Syekh Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah dalam Sittah Mawadhi' min
As-Sirah berkata:
الۡمَوۡضِعُ الۡأَوَّلُ: قِصَّةُ نُزُولِ
الۡوَحۡيِ، وَفِيهَا أَنَّ أَوَّلَ آيَةٍ أَرۡسَلَهُ اللهُ بِهَا: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ﴾ إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ﴾
[المدثر: ١-٧].
Peristiwa pertama: Kisah turunnya wahyu. Sesungguhnya ayat pertama yang Allah
utus Nabi Muhammad sebagai rasul adalah ayat (yang artinya), “Wahai
orang-orang yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan.” Sampai ayat,
“Dan hanya kepada Allah, engkau bersabar.” (QS. Al-Muddatstsir: 1-7).[1]
فَإِذَا فَهِمۡتَ أَنَّهُمۡ يَفۡعَلُونَ أَشۡيَاءَ كَثِيرَةً يَعۡرِفُونَ
أَنَّهَا مِنَ الظُّلۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ مِثۡلُ الزِّنَا، وَعَرَفۡتَ أَيۡضًا
أَنَّهُمۡ يَفۡعَلُونَ شَيۡئًا مِنَ الۡعِبَادَةِ يَتَقَرَّبُونَ بِهَا إِلَى
اللهِ مِثۡلِ الۡحَجِّ وَالۡعُمۡرَةِ وَالصَّدَقَةِ عَلَى الۡمَسَاكِينِ
وَالۡإِحۡسَانِ إِلَيۡهِمۡ وَغَيۡرِ ذٰلِكَ.
Jika engkau memahami, bahwa mereka melakukan banyak perkara yang mereka
sendiri ketahui bahwa itu termasuk kezaliman dan permusuhan, semisal zina[2]; dan engkau mengetahui pula bahwa mereka melakukan suatu bentuk ibadah yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah, semisal haji, umrah, sedekah kepada
orang-orang miskin, berbuat baik kepada mereka, dan selain itu.[3]
وَأَجَلُّهَا عِنۡدَهُمُ الشِّرۡكُ، فَهُوَ أَجَلُّ مَا يَتَقَرَّبُونَ بِهِ
إِلَى اللهِ عِنۡدَهُمۡ، كَمَا ذَكَرَ اللهُ عَنۡهُمۡ أَنَّهُمۡ قَالُوا: ﴿مَا
نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ﴾ [الزمر: ٣]،
وَيَقُولُونَ: ﴿هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ﴾ [يونس: ١٨].
Dan kesyirikan menurut mereka adalah ibadah yang paling agung. Menurut mereka
kesyirikan adalah perkara yang paling agung yang paling dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Sebagaimana Allah menyebutkan tentang mereka, bahwa mereka
berkata (yang artinya), “Kami tidaklah menyembah mereka kecuali agar mereka
mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3). Dan mereka
mengatakan, “Mereka ini adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS.
Yunus: 18).[4]
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّهُمُ ٱتَّخَذُوا۟ ٱلشَّيَـٰطِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ
ٱللَّهِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ﴾ [الأعراف: ٣٠].
Allah taala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka menjadikan
setan-setan itu sebagai para wali selain Allah dan mereka menganggap bahwa
diri mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 30).[5]
فَأَوَّلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ بِهِ الۡإِنۡذَارُ عَنۡهُ، قَبۡلَ الۡإِنۡذَارِ
عَنِ الزِّنَا وَالسَّرِقَةِ وَغَيۡرِهِمَا.
وَعَرَفۡتَ أَنَّ مِنۡهُمۡ مَنۡ تَعَلَّقَ عَلَى الۡأَصۡنَامِ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ
تَعَلَّقَ عَلَى الۡمَلَائِكَةِ وَعَلَى الۡأَوۡلِيَاءِ مِنۡ بَنِي آدَمَ.
Ternyata, hal pertama yang Allah perintahkan adalah memperingatkan dari syirik
sebelum memperingatkan dari zina, pencurian, dan selainnya.[6]
Engkau juga mengetahui bahwa di antara mereka ada orang-orang yang
menggantungkan hati kepada berhala-berhala. Di antara mereka juga ada yang
menggantungkan hati kepada para malaikat dan para wali dari kalangan bani
Adam.[7]
وَيَقُولُونَ: مَا نُرِيدُ مِنۡهُمۡ إِلَّا شَفَاعَتَهُمۡ.
وَمَعَ هَٰذَا بَدَأَ بِالۡإِنۡذَارِ عَنۡهُ فِي أَوَّلِ آيَةٍ أَرۡسَلَهُ اللهُ
بِهَا، فَإِنۡ أَحۡكَمۡتَ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةَ فَيَا بُشۡرَاكَ.
خُصُوصًا إِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ مَا بَعۡدَهَا أَعۡظَمُ مِنَ الصَّلَوَاتِ
الۡخَمۡسِ.
