Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah di dalam
Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
الۡمَوۡضِعُ الثَّانِي: أَنَّهُ ﷺ لَمَّا قَامَ يُنۡذِرُهُمۡ عَنِ الشِّرۡكِ
وَيَأۡمُرُهُمۡ بِضِدِّهِ وَهُوَ التَّوۡحِيدُ لَمۡ يَكۡرَهُوا ذٰلِكَ
وَاسۡتَحۡسَنُوهُ وَحَدَّثُوا أَنۡفُسَهُمۡ بِالدُّخُولِ فِيهِ، إِلَى أَنۡ
صَرَّحَ بِسَبِّ دِينِهِمۡ وَتَجۡهِيلِ عُلَمَائِهِمۡ، فَحِينَئِذٍ شَمَّرُوا
لَهُ وَلِأَصۡحَابِهِ عَنۡ سَاقِ الۡعَدَاوَةِ. وَقَالُوا: سَفَّهَ أَحۡلَامَنَا
وَعَابَ دِينَنَا وَشَتَمَ آلِهٰتَنَا.
Peristiwa kedua: Bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit
memperingatkan mereka dari kesyirikan dan memerintahkan mereka lawan dari
kesyirikan itu, yaitu tauhid,[1]
mereka belum membenci hal itu dan menganggap baik hal itu. Bahkan terbersit
dalam jiwa mereka untuk masuk ke dalam agama yang beliau bawa. Sampai ketika
beliau terang-terangan mencela agama mereka dan membodoh-bodohkan ulama
mereka, maka ketika itu mereka mengumumkan permusuhan kepada beliau dan para
sahabat beliau.[2]
Mereka berkata, “Dia (yaitu Rasulullah) telah menganggap pikiran kita ini
bodoh. Dia telah mencela agama kita dan dia telah mencerca tuhan-tuhan
kita.”[3]
وَمَعۡلُومٌ أَنَّهُ ﷺ لَمۡ يَشۡتُمۡ عِيسَى وَأُمَّهُ وَلَا الۡمَلَائِكَةَ
وَلَا الصَّالِحِينَ. لَكِنۡ لَمَّا ذَكَرَ أَنَّهُمۡ لَا يُدۡعَوۡنَ وَلَا
يَنۡفَعُونَ وَلَا يَضُرُّونَ جَعَلُوا ذٰلِكَ شَتۡمًا.
Padahal telah diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mencerca ‘Isa, ibunya, para malaikat, dan orang-orang saleh.[4]
Akan tetapi, ketika beliau menyebutkan bahwa tidak boleh berdoa kepada mereka
dan bahwa mereka tidak bisa memberi manfaat dan mudarat, mereka menganggap itu
sebagai cercaan.[5]
فَإِذَا عَرَفۡتَ هَٰذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الۡإِنۡسَانَ لَا يَسۡتَقِيمُ لَهُ
إِسۡلَامٌ -وَلَوۡ وَحَّدَ اللهَ وَتَرَكَ الشِّرۡكَ- إِلَّا بِعَدَاوَةِ
الۡمُشۡرِكِينَ وَالتَّصۡرِيحِ لَهُمۡ بِالۡعَدَاوَةِ وَالۡبُغۡضِ، كَمَا قَالَ
تَعَالَى: ﴿لَّا تَجِدُ قَوۡمًا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ
يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ﴾... [الۡمُجادلة: ٢٢].
Apabila engkau mengetahui ini, maka engkau mengetahui bahwa seorang insan
tidak akan lurus Islamnya walaupun dia telah menauhidkan Allah dan
meninggalkan syirik kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik dan
terang-terangan memusuhi dan membenci mereka.
Sebagaimana firman Allah taala, “Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman
pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya…” (QS. Al-Mujadilah: 22).[6]
فَإِذَا فَهِمۡتَ هَٰذَا فَهۡمًا جَيِّدًا عَرَفۡتَ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ
الَّذِينَ يَدَّعُونَ الدِّينَ لَا يَعۡرِفُونَهَا.
