Cari Blog Ini

Siibawaih, Pakar Nahwu dari Bashrah

Nabi kita diutus dari bangsa Arab. Kitab suci kita diturunkan dengan bahasa Arab. Bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab. Buku-buku para ulama semuanya berbahasa Arab. Bangsa Arab adalah bangsa yang paling mulia. Bahasa mereka adalah bahasa paling utama. 

Adalah kewajiban seorang mukmin tanpa terkecuali untuk mempelajari Al Kitab dan As Sunnah. Bagi orang Arab mungkin tidak terlalu sulit untuk mempelajarinya, mengingat bahasa keduanya adalah bahasa mereka sendiri. 

Adapun mereka yang bukan Arab, untuk bisa mempelajari Al Kitab dan As Sunnah bukan hal yang gampang. Maka wajib bagi mereka untuk mempelajari tata bahasa Arab yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah dibakukan. 

Kewajiban mempelajari bahasa Arab adalah kewajiban yang bersifat umum untuk semua pihak. Karena dengan mempelajarinya kita bisa memahami dengan baik maksud dari Al Kitab dan As Sunnah serta memahami penjelasan dari ulama-ulama Islam. 

Bahasa Arab sendiri terdiri dari rangkaian ilmu yang sangat banyak. Sesuai dengan tujuan masing-masing. Di antara komponen paling penting dalam ilmu bahasa Arab adalah ilmu nahwu. 

Nahwu, ilmu yang sangat penting. Ilmu yang sangat dibutuhkan. Sebagian ulama kita pernah berkata, “Ilmu nahwu bagaikan baju yang memiliki tutup kepala, bila seseorang tidak memilikinya layaknya baju tak bertutup kepala.” 

Ilmu nahwu sudah dikenal sejak zaman terdahulu. Meskipun belum dibukukan dalam bentuk buku-buku yang menjelaskan kaidah-kaidah tata bahasa Arab, namun mereka sudah memahami bagaimanakah tata bahasa yang benar. 

Ilmu nahwu itu sendiri dibukukan ketika Islam semakin meluas dan banyak orang Ajam (non Arab) yang masuk Islam. Maka dibutuhkan sekali kaidah-kaidah bahasa Arab agar mereka bisa memahami Islam lebih dalam. 

Terlebih lagi ketika banyak orang yang mulai salah dalam berbahasa Arab dan memahaminya. Maka para ulama di masa itu dengan bimbingan para shahabat terpanggil untuk membukukan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab. 

Akhirnya dengan izin Allah ilmu ini semakin dikenal dan memiliki perkembangan yang sangat cepat. Hingga tersohor di seluruh antero dunia, dari masa ke masa. Tidak terkecuali negeri kita yang tercinta, Indonesia. 

Di Indonesia sendiri ilmu ini sudah tidak asing lagi. Banyak kalangan yang mulai tertarik mempelajarinya. Mulai dari jenjang pendidikan dasar di beberapa sekolah, ilmu ini sudah mulai dikenalkan dan diajarkan. 

Berbicara tentang ilmu yang satu ini, pasti para pencintanya sangat mengenal sosok seorang tokoh yang sangat legendaris. Nama dan keilmuannya sudah tidak asing di kalangan para penuntut ilmu, terlebih para pakar bahasa Arab. 

Siibawaih, ya itulah julukan tokoh tersebut. Julukan ini bahkan lebih dikenal di kalangan orang banyak melebihi nama aslinya. Yuk mengenal lebih dalam siapakah beliau? 

Nama asli beliau adalah ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur Al Farisy Al Bashry Abu Bisyr rahimahullah. Beliau dijuluki oleh Imam Dzahabi rahimahullah dengan imam nahwu dan hujjahnya orang Arab. Julukan Siibawaih ini melekat pada beliau karena aroma apel yang sangat khas dari beliau. 

Ada yang mengatakan beliau dijuluki dengannya karena kedua tulang pipinya menonjol seperti apel. Di samping keilmuan beliau juga dikenal dengan ketampanan dan kebersihan penampilannya. 

Berkata Al Aisyi, “Kami pernah bermajelis dengan Siibawaih di masjid. Beliau adalah pemuda yang tampan, bersih, dan rapi.” Di awal menuntut ilmu, beliau fokus mengambil bidang fikih dan hadis selama beberapa waktu. 

Setelah itu beliau fokus mengambil ilmu nahwu, beliau berguru kepada Al Khalil bin Ahmad pakar nahwu di zaman itu. Siibawaih meraih posisi yang sangat tinggi dalam bidang ilmu nahwu. 

Ibnu Nathaah rahimahullah berkata, “Aku pernah duduk bersama Al Khalil bin Ahmad. Tidak lama datanglah Siibawaih. Berkata Al Khalil ketika melihat kedatangan beliau, ‘Selamat datang wahai teman duduk yang tidak membosankan.” 

Berkata Abu Umar Al Makhzumi (beliau banyak bermajelis dengan Al Khalil bin Ahmad), “Aku tidak pernah mendengar Al Khalil mengucapkan ucapan tadi kepada siapapun kecuali kepada Siibawaih.” 

