Cari Blog Ini

Ma Hiya As-Salafiyyah? - Sebagian Karakteristik Manhaj Salaf (2)

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan ciri-ciri ini atau sebagiannya: 

1. Firman Allah taala ketika memerintahkan untuk berpegang teguh dengan tali-Nya yang kuat dan memperingatkan dari mencampakkannya, 
وَٱعۡتَصِمُوا۟ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ 
“Berpegangteguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103). 

Allah berfirman, 
مُنِيبِينَ إِلَيۡهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَو‌ٰةَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ۝٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمۡ وَكَانُوا۟ شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ 
“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32). 

Dan Allah berfirman, 
وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَ‌ٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ 
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). 

Allah taala berfirman, 
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمۡ وَكَانُوا۟ شِيَعًا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِى شَىۡءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَفۡعَلُونَ 
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159). 

Ayat-ayat tentang ini ada banyak. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Engkau mengetahui bahwa termasuk kaidah yang agung yang mencakup agama ini adalah melunakkan hati, mempersatukan kalimat, memperbaiki hubungan antara dua pihak...—beliau menyebutkan sebagian ayat-ayat, kemudian berkata—dan nas-nas yang semisal itu yang memerintahkan untuk berjemaah dan bersatu, serta melarang dari perpecahan dan perselisihan. Orang yang memegang prinsip ini adalah orang yang mengusung persatuan, sebagaimana orang yang keluar dari prinsip ini adalah orang yang mengusung perpecahan.”[1]

Beliau juga berkata di tempat lain, “Karena inilah, al-firqah an-najiyah (golongan yang selamat) disifati bahwa mereka adalah ahli sunah waljamaah, mereka adalah golongan mayoritas dan paling agung. Adapun kelompok-kelompok lainnya, mereka adalah golongan yang berpemahaman ganjil, berpecah belah, bidah, dan hawa nafsu. Kelompok ini tidak bisa mendekati tingkatan golongan yang selamat, apalagi sampai menyamainya. Bahkan terkadang ada sebagian kelompok yang sangat sedikit. Syiar dari kelompok-kelompok ini adalah memisahkan diri dari Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama.”[2]

2. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Ash-Shahih
إِنَّ اللهَ يَرۡضَىٰ لَكُمۡ ثَلَاثًا وَيَكۡرَهُ لَكُمۡ ثَلَاثًا: فَيَرۡضَىٰ لَكُمۡ: أَنۡ تَعۡبُدُوهُ وَلَا تُشۡرِكُوا بِهِ شَيۡئًا، وَأَنۡ تَعۡتَصِمُوا بِحَبۡلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكۡرَهُ لَكُمۡ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثۡرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الۡمَالِ. 
“Sesungguhnya Allah meridai untuk kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara. Allah meridai untuk kalian agar kalian menyembahnya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, agar kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan berpecah belah. Allah membenci untuk kalian: qīla wa qāla (katanya dan katanya/larut dalam pembicaraan yang tidak ada faedahnya), banyak bertanya/meminta (tanpa hajat), dan menyia-nyiakan harta.”[3]

Imam Ahmad menambahkan dalam Al-Musnad
وَأَنۡ تُنَاصِحُوا مَنۡ وَلَّاهُ اللهُ أَمۡرَكُمۡ. 
“(Allah meridai untuk kalian) agar kalian saling menasihati dengan orang yang Allah jadikan sebagai penguasa kalian.”[4]

Imam Ibnu ‘Abdul Barr rahimahullah berkata ketika menyebutkan hadis ini di dalam At-Tamhid[5]

“Dalam hadis ini ada anjuran agar berpegang teguh dengan tali Allah dalam keadaan berkumpul dan bersatu. Tali Allah di dalam konteks ini ada dua penafsiran: 
  1. Kitab Allah, 
  2. Jemaah kaum muslimin dan tidak ada jemaah kecuali dengan pemimpin. 
Kedua makna ini, menurutku, saling melengkapi dan hampir sama, karena kitab Allah memerintahkan agar bersatu dan melarang dari berpecah belah…” 

Kemudian beliau menyebutkan sebagian ayat-ayat yang telah lewat. 

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam Minhaj As-Sunnah[6] ketika menafsirkan tali Allah, “Tali Allah ditafsirkan dengan kitab-Nya, agama-Nya, Islam, ikhlas, perintah-Nya, perjanjian-Nya, ketaatan kepada-Nya, dan jemaah kaum muslimin. Ini semuanya dinukil dari sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan dan semuanya sahih. Karena Alquran memerintahkan untuk beragama Islam yang itu merupakan perjanjian-Nya, perintah-Nya, dan ketaatan kepada-Nya. Dan berpegang teguh dengan ini semuanya hanya bisa terjadi dalam jemaah kaum muslimin. Serta agama Islam hakikatnya adalah ikhlas untuk Allah.” 

Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata ketika menyebutkan hadis ini, “Tidak terjadi satu kerusakan pun dalam agama manusia dan dunia mereka kecuali dengan sebab tidak terpenuhinya tiga hal ini atau sebagiannya.”[7]

3. Firman Allah subhanahu wa taala di dalam surah Al-Fatihah, 
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ۝٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ۝٧ 
Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 6, 7). 

Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dalam Ighatsah Al-Lahafan[8] berkata, 

“Ini adalah jalan yang lurus yang Allah taala wasiatkan kepada kita agar mengikutinya. Yaitu jalan yang dahulu dilalui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Inilah jalan yang lurus, sedangkan yang keluar dari jalan tersebut adalah jalan yang menyimpang. Akan tetapi terkadang penyimpangannya sangat jauh dari jalan lurus tersebut dan terkadang sedikit. Dan di antara dua jalan yang menyimpang itu ada tingkatan-tingkatan penyimpangan yang hanya Allah yang bisa menghitungnya. Ini seperti jalan secara fisik, karena orang yang menempuh jalan bisa saja berbelok darinya lalu dia menyimpang dengan penyimpangan yang parah dan terkadang ada yang tidak sampai separah itu. 

Jadi timbangan yang dengannya bisa diketahui apakah seseorang itu istikamah di atas jalan yang lurus atau menyimpang darinya adalah apabila dia melalui jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Sedangkan orang yang menyimpang darinya, bisa jadi dia adalah seorang yang meremehkan lagi zalim, atau seorang yang bersungguh-sungguh tapi salah tafsir, atau seorang yang taklid lagi jahil. Semua ini telah Allah larang, sehingga tidak ada yang tersisa kecuali sikap mencukupkan diri dan berpegang teguh dengan sunah. Dan di atas sikap inilah agama ini berporos.” 

Maka, siapa saja yang menetapi ajaran salaf yang benar dengan ilmu dan keadilan, niscaya dia akan berada di pertengahan antara kelompok-kelompok yang celaka dan sesat, karena kebenaran ada di tengah-tengah di antara dua kesesatan. 

Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Tidaklah ada satu perintah yang Allah taala perintahkan kecuali setan akan memunculkan padanya dua perkara. Setan tidak peduli di perkara mana orang akan terjerumus, yaitu: sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan.”[9]

Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, 

“Tidaklah Allah azza wajalla memerintahkan suatu perintah kecuali setan memiliki padanya dua bisikan: bisa berupa sikap meremehkan dan bermudah-mudahan, bisa juga sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas. Setan tidak peduli yang mana akan mengenai seorang hamba dari dua kesalahan itu. Setan akan mendatangi hati seorang hamba lalu meracuninya: 

Jika setan mendapati pada hati itu ada peremehan, lemah semangat, perendahan, dan pengabaian maka setan akan menariknya dari jalan ini. Setan akan menariknya dari jalan ini, lalu setan akan melemahkan kemauannya, menjadikannya malas, menahannya dari beramal, dan mematahkan semangat. Setan akan membukakan pintu takwil-takwil dan harapan untuknya. Dan lain sebagainya, hingga bisa saja nanti hamba itu akan meninggalkan semua yang Allah perintahkan. 

Jika setan mendapati pada hati hamba itu ada kewaspadaan, kesungguhan, kesiapan, dan tinggi semangatnya; dan setan telah berputus asa menyerangnya dari pintu ini; maka setan akan menyuruhnya agar bersungguh-sungguh yang berlebihan dan setan menggoda bahwa ini tidak cukup bagimu dan tekadmu melebihi ini. Sepantasnya engkau lebih di atas orang-orang yang beramal, engkau jangan tidur ketika mereka tidur, engkau berpuasa ketika mereka tidak berpuasa, …, dan lain sebagainya berupa perbuatan berlebih-lebihan dan melampaui batas. Hal itu mendorong hamba untuk berbuat berlebihan, melampaui batas, dan melanggar jalan yang lurus. Sebagaimana godaan setan itu mendorong golongan pertama untuk bersikap bermudah-mudahan di bawah jalan yang lurus dan agar jangan mendekatinya. 

Tujuan setan terhadap dua golongan ini adalah mengeluarkan mereka dari jalan yang lurus. Ini dengan tidak mendekati dan menghampirinya, sedangkan yang ini dengan melampaui dan melanggarnya. 

Banyak orang yang telah diuji dengan ini dan tidak ada yang menyelamatkan dari hal itu kecuali ilmu yang mendalam, keimanan, kekuatan dalam melawan cobaan, dan menetapi sikap pertengahan. Dan Allah lah tempat meminta pertolongan.”[10]

Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam menerangkan sikap pertengahan ahli sunah di dalam kitabnya Al-’Aqidah Al-Wasathiyyah[11] berkata, “Demikian pula dalam seluruh bab sunah, mereka adalah pertengahan karena mereka berpegang teguh dengan kitab Allah, sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kesepakatan kaum muhajirin, ansar, dan yang mengikuti mereka dengan baik.” 


[1] Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam (28/51). 
[2] Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam (3/435, 346). 
[4] (2/367). 
[5] (21/272). 
[6] (5/134). 
[7] Ad-Durar As-Saniyyah (2/133). 
[8] (1/131). 
[9] Al-Maqashid Al-Hasanah halaman 205. 
[10] Al-Wābil Aṣ-Ṣayyib hamalan 29-30. 
[11] Al-Majmū‘ (3/375).