وَإِلَّا فَمَا الَّذِي حَمَلَ الۡمُسۡلِمِينَ عَلَى الصَّبۡرِ عَلَى ذٰلِكَ
الۡعَذَابِ وَالۡأَسۡرِ وَالضَّرۡبِ وَالۡهِجۡرَةِ إِلَى الۡحَبَشَةِ. مَعَ
أَنَّهُ ﷺ أَرۡحَمُ النَّاسِ، لَوۡ يَجِدُ لَهُمۡ رُخۡصَةً لَأَرۡخَصَ لَهُمۡ،
كَيۡفَ وَقَدۡ أَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا
بِٱللَّهِ فَإِذَآ أُوذِىَ فِى ٱللَّهِ جَعَلَ فِتۡنَةَ ٱلنَّاسِ كَعَذَابِ
ٱللَّهِ﴾ [العنكبوت: ١٠].
فَإِذَا كَانَتۡ هَٰذِهِ الۡآيَةُ فِيمَنۡ وَافَقَهُمۡ بِلِسَانِهِ فَكَيۡفَ
بِغَيۡرِ ذٰلِكَ؟!
Apabila engkau telah memahami hal ini dengan baik, maka engkau mengetahui
bahwa banyak di antara orang-orang yang mengaku-aku beragama Islam, tetapi dia
tidak mengetahuinya.[7]
Jika bukan karena sikap permusuhan kepada orang-orang yang menentang Allah,
lalu apa lagi yang menyebabkan kaum muslimin harus menanggung kesabaran
menghadapi siksaan, penawanan, kekerasan fisik, dan hijrah ke Habasyah.[8]
Padahal beliau shallallahu ‘alaih wa sallam adalah orang yang paling
penyayang. Andai beliau mendapatkan rukhsah untuk mereka tentu beliau akan
memberi keringanan kepada mereka.
Namun bagaimana lagi, sedangkan Allah taala telah menurunkan ayat, “Dan di
antara manusia ada yang mengucapkan kami beriman kepada Allah, namun ketika
mereka diganggu karena (beriman kepada) Allah, maka dia menjadikan cobaan
manusia itu seperti siksa Allah.” (QS. Al-‘Ankabut: 10).[9]
Apabila ayat ini turun tentang orang-orang yang mencocoki para penentang Allah
hanya dengan lisannya, lalu bagaimana dengan yang selain itu?![10]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan
hafizhahullah dalam
Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
[1]
لَوۡ كَانَ يَأۡمُرُهُمۡ بِالتَّوۡحِيدِ وَيَنۡهَاهُمۡ عَنِ الشِّرۡكِ عُمُومًا
وَلَمۡ يَتَعَرَّضۡ لِمَا هُمۡ عَلَيۡهِ.
Andai beliau memerintahkan mereka untuk bertauhid dan melarang mereka dari
syirik secara umum, serta tidak menentang jalan hidup mereka.
وَهُمۡ يَقُولُونَ: الَّذِي نَحۡنُ عَلَيۡهِ لَيۡسَ بِشِرۡكٍ، الَّذِي نَحۡنُ
عَلَيۡهِ تَقَرَّبٌ إِلَى اللهِ بِالۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، وَنَحۡنُ لَا
نُشۡرِكُ بِاللهِ إِنَّمَا هَٰذَا تَقَرُّبٌ إِلَى اللهِ وَتَوَسُّلٌ
إِلَيۡهِ.
Mereka berkata, “Yang kami jalani ini bukan syirik. Yang kami jalani ini
adalah pendekatan diri kepada Allah dengan para wali dan orang saleh. Kami
tidak menyekutukan Allah. Ini hanya mendekatkan diri kepada Allah dan mencari
perantara kepada-Nya.”
وَلَوۡ أَنَّ الرَّسُولَ اقۡتَصَرَ عَلَى النَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ دُونَ
تَفۡصِيلٍ وَبَیَانٍ، لَمَا اعۡتَرَضُوا عَلَيۡهِ؛ لِأَنَّهُمۡ يَرَوۡنَ
أَنَّهُمۡ غَيۡرُ مُشۡرِکِینَ.
Andai Rasulullah mencukupkan melarang dari syirik tanpa perincian dan
penjabaran, niscaya mereka tidak akan menentangnya, karena mereka berpandangan
bahwa diri mereka bukanlah musyrik.