Beliau memiliki kitab yang membahas seputar kaidah-kaidah nahwu. Bahkan kitab beliau adalah kitab yang paling bagus dalam mengupas ilmu ini. Banyak para ulama yang memuji kitab beliau. 

Mu’awiyah bin Bakar Al Aliimi mengatakan, “Aku melihat Siibawaih, dia sangat muda. Aku mendengar pada masa itu, dia adalah murid Al Khalil bin Ahmad yang paling menonjol. Aku mendengarnya berbicara dan berdialog seputar ilmu nahwu. Lisan beliau sedikit gagap. Aku melihat karyanya, ternyata karya beliau lebih hebat dari lisannya.” 

Al Jaahidh berkata, “Aku pernah ingin menemui Muhammad bin Abdil Malik Az Zayyat menteri kerajaan Al Mu’tashim. Aku berpikir hadiah apa yang cocok untuknya. Tidaklah aku mendapati sesuatu yang lebih istimewa daripada kitab karya Siibawaih.” 

Ketika aku sampai di kediamannya. Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mendapati hadiah yang cocok untukmu selain kitab ini. Aku membelinya di Maktabah Al Farra’. Menteri inipun menjawab, ‘Demi Allah tidaklah ada hadiah darimu yang lebih aku sukai daripada kitab ini.” 

Di antara kisah yang menarik dari beliau, bangsa jin pun mengakui bagaimana keilmuan beliau dalam bidang nahwu. Abul Hasan bin Kaisaan pernah menyampaikan, “Suatu malam aku begadang untuk membahas sesuatu. Tiba-tiba aku tertidur dan bermimpi. Aku melihat dalam mimpiku sekelompok jin sedang muraja’ah (belajar) fikih, hadis, hisab, nahwu, dan sya’ir. Aku pun bertanya kepada mereka, “Apakah kalian punya ulama?” Mereka menjawab, “Ya!” Aku pun bertanya lagi, “Kalian mengikuti mazhab siapa dalam bidang nahwu?” Mereka menjawab, “Kami ikut mazhab Siibawaih.” 

Di antara kisah yang sangat terkenal tentang beliau adalah perdebatan antara beliau dan Imam Kisaai. Keduanya adalah pakar nahwu di masa itu. Suatu hari beliau melakukan perjalanan dari Bashrah menuju Baghdad. 

Ketika itu Imam Kisaai mengajari Al Amiin putra Harun Ar Rasyid rahimahullah. Kedua imam ini pun dipertemukan dan terjadilah perdebatan panjang antara keduanya soal permisalan orang Arab tentang lebah dan kumbang besar. 

Imam Kisaai salah dalam membawakan permisalan tersebut dan dikoreksi oleh Imam Siibawaih. Namun Kisaai tidak menerima. Keduanya pun sepakat memanggil seorang Arab (pedalaman) yang bahasanya masih murni. 

Ternyata orang Arab ini membenarkan Siibawaih. Namun, Al Amiin, putra Harun Ar Rasyid membela Kisaai karena dia adalah gurunya. Setelah tahu yang benar adalah Siibawaih, dia meminta orang Arab tadi untuk membela Kisaai. 

Tapi orang Arab pedalaman ini menolak dan mengatakan bahwa lisanku tidak bisa mengucapkan apa yang diucapkan oleh Kisaai. Orang-orang pun membujuknya. Dan mereka sepakat memanggil seseorang untuk membacakan ucapan Siibawaih dan Kisaai kemudian orang ini bertanya kepada orang Arab pedalaman tadi, “Mana yang kamu pilih? Ucapan Siibawaih atau Kisaai?” 

Orang-orang pun meminta agar Arab pedalaman ini mengatakan, “Aku memilih ucapan Kisaai.” Ternyata orang Arab pedalaman ini menyetujuinya. Maka diadakan pertemuan besar. Dua imam di atas diundang dan diundang pula para pakar ilmu nahwu, tidak ketinggalan Arab pedalaman tadi juga diundang. Kemudian permisalan orang Arab pedalaman tentang kumbang besar dan lebah diucapkan sesuai ucapan Siibawaih dan Ucapan Kisaai. Kemudian orang Arab pedalaman tadi dimintai pendapat. Dia pun berkata, “Yang benar adalah ucapan Kisaai, seperti itulah ucapan orang Arab yang asli.” 

Melihat kenyataan ini, Siibawaih sadar bila mereka sekongkol untuk menjatuhkan dirinya dan mereka fanatik dengan Kisaai. Beliaupun memutuskan untuk pergi meninggalkan Kota Baghdad dalam keadaan sangat sedih atas kejadian tersebut. 

Beliau melakuan perjalanan menuju Pesia, namun beliau meninggal di sebuah desa bernama Al Baidhaa’ yang berada di daerah Syiiraaz. Beliau meninggal di usia sekitar empat puluh tahun, semoga Allah merahmati beliau. 

[Disadur dari kitab Siyar A’laam Nubala, Wafayaatul A’yaan, dan Taarikh Baghdad]. 

Sumber: Majalah Qudwah edisi 68 vol.06 1440 H rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Amr As Sidawi.