Lalu mereka mengatakan: Kami hanya menginginkan syafaat dari mereka.[8]
Bersamaan dengan itu, Allah memulai dengan memperingatkan dari kesyirikan ini
di awal ayat yang Allah utus beliau dengannya. Jika engkau sudah gamblang
dengan masalah ini, maka bergembiralah.[9]
Terkhusus jika engkau mengetahui bahwa tidak ada setelah perkara ini yang
lebih agung daripada salat lima waktu.[10]
وَلَمۡ تُفۡرَضُ إِلَّا فِي لَيۡلَةِ الۡإِسۡرَاءِ سَنَةَ عَشۡرٍ بَعۡدَ حِصَارِ
الشِّعبِ وَمَوۡتِ أَبِي طَالِبٍ، وَبَعۡدَ هِجۡرَةِ الۡحَبَشَةِ
بِسَنَتَيۡنِ.
Salat tidak diwajibkan kecuali pada malam isra pada tahun sepuluh setelah
pemboikotan (terhadap kaum muslimin) di sebuah lembah, setelah meninggalnya Abu
Thalib, dan dua tahun setelah hijrah ke Habasyah.[11]
فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ تِلۡكَ الۡأُمُورَ الۡكَثِيرَةَ وَالۡعَدَاوَةَ
الۡبَالِغَةَ، كُلَّ ذٰلِكَ عِنۡدَ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةِ قَبۡلَ فَرۡضِ
الصَّلَاةِ، رَجَوۡتُ أَنۡ تَعۡرِفَ الۡمَسۡأَلَةَ.
Maka, ketika engkau mengetahui bahwa banyak kejadian dan permusuhan yang
sengit itu, semua itu adalah dalam masalah memperingatkan dari kesyirikan
sebelum diwajibkannya salat, maka aku harap engkau mengerti permasalahannya.[12]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Syarh
Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
[1]
(الۡمَوۡضِعُ الۡأَوَّلُ: قِصَّةُ نُزُولِ الۡوَحۡيِ) أَيۡ: بَدۡءُ الۡوَحۡيِ
عَلَى الرَّسُولِ ﷺ.
Peristiwa pertama adalah kisah turunnya wahyu. Yaitu awal mula wahyu kepada
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.
كَانَ ﷺ قَبۡلَ الۡبِعۡثَةِ مُخَالِفًا لِمَا عَلَيۡهِ الۡمُشۡرِكُونَ، لَمۡ
يَعۡبُدِ الۡأَصۡنَامَ، وَكَانَ مُخَالِفًا لِمَا عَلَيۡهِ قَوۡمُهُ، فَكَانَ
يَذۡهَبُ إِلَى غَارِ جَبَلِ حِرَاءَ، وَهُوَ غَارٌ فِي أَعۡلَى الۡجَبَلِ
مُوَاجِهٌ لِلۡكَعۡبَةِ، فَكَانَ يَجۡلِسُ فِيهِ الۡأَيَّامَ وَالۡأَشۡهُرَ
يَعۡبُدُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعۡتَزِلُ عَنِ النَّاسِ، يَعۡبُدُ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَى دِينِ إِبۡرَاهِيمَ، عَلَى الۡحَنِيفِيَّةِ دِينِ إِبۡرَاهِيمَ
-عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، جَاءَهُ مَلَكٌ وَهُوَ فِي الۡغَارِ،
فَقَالَ لَهُ: اقۡرَأۡ، قَالَ: (مَا أَنَا بِقَارِئٍ) لِأَنَّهُ مَا كَانَ
يَقۡرَأُ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا كُنتَ
تَتۡلُوا۟ مِن قَبۡلِهِۦ مِن كِتَـٰبٍ وَلَا تَخُطُّهُۥ بِيَمِينِكَ ۖ﴾
[العنكبوت: ٤٨] كَانَ أُمِّيًّا -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- لَا يَقۡرَأُ
وَلَا يَكۡتُبُ.
Dahulu sebelum diutus, beliau menyelisihi kebiasaan orang-orang musyrik.
Beliau tidak menyembah berhala. Beliau menyelisihi jalan hidup kaumnya.
Dahulu beliau biasa pergi ke gua gunung Hira`. Sebuah gua yang berada di
puncak gunung yang menghadap ke Kakbah. Dahulu, beliau biasa duduk di situ
selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Beliau beribadah kepada Allah—‘azza
wa jalla—dan memisahkan diri dari orang-orang. Beliau beribadah kepada
Allah—‘azza wa jalla—menurut agama Nabi Ibrahim. Sesuai dengan agama hanifiyyah,
agama Nabi Ibrahim—‘alaihish shalatu was salam—.
Lalu ada malaikat yang mendatangi beliau di dalam gua itu. Malaikat itu
berkata kepada beliau, “Bacalah!”