[2]
أَيۡ : لِأَنَّهُمۡ يُفَسِّرُونَ الَّذِي هُمۡ عَلَيۡهِ أَنَّهُ لَيۡسَ بِشِرۡكٍ،
لَٰكِنۡ عِنۡدَمَا تَقُولُ لَهُمۡ: هَٰذِهِ الۡأَضۡرِحَةُ وَهَٰذِهِ الۡقُبُورُ
الَّتِي تَعۡبُدُونَهَا وَتُنۡذِرُونَ لَهَا وَتَذۡبَحُونَ لَهَا، عَمَلُكُمۡ
هَٰذَا هُوَ الشِّرۡكُ، عِنۡدَ ذٰلِكَ تَثُورُ ثَائِرَتُهُمۡ، هَٰذَا هُوَ
الَّذِي فَعَلَهُ الرَّسُولُ ﷺ، نَهَاهُمۡ عَنۡ عِبَادَةِ اللَّاتِ وَالۡعُزَّى
وَمَنَاةَ وَالۡأَصۡنَامِ، وَقَالَ لَهُمۡ: لَسۡتُمۡ عَلَی شَيۡءٍ، وَهَٰؤُلَاءِ
الَّذِينَ يَدۡعُونَكُمۡ إِلَيۡهَا هَٰؤُلَاءِ عُلَمَاءُ ضَلَالٍ، فَحِينَمَا
قَالَ لَهُمۡ ذٰلِكَ ثَارَتۡ ثَائِرَتُهُمۡ حَمِيَّةً لِدِينِهِمۡ، وَهَٰذَا هُوَ
الَّذِي عَلَيۡهِ غَالِبُ الۡعَالَمِ الۡيَوۡمَ.
Yakni bahwa mereka menafsirkan ritual yang mereka jalani bukan kesyirikan.
Tetapi ketika engkau berkata kepada mereka, “Kuburan-kuburan ini kalian
sembah, kalian bernazar untuknya, dan menyembelih untuknya. Amalan kalian ini
adalah syirik.” Saat itulah kemarahan mereka muncul.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau melarang mereka dari beribadah
kepada Lat, ‘Uzza, Manah, dan berhala-berhala. Beliau berkata kepada mereka,
“Apa yang kalian jalani tidak ada artinya. Orang-orang yang mengajak kalian
kepadanya adalah ulama sesat.” Ketika beliau mengatakan itu kepada mereka,
kemarahan mereka tersulut karena fanatik terhadap agama mereka. Inilah yang
dijalani mayoritas orang di hari ini.
[3]
لَوۡ أَنَّهُ مَا شَتَمَ آلِهَتَهُمۡ وَلَاعَابَ دِينَهُمۡ مَا قَالُوا لَهُ
شَيۡئًا، فَلَوۡ اقۡتَصَرَ عَلَى قَوۡلِهِ: الشِّرۡكُ قَبِيحٌ وَالتَّوۡحِيدُ
طَيِّبٌ، وَلَا عَابَ آلِهَتَهُمۡ وَلَا سَبَّ دِينَهُمۡ، لَمَا
عَارَضُوهُ.
Andai beliau tidak mencela sesembahan mereka dan tidak mencacat agama mereka,
tentu mereka tidak mengatakan sesuatu pun kepada mereka. Andai beliau sekadar
mengatakan, “Syirik itu jelek, sedangkan tauhid itu baik,” dan beliau tidak
mencacat sesembahan mereka dan tidak mencela agama mereka, tentu mereka tidak
menentang beliau.
[4]
الرَّسُولُ ﷺ مَا سَبَّ الصَّالِحِينَ، وَإِنَّمَا سَبَّ عِبَادَةَ غَيۡرِ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ، وَبَيَّنَ أَنَّ أَنۡبِيَاءَ اللهِ وَعِبَادَهُ الصَّالِحِينَ
وَالۡمَلَائِكَةَ لَا يَرۡضَوۡنَ أَنۡ يُعۡيَدُوا مِنۡ دُونِ اللهِ.
