَّفۡرِيقِ. 
وَأَجَابُوا عَنۡ دَلِيلِ الۡحَنَابِلَةِ بِأَنَّ تَعۡلِيقَ الۡحُكۡمِ فِي الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ، مِنۡ بَابِ تَعۡلِيقِ الۡحُكۡمِ بِاللَّقَبِ، فَلَا يَدُلُّ عَلَى نَفۡيِهِ عَمَّا عَدَاهُ. 
1. Riwayat Al-Hakim dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Siapa saja yang melakukan perbuatan yang membatalkan puasa di bulan Ramadan dalam keadaan lupa, maka tidak ada kewajiban kada atasnya dan tidak ada kafarah.” Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini sahih.” Pembatal puasa di sini umum mencakup jimak dan selainnya. 
2. Keumuman dalil seperti dalam firman Allah taala yang artinya, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Hadis, “Dan telah dimaafkan untuk umatku tersalah, lupa, dan perbuatan yang dipaksa melakukannya.” 
3. Bahwa orang-orang yang berselisih pendapat tentang keabsahan puasa (orang yang berjimak dalam keadaan lupa), mereka bersepakat bahwa pelaku hal itu tidak berdosa. Sehingga, jika pelaku itu diberi uzur (dengan tidak ada dosa baginya), maka seharusnya uzur tersebut berlaku umum. Tidak ada sisi yang bisa untuk membeda-bedakan. 
Mereka menjawab dalil mazhab Hanbali dengan jawaban bahwa pengaitan hukum kepada makan dan minum di sini termasuk ta’liq al-hukm bil-laqab (pengaitan hukum dengan kata yang menunjukkan kepada suatu zat, bukan sifat), jadi tidak menunjukkan penafian hukum dari selain yang disebutkan. 

مَا يُؤۡخَذُ مِنَ الۡحَدِيثِ: 

١ - صِحَّةُ صَوۡمِ مَنۡ أَكَلَ أَوۡ شَرِبَ أَوۡ جَامَعَ نَاسِيًا. 
٢ - أَنَّهُ لَيۡسَ عَلَيۡهِ إِثۡمٌ فِي أَكۡلِهِ وَشُرۡبِهِ، لِأَنَّهُ لَيۡسَ لَهُ اخۡتِيَارٌ. 
٣ - مَعۡنَى إِطۡعَامِهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَسَقۡيِهِ، أَنَّهُ وَقَعَ مِنۡ غَيۡرِ اخۡتِيَارٍ، وَإِنَّمَا اللهُ الَّذِي قَدَّرَ لَهُ ذٰلِكَ بِنِسۡيَانِهِ صِيَامَهُ. 

Faedah hadis ini: 

  1. Keabsahan puasa orang yang makan, minum, atau berjimak dalam keadaan lupa. 
  2. Bahwa tidak ada dosa atasnya ketika makan dan minum karena dia tidak berikhtiar untuk itu (yakni lupa). 
  3. Makna pemberian makan dan minum dari Allah taala adalah bahwa hal itu terjadi tanpa ada ikhtiar dan Allahlah yang menakdirkan hal itu karena dia lupa terhadap puasanya. 

[1] HR. Al-Bukhari nomor 1923 dan 6669, Muslim nomor 1155. Diriwayatkan pula oleh Ad-Darimi (2/13) dan Ibnu Majah nomor 1673.