Raja penguasa dunia ada empat. Dua orang mukmin, dua orang kafir. Dua orang mukmin adalah Dzul Qarnain dan Sulaiman ‘alaihis salam. Adapun dua raja kafir adalah Namrud yang berdebat dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dan Bukhtanashar atau disebut juga Nebukadnezar Agung penguasa Babilonia, yang dikalahkan oleh Nabi Danial ‘alaihis salam. Tidak ada raja di dunia ini yang memiliki kekuasaan dan pengaruh sekuat raja-raja ini. Karena alasan inilah penyebutan raja dunia hanya untuk mereka.
Di antara keistimewaan Dzul Qarnain adalah memenuhi bumi dengan keadilan. Bukan sekadar wilayah kekuasaan yang luas, namun kemampuan dalam memimpin yang sangat hebat. “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:84]. Yaitu Allah mudahkan untuknya segala yang mengantarkan kepada kekuasaan.
“Maka dia pun menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata, ‘Hai Dzul Qarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka’.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:85-86]. Tanpa kenal lelah, sang raja arif ini mengajarkan keimanan, memerangi kesyirikan. Menyelamatkan manusia dari pengap kelamnya dosa menuju semburat cahaya. Menuju kehidupan lapang dalam kebahagiaan dan kedamaian. Bukan hanya kesejahteraan di dunia, bahkan berlanjut di akhirat. Untuk tujuan mulia ini, bukan diraih dengan percuma. Tidak pula dengan santai tanpa usaha. Namun perjuangan berkelanjutan pantang menyerah. Tiada terikat apalagi terbatas waktu. Ya, kemuliaan tidak akan muncul tiba-tiba. Butuh pengorbanan dalam perjuangan dan kesabaran.
Dengan tegar Dzul Qarnain menebarkan kebenaran. Kokoh laksana batu karang, bergeming membelah badai dan gelombang. Cobaan dalam dakwah pasti ada. Karena setan, musuh abadi manusia pasti tidak akan tinggal berpangku tangan. Mereka akan selalu dan terus berusaha menyesatkan manusia. Dengan berbagai kemudahan dari Allah, Dzul Qarnain mampu menaklukkan berbagai halangan dan rintangan.
Bersama pasukannya, Dzul Qarnain menempuh perjalanan hingga ujung barat. Yaitu pantai sebelah barat, sebuah tempat yang terlihat darinya matahari saat terbenam. Dzul Qarnain melihat matahari terbenam dalam laut yang berlumpur hitam. Demikian tafsir ayat yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dari para ulama tafsir terdahulu. Di tempat itulah, Dzul Qarnain mendapatkan satu kaum besar yang tidak beragama. Dalam Tafsir Ibnu Juraij disebutkan bahwa kota kaum itu memiliki dua belas ribu pintu. Seandainya bukan karena suara gaduh penduduknya, mereka pasti akan mendengar suara saat tenggelamnya matahari.
Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan Dzul Qarnain atas kaum tersebut. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan kepadanya, ‘Hai Dzul Qarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka’. Kaum tersebut memang kafir, suka berbuat kezaliman. Setelah Allah menaklukkan kaum tersebut untuk Dzul Qarnain, Allah memberikan kewenangan hukum secara penuh kepadanya. Mereka adalah kaum tak bernorma, tak beragama. Kezaliman, adalah bagian hidup yang tak terpisahkan dari mereka. Maka Allah memberikan pilihan kepada Dzul Qarnain; dipancung laki-laki dewasanya, dan ditawan anak serta wanitanya, atau dibebaskan semua dengan tebusan.
Dengan dua pilihan ini menjadi jelas sikap arif dan keimanan sang raja. Apa yang ia pilih menunjukkan hal itu. Tentu setelah taufik dari Allah, sang raja mengambil keputusan dengan tepat. Memang, sekuat apapun akal manusia, sejauh manapun pandangannya, tetap butuh bimbingan. Manusia dengan segala kesempurnaannya masih saja lemah, butuh Dzat yang akan mengokohkannya. Tetap harus bergantung kepada Dzat yang akan melindunginya. Tanpa itu, pasti semuanya akan hancur. Pencapaian apapun dari manusia, tanpa mengembalikan kepada Allah, maka itu adalah kesombongan. Sementara sejarah kesombongan, tidak lain kecuali selalu berakhir dengan kebinasaan. Kaum Aad, Tsamud, Fir’aun, Haman, Qarun, adalah sebagian buktinya.
“Berkata Dzul Qarnain, ‘Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya. Kemudian dia kembalikan kepada Rabbnya, lalu Rabb mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:87-88]. Inilah keputusan Dzul Qarnain. Bagi yang terus menerus di atas kekafiran, tidak mau menyambut dakwah, bahkan menentangnya, maka keadilan yang terbaik adalah segera mengakhiri hidupnya. Karena berlama-lama hidup dalam kekafiran hanya akan menambah dosa. Dosa demi dosa bertumpuk, semakin membuat tak kuasa memikulnya. Di dunia hukuman bunuh, untuk menghadapi hukuman yang lebih dahsyat. Karena tidak ada kebaikan pada seorang yang Allah limpahkan berbagai nikmat, namun nikmat itu justru digunakan untuk bermaksiat kepada sang pemberi nikmat.