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak mencela orang-orang saleh.
Beliau hanya mencela peribadahan kepada selain Allah. Beliau hanya menerangkan
bahwa para nabi, hamba-hamba Allah yang saleh, dan malaikat tidak rida untuk
disembah di samping Allah.
[5]
لَمَّا قَالَ: إِنَّ عِيسَىَ لَا يَنۡفَعُ وَلَا يَضُرُّ، وَإِنَّ الۡمَلَائِكَةَ
لَا تَنۡفَعُ وَلَا تَضُرُّ، وَإِنَّ الصَّالِحِينَ لَا يَنۡفَعُونَ وَلَا
يَضُرُّونَ، عَدُّوا ذٰلِكَ تَنَقُّصًا لِلصَّالِحِينَ، وَيَقُولُونَ لِأَهۡلِ
التَّوۡحِيدِ: أَنۡتُمۡ لَا تَبۡنُونَ عَلَى أَضۡرِحَتِهِمۡ. وَهَٰذَا مِنۡ
حَقِّهِمۡ عَلَيۡنَا.
يَقُولُونَ: حَقًّا عَلَيۡنَا إِكۡرَامُهُمۡ وَالۡبِنَاءُ عَلَى قُبُورِهِمۡ،
هَٰذَا مِنۡ حَقِّهِمۡ عَلَيۡنَا، وَهَٰذَا مِنۡ تَقۡدِيرِهِمۡ، وَعِنۡدَمَا
نَتَوَسَّلُ بِهِمۡ إِلَى اللهِ، هَٰذَا مِنۡ تَقۡدِيرِهِمۡ
وَتَعۡظِيمِهِمۡ.
وَأَنۡتُمۡ تَقُولُونَ: هَٰذَا بَاطِلٌ وَيَعۡتَبِرُونَ هَٰذَا شَتۡمًا وَسَبًّا
لَهُمۡ. هَٰذَا الَّذِي يُفَسِّرُونَ بِهِ أَعۡمَالَهُمۡ، وَهَٰذَا مَوۡجُودٌ
الۡآنَ عَلَى أَلۡسِنَتِهِمۡ وَفِي كُتُبِهِمۡ.
Ketika beliau mengatakan, “Sesungguhnya Nabi ‘Isa tidak bisa memberi manfaat
dan mudarat. Malaikat tidak bisa memberi manfaat dan mudarat. Orang-orang
saleh tidak bisa memberi manfaat dan mudarat.” Mereka menilai itu sebagai
celaan terhadap orang-orang saleh.
Mereka berkata kepada orang yang bertauhid,
“Kalian tidak membangun bangunan di atas kuburan mereka. Padahal itu adalah
hak mereka yang harus kita tunaikan.”
Mereka berkata, “Kita wajib memuliakan mereka dan membangun di atas kuburan
mereka. Ini termasuk hak mereka atas kita. Ini termasuk sikap memuliakan
mereka. Ketika engkau menjadikan mereka sebagai perantara kepada Allah, maka
ini termasuk sikap pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.”
Engkau pun
mengatakan, “Ini adalah kebatilan.”
Mereka menilai ucapanmu ini sebagai celaan
dan cacian kepada mereka. Ini diperjelas oleh amalan-amalan mereka. Hal ini
didapati sekarang pada ucapan mereka dan kitab-kitab mereka.
[6]
هُنَاكَ مَنۡ يَنۡتَسِبُونَ لِلدَّعۡوَةِ وَالۡعِلۡمِ وَلَا يَرۡضَوۡنَ
بِمُعَادَاةِ الۡكُفَّارِ وَيَقُولُونَ: إِنَّمَا أُمِرۡنَا بِعَدَاوَةِ
الۡمُحَارِبِينَ فَقَطۡ.
يَقُولُونَ: نُعَادِيهِمۡ لِأَنَّهُمۡ حَارَبُونَا، لِأَنَّهُمۡ أَخَذُوا
أَوۡطَانَنَا، أَمَا َأۡن نُعَادِيهِمۡ مِنۡ أَجۡلِ دِينِهِمۡ فَلَا
نُعَادِيهِمۡ.
وَاللهُ -جَلَّ وَعَلَا- قَالَ: ﴿لَّا تَجِدُ قَوۡمًا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ
كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ
عَشِيرَتَهُمۡ ۚ﴾ [المجادلة: ٢٢].
Di sana ada orang-orang yang berkecimpung dalam dakwah dan ilmu namun tidak
rida dengan sikap permusuhan kepada orang-orang kafir dan mengatakan, “Kita
hanya diperintah untuk memusuhi orang-orang yang memerangi saja.”
Mereka mengatakan, “Kita memusuhi mereka karena mereka memerangi. Karena
mereka mengambil negeri-negeri kami. Kami tidak memusuhi mereka karena agama
mereka.”
Padahal Allah—jalla wa ‘ala—berfirman, “Engkau tidak akan dapati suatu kaum
yang beriman dengan Allah dan hari akhir akan mencintai orang-orang yang
memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah ayah-ayah mereka,
putra-putra mereka, saudara-saudara mereka, dan keluarga-keluarga mereka.”
(QS. Al-Mujadilah: 22).
فَلَمۡ يَقۡتَصِرۡ عَلَى الۡمُحَارِبِينَ فَقَطۡ، بَلۡ إِنَّ اللهَ جَعَلَ سَبَبَ
الۡكَرۡهِ لَهُمۡ هُوَ الۡمُحَادَّةَ لِلهِ وَلِرَسُولِهِ، وَأَيۡ مُحَادَّةٍ
لِلهِ وَرَسُولِهِ أَعۡظَمُ مِنَ الۡكُفۡرِ، وَأَعۡظَمُ مِنَ الشِّرۡكِ بِاللهِ
عَزَّ وَجَلَّ؟ لَا تَجُوزُ مَوَدَّةُ الۡكُفَّارِ كُلِّهِمۡ ﴿يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَ
ۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ
مِنۡهُمۡ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ﴾ [المائدة: ٥١].
﴿لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم
بِٱلۡمَوَدَّةِ وَقَدۡ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلۡحَقِّ﴾ [الممتحنة:
١].
Allah tidak membatasi kepada orang-orang yang memerangi saja, bahkan sungguh
Allah menjadikan sebab kebencian kepada mereka adalah karena penentangan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya apa yang
lebih besar daripada kekufuran dan lebih besar daripada kesyirikan kepada
Allah—‘azza wa jalla—? Tidak boleh mencintai seluruh orang-orang kafir.
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pelindung. Sebagian mereka adalah pelindung sebagian lainnya.
Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pelindung, maka
dia termasuk mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma`idah: 51).
“Janganlah kalian menjadikan
musuh-Ku dan musuh kalian sebagai penolong, sehingga kalian memberikan
kecintaan kepada mereka. Padahal mereka telah kafir terhadap kebenaran yang
kalian bawa.” (QS. Al-Mumtahanah: 1).
[7]
هَٰذَا صَحِيحٌ، فَإِنَّكَ لَوۡ تَسۡأَلُ كَثِيرًا مِنَ الۡعُلَمَاءِ
وَالۡمُتَعَلِّمِينَ عَنۡ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةِ، -مَسۡأَلَةِ الۡوَلَاءِ
وَالۡبَرَاءِ- تَجِدُهُمۡ لَا يَعۡرِفُونَهَا، يَقُولُونَ: لَا يَلۡزَمُ
بُغۡضُهُمۡ، دِينُنَا مَا هُوَ دِینُ عَدَاوَةٍ، دِينُنَا دِينُ مَوَدَّةٍ
وَدِينُ مُصَالَحَةٍ وَدِينُ كَذَا، يَعۡتَبِرُونَ هَٰذَا مِنۡ مَدۡحِ الدِّينِ،
فَمَوَدَّةُ الۡمُشۡرِكِينَ -عِنۡدَهُمۡ- لَا بَأۡسَ بِهَا، وَيَعۡتَبِرُونَهَا
مِنَ الۡمُصَالَحَةِ مَعَهُمۡ.