Adapun mereka yang beriman, menyambut dakwahnya Dzul Qarnain, beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, maka balasan terbaik untuk mereka, yaitu surga. Setelah di dunia mereka menahan diri dari dosa, di akhirat kebebasan tanpa batas untuknya. Hidup dalam kesejahteraan abadi, kedamaian dan kebahagiaan dalam nikmat tiada henti. Surga yang disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa tidak ada sesuatupun di surga dari apa yang ada di dunia kecuali nama-nama saja. Demikian yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Maksudnya adalah bentuk kenikmatan antara surga dan dunia hanyalah sama dalam hal namanya saja. Namun hakikatnya sangat jauh berbeda. Sama-sama rumah, antara rumah di surga dan rumah di dunia tidak bisa dibandingkan. Hanya sama namanya saja. Bagaimana mungkin sama antara yang hakiki dan semu? Antara yang kekal dan sementara? Antara yang murni dan penuh dengan kekurangan? Tentu tidak sama! Bagaimana mungkin sama, sementara kenikmatan dan keindahan surga tidak mungkin dijangkau oleh khayalan manusia sekalipun.
“Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur), dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu. Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:89-91]. Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan dalam ayat ini, bahwa Dzul Qarnain kemudian menempuh jalan yang lain, ia berjalan dari arah tenggelamnya matahari menuju tempat terbitnya. Setiap melintasi suatu kaum, Dzul Qarnain berhasil menguasainya. Mendakwahi mereka kepada peribadahan kepada Allah semata. Siapa yang membangkang maka terhinakan, siapa yang menyambut dakwah pasti akan mulia. Karena kemuliaan itu milik Allah, akan Allah berikan pada siapa yang Ia kehendaki. Disebutkan dalam pemberitaan israiliyat bahwa Dzul Qarnain hidup selama 1600 tahun, berkeliling dunia hingga sampai ujung-ujung timur dan barat.
Mereka sampai di tempat terbitnya matahari, ia mendapati kaum primitif ynag hidup dalam kemiskinan. Tidak memiliki rumah yang melindungi dari teriknya matahari. Menetap di gua-gua, berpostur pendek dengan kulit kecoklatan. Penghidupan mereka dominan dengan berburu ikan. Di siang hari menghilang di persembunyian, bila malam tiba mereka keluar mencari makan. Sebagian menafsirkan mereka adalah kaum Negro. Hal ini menunjukkan luasnya jangkauan jihad Dzul Qarnain. Allah menampakkan kebesaran-Nya kepada Dzul Qarnain. Demikian pula luasnya ilmu Allah yang tidak terbatas. Tidak pernah terbayang sebelumnya adanya kaum seperti yang ditemui itu. Tidak terjangkau oleh akal manusia, terlebih melihat langsung. Namun Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan kepada Dzul Qarnain hingga melihat secara langsung. Dzul Qarnain masih melanjutkan misi dakwahnya. Berjihad menyebarkan keadilan dengan kasih sayang. Ia melanjutkan perjalanan, menempuh arah timur. Sampailah pada dua gunung berhadapan, di antara keduanya celah yang keluar darinya Ya’juj dan Ma’juj ke arah Turki. Ya’juj dan Ma’juj adalah kaum yang suka berbuat kerusakan, menebar kezaliman di muka bumi. Merusak, membunuh adalah pekerjaan mereka yang berjumlah sangat banyak.
“Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata, ‘Wahai Dzul Qarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:93-94]. Kaum yang tertindas oleh kekejaman Ya’juj dan Ma’juj itu berkeinginan mengumpulkan harta yang mereka miliki sebagai upah untuk Dzul Qarnain. Yaitu dengan timbal balik, Dzul Qarnain membuatkan tembok raksasa yang bisa menghalangi Ya’juj dan Ma’juj. Dengan berbagai cara, sebisanya mereka mengungkapkan maksud tersebut. Karena mereka memang sulit berkomunikasi. Tidak bisa memahami bahasa orang lain, kurang mampu pula menerangkan maksud dengan jelas karena kekurangan kecerdasan mereka. Inilah salah satu keistimewaan Dzul Qarnain, kemudahan yang Allah karuniakan kepadanya, ia mampu meraba dan memahami maksud mereka.
Namun Dzul Qarnain menolak upah itu dengan santun penuh hikmah. Ia berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan kekuatan kalian (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka.” Dzul Qarnain merasa cukup dengan karunia yang telah Allah limpahkan kepadanya. Kekuasaan, kekuatan, kecerdasan, pengikut, harta, adalah karunia yang harus disyukuri. Terlebih lagi nikmat teragung yaitu keimanan, kokoh di atas jalan yang lurus. Toh dunia bukanlah tujuan utama. Dalam proyek besar itu, Dzul Qarnain hanya minta bantuan tenaga dan sarana pendukung lainnya. Kaum itu dilibatkan dalam pembangunan proyek untuk mempercepat penyelesaiannya. Agar segera terhidar dari sikap jahat Ya’juj dan Ma’juj.