وَنَقُولُ: مُصَالَحَتُهُمۡ عَلَى أُمُورِ السِّيَاسَةِ لَا مَانِعَ مِنۡهَا،
لَٰكِنۡ مُصَالَحَتُهُمۡ عَلَى تَرۡكِ بَعۡضِ أُمُورِ الدِّينِ لَا
تَجُوزُ.
Ini benar. Sungguh, andai engkau bertanya kepada banyak orang alim dan orang
yang belajar agama tentang masalah ini, yaitu masalah al-wala` wal-bara`
(sikap cinta dan benci). Engkau dapati mereka tidak mengetahuinya.
Mereka
berkata: Tidak harus membenci orang-orang kafir. Agama kita bukanlah agama
permusuhan. Agama kita adalah agama kasih sayang, agama perdamaian, agama ini
itu. Mereka menganggap ini termasuk bentuk pujian terhadap agama. Jadi
mencintai orang-orang musyrik, menurut mereka, tidak mengapa. Mereka
menganggapnya termasuk berdamai bersama mereka.
[8]
مَا سَبَبُ مَا نَالَ الۡمُسۡلِمِينَ فِي مَكَّةَ؟ هَلۡ لِأَنَّهُمۡ مُسۡلِمُونَ
يُصَلُّونَ وَيَصُومُونَ؟ لَا... بَلۡ لِأَنَّهُمۡ أَبۡغَضَوۡا الۡكُفَّارَ
وَعَادَوۡهُمۡ، وَنَهَوۡا عَنِ الشِّرۡكِ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ، هَٰذَا هُوَ
السَّبَبُ، وَإِلَّا لَوۡ أَنَّهُمۡ صَامُوا وَصَلَّوۡا وَاشۡتَغَلُّوا
بِالذِّكۡرِ وَلَمۡ يَتَعَرَّضُوا لِأَحَدٍ، مَا حَصَلَ لَهُمۡ أَذَى بِالضَّرۡبِ
وَالۡحَبۡسِ وَالۡأَسۡرِ، وَلَمَا احۡتَاجُوا إِلَى الصَّبۡرِ؛ لِأَنَّ الصَّبۡرَ
لَا يَكُونُ هُوَ إِلَّا عَلَى شَيۡءٍ مَكۡرُوهٌ.
Apa sebab kaum muslimin disiksa di Makkah? Apakah karena kaum muslimin salat
dan saum? Tidak. Bahkan karena mereka membenci orang-orang kafir, memusuhi
mereka, dan melarang dari kesyirikan terhadap Allah—‘azza wa jalla—. Inilah
sebabnya. Kalau bukan karena ini, andai mereka saum, salat, menyibukkan diri
dengan zikir, dan tidak menghalang-halangi seorang pun, niscaya tidak akan ada
gangguan terhadap mereka, berupa pemukulan, penahanan, dan penyanderaan.
Kaum muslimin pun juga tidak akan butuh kepada kesabaran karena kesabaran
tidak terjadi kecuali terhadap sesuatu yang dibenci.
[9]
مَعَ رَحۡمَتِهِ ﷺ بِأَصۡحَابِهِ مَا رَخَصَ لِأَصۡحَابِهِ بِالتَّنَازُلِ عَنۡ
شَيۡءٍ مِنَ الدِّينِ، مَا رَخَصَ لَهُمۡ فِي هَٰذَا مَعَ أَنَّهُ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- فَلَوۡ وَجَدَ لَهُمۡ رُخۡصَةً فِي
تَرۡكِ إِظۡهَارِ الدِّينِ لَرَخَصَ لَهُمۡ.
Meski beliau memiliki sikap rahmat kepada para sahabatnya, beliau tidak
memberi rukhsah kepada para sahabatnya untuk meninggalkan sebagian perkara
agama. Beliau tidak memberi rukhsah untuk mereka dalam hal ini, padahal
beliau—‘alaihish shalatu was salam—sangat pengasih lagi penyayang. Andai
beliau mendapatkan rukhsah untuk mereka untuk meninggalkan sikap menampakkan
agama, tentu beliau akan memberi rukhsah untuk mereka.
بَلۡ إِنَّ اللهَ أَنۡزَلَ عَلَيۡهِ: ﴿وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا
بِٱللَّهِ﴾ لَٰكِنۡ إِذَا جَاءَ الۡاِمۡتِحَانُ، إِذَا أُوذِيَ فِي اللهِ، إِذَا
أُوذِيَ بِسَبَبِ قَوۡلِهِ: آمَنۡتُ بِاللهِ، وَبِسَبَبِ تَوۡحِيدِهِ فَإِنَّهُ
يَتَرَاجَعُ عَنۡ دِينِهِ،
Bahkan sesungguhnya Allah menurunkan ayat kepada beliau, “Dan di antara
manusia ada yang berkata: Aku beriman kepada Allah.” Akan tetapi apabila ujian
datang, apabila dia diganggu karena Allah, apabila ia diganggu dengan sebab
ucapannya, “Aku beriman kepada Allah” dan dengan sebab ketauhidannya, maka dia
kembali murtad dari agamanya.
يَجۡعَلُ فِتۡنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللهِ، يَفِرُّ مِنۡ أَذِيَّةِ النَّاسِ
فِي الدُّنۡيَا إِلَى عَذَابِ اللهِ فِي الۡآخِرَةِ، مِثۡلُ الَّذِي اسۡتَجَارَ
بِالنَّارِ مِنَ الرَّمۡضَاءِ، وَإِذَا لَمۡ يَصۡبِرۡ عَلَى أَذَى النَّاسِ،
کَیۡفَ يَصۡبِرُ عَلَى النَّارِ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ؟!
Dia menjadikan ujian manusia seperti siksa Allah. Dia kabur menyelamatkan diri
dari gangguan manusia di dunia menuju azab Allah di akhirat. Seperti orang
yang “berlindung dari dahsyatnya panas menggunakan api”. Jika dia tidak bisa
bersabar menanggung gangguan manusia, bagaimana dia bersabar menahan api
neraka pada hari kiamat?!
يَلۡزَمُ الۡعَكۡسَ أَّنَهُ يَفۡتَدِي أَذَى النَّارِ بِتَحَمُّلِ أَذَى
النَّاسِ، وَالصَّبۡرِ عَلَى دِينِهِ، أَمَّا أَنَّهُ يَفۡتَدِي بِدِينِهِ مِنۡ
أَذَى النَّاسِ، وَيَنۡسَى النَّارَ الَّتِي أَمَامَهُ، فَهَٰذَا
كَالۡمُسۡتَجِيرِ مِنَ الرَّمۡضَاءِ بِالنَّارِ، كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:
الۡمُسۡتَجِيرُ بِعَمۡرٍو عِنۡدَ كُرۡبَتِهِ كَالۡمُسۡتَجِيرِ مِنَ الرَّمۡضَاءِ
بِالنَّارِ
Begitu pula sebaliknya, dia menebus siksa neraka dengan menanggung gangguan
manusia dan sabar di atas agamanya. Adapun menebus agamanya dengan gangguan
manusia dan melupakan neraka yang ada di depannya, maka ini seperti “orang
yang berlindung dari dahsyatnya panas dengan menggunakan api “ sebagaimana
ucapan penyair, “Orang yang berlindung dengan ‘Amr ketika dia sedang
kesulitan, seperti orang yang berlindung dari dahsyatnya panas dengan
menggunakan api.”
[10]
إِذَا كَانَ هَٰذَا الۡوَعِيدُ فِي حَقِّ مَنۡ وَافَقَ الۡكُفَّارَ بِلِسَانِهِ
مِنۡ غَيۡرِ إِكۡرَاهٍ لِيَعِيشَ مَعَهُمۡ، فَكَيۡفَ بِمَنۡ وَافَقَهُمۡ
بِفِعۡلِهِ مِنۡ أَجۡلِ مَصَالِحِهِ الدُّنۡيَوِيَّةِ؟!
Apabila ancaman ini ditujukan pada siapa saja yang menyepakati orang-orang
kafir dengan lisannya tanpa ada paksaan agar bisa hidup bersama mereka, lalu
bagaimana dengan orang yang menyepakati orang-orang kafir dengan perbuatannya
untuk kepentingan maslahat duniawinya?!