Tembok itu bukan hanya raksasa, namun sangat istimewa. Karena konstruksi tembok besar itu menggunakan pecahan besi dengan cor lelehan tembaga. Sebuah sistem kekuatan bangunan yang tidak ada sebelumnya, bahkan sesudahnya, “‘Berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzul Qarnain, ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas beni panas itu’.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi:96].
Bahu membahu saling membantu tak kenal lelah, proyek raksasa itu dimulai. Perasaan ukhuwah kekeluargaan semakin erat dalam taawun itu. Inilah nilai lain yang tidak bisa diabaikan dalam sebuah komunitas. Musyawarah, saling memahami dan mengingatkan, saling melengkapi dan menutupi kekurangan yang lain, bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan adalah nilai-nilai sendi kemasyarakatan yang harus dilestarikan. Dengan kompak kaum tersebut bergotong royong, menata potongan-potongan besi layaknya batu bata. Sampai menutup celah antara dua gunung, potongan besi itu rata dengan puncak keduanya.
Setelah tahap pertama pengerjaan mega proyek itu selesai, panjang dan lebar tumpukan besi benar-benar rata menyambung dua gunung, mulailah langkah kedua. Potongan besi itu harus merah membara menjadi bara. Maka dikumpulkan bahan bakar untuk membakarnya. Tentu bukan pekerjaan yang mudah. Namun, membutuhkan energi yang besar. Terutama bahan bakarnya. Itupun belum cukup, bahkan membutuhkan teknik pembakaran yang bagus. Sehingga besi menggunung itu terbakar sempurna, semua merah menyala. Dzul Qarnain memimpin proyek dengan baik. Ia ikut terjun langsung ke lapangan, bukan hanya memberikan arahan dari balik meja. Inilah tipe figur pemimpin yang benar-benar sebagai teladan. Bukan sekadar mengayomi dan melindungi, namun menjadi panutan bagi rakyat dan jajaran bawahannya.
Dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, tumpukan besi menggunung itu berhasil merah menyala. Kemudian Dzul Qarnain meminta untuk menuangkan lelehan tembaga sebagai cornya. Jadi setidaknya ada dua perapian; untuk membakar besi, dan yang kedua mendidihkan tembaga. Lelehan tembaga itu melapisi besi dalam suhu yang sangat tinggi. Sehingga terbentuklah dinding yang sangat megah dan kokoh. Sebuah dinding hasil dari proyek manusia terbesar dalam sejarah peradaban manusia. “Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzul Qarnain berkata, ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan menjadikannya hancur luluh. Dan janji Rabbku itu adalah benar.” [Terjemah Q.S. Al Kahfi: 97-98]. Subhanallah, Maha agung kuasa Allah! Karena tinggi dan besarnya dinding itu, Ya’juj dan Ma’juj tidak mampu menaikinya ke atas. Tidak pula mereka mampu melubangi bagian bawahnya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya secara makna, “Sesungguhnya setiap hari Ya’juj dan Ma’juj berusaha melubangi tembok penghalang itu. Ketika mereka hampir menembusnya, sebagian mereka mengatakan, ‘Kita pulang dahulu saja. Kita lanjutkan besok.’ Namun, keesokan harinya tembok itu telah rapat kembali. Begitu seterusnya, hingga ketika tiba waktunya Allah berkehendak mengirim mereka kepada manusia, tembuslah lubang dinding itu. (Seperti biasanya) mereka berusaha menembusnya. Ketika hampir terlihat sinar matahari darinya, sebagian mengatakan, ‘Kita pulang dahulu saja. Kita lanjutkan besok, insya Allah.’ Ia menyertakan kalimat ‘insya Allah’. Ketika keesokan hari kembali akan melanjutkan, lubang itu seperti saat ditinggalkan, akhirnya mereka meneruskan melubangi sehingga berhasil keluar. Mereka meminum habis air. Manusia pun berlindung dalam benteng mereka. (Setelah membantai manusia dan merasa menang atas mereka), kemudian mengarahkan panah ke langit. Panah itu kembali turun dengan lumuran merah seolah darah. (Dengan sombong mereka mengatakan), ‘Kita telah menaklukkan penduduk bumi, sekaligus penduduk langit.’ Allah lalu mengirimkan ulat yang menyerang urat leher mereka sehingga mereka semuanya binasa.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Hadis ini menunjukkan betapa besar manfaat benteng raksasa itu. ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku’ Dzul Qarnain menyandarkan nikmat tersebut kepada Allah. Bukan kepada yang lainnya. Karena memang Dia-lah sang Pemberi nikmat yang hakiki. Adapun selainnya, tidak lain kecuali sebatas sebab saja. Inilah wujud keimanan hamba. Senantiasa mengembalikan semuanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak tertipu dengan ilmu, usaha, dan segala yang dilakukannya, sebesar apapun itu. Dalam kisah Dzul Qarnain terdapat banyak pelajaran berharga. Allahu A’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 57 vol.05 1439 H rubrik Samawi. Pemateri: Al Ustadz Abu Muhammad Farhan.