Rasulullah mengatakan, “Aku tidak bisa membaca.”
Beliau—‘alaihish shalatu was salam—memang tidak bisa membaca. Allah taala
berfirman yang artinya, “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Alquran)
sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan
kananmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 48). Beliau—‘alaihish shalatu was salam—adalah
seorang yang umi, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.
وَالۡمَلَكُ يَقُولُ لَهُ: اقۡرَأۡ. وَهُوَ يَقُولُ: (لَسۡتُ بِقَارِئٍ) يَعۡنِي:
لَا أُحۡسِنُ الۡقِرَاءَةَ.
ثُمَّ يَضُمُّهُ ضَمَّةً شَدِيدَةً، ثُمَّ يُرۡسِلُهُ وَيَقُولُ لَهُ: اقۡرَأۡ.
فَيَقُولُ: (مَا أَنَا بِقَارِئٍ)، ثُمَّ يَضُمُّهُ ضَمَّةً شَدِيدَةً ثُمَّ
يُرۡسِلُهُ وَيَقُولُ لَهُ: اقۡرَأۡ. فَيَقُولُ: (مَا أَنَا بِقَارِئٍ). أَيۡ:
مَا أُحۡسِنُ الۡقِرَاءَةَ. ثُمَّ فِي النِّهَايَةِ قَالَ لَهُ: ﴿ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ
رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ
ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ
يَعۡلَمۡ﴾[العلق: ١-٥] فَحَفِظَهَا النَّبِيُّ ﷺ، وَهَٰذَا أَوَّلُ مَا نَزَلَ
عَلَيۡهِ مِنَ الۡوَحۡيِ، وَصَارَ بِذٰلِكَ نَبِيًّا نَبَّأَهُ اللهُ بِـ:
اقۡرَأۡ.
Malaikat itu berkata kepada beliau, “Bacalah!”
Rasulullah berkata, “Aku tidak bisa membaca.” Yakni: Aku tidak pandai
membaca.
Kemudian malaikat itu mendekap beliau dengan kuat, lalu melepaskannya dan
berkata kepada beliau, “Bacalah!”
Rasulullah tetap berkata, “Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu kembali mendekap beliau dengan kuat, lalu melepaskannya dan
berkata kepada beliau, “Bacalah!”
Rasulullah kembali berkata, “Aku tidak bisa membaca.” Yakni: Aku tidak pandai
membaca.
Kemudian akhirnya malaikat itu berkata kepada beliau, “Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, demi Tuhanmu yang Mahamulia. Yang telah mengajarkan dengan
perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.
Al-‘Alaq: 1-5).
Lalu Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menghafalkannya. Ayat-ayat ini adalah
wahyu pertama yang turun kepada beliau. Dengan ayat “Iqra`” tersebut beliau
menjadi seorang nabi yang diutus oleh Allah.
ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى خَدِيجَةَ -رَضِيَ اللهُ تَعَالَی عَنۡهَا- أُمِّ
الۡمُؤۡمِنِينَ، وَذَكَرَ لَهَا مَا حَصَلَ لَهُ، وَكَانَ خَائِفًا تَرۡعَدُ
فَرَائِصُهُ مِمَّا رَأَى مِنۡ هَوۡلِ الۡمَوۡقِفِ وَمَجِيءِ الۡمَلَكِ إِلَيۡهِ
فِي هَٰذَا الۡمَكَانِ، وَقَالَ لَهَا: (لَقَدۡ خَشِيتُ عَلَى نَفۡسِي).
فَقَالَتۡ: كَلَّا وَاللهِ لَا يُخۡزِيكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ
الرَّحۡمَ، وَتَقۡرِي الضَّيۡفَ، وَتَحۡمِلُ الۡكَلَّ، وَتُكۡسِبُ الۡمُعۡدِمَ
-أَوِ الۡمَعۡدُومَ- اسۡتَدَلَّتۡ بِصِفَاتِهِ ﷺ الطَّيِّبَةِ عَلَى أَنَّ اللهَ
لَا يُوقِعُ بِهِ مَا يَخۡشَاهُ (لَا يُخۡزِيكَ اللهُ أَبَدًا)؛ لِأَنَّ
صِفَاتَهُ صِفَاتٌ حَمِيدَةٌ، وَهَٰذَا مِنۡ فِقۡهِهَا -رَضِيَ اللهُ تَعَالَی
عَنۡهَا- فَهِيَ أَوَّلُ مَنۡ طَمۡأَنَ الرَّسُولَ وَنَاصَرَهُ وَ آنَسَهُ مِنۡ
هَٰذِهِ الۡوَحۡشَةِ، وَهَٰذَا مَوۡقِفٌ عَظِيمٌ مِنۡهَا.
Kemudian beliau pergi menemui Khadijah—radhiyallahu ta’ala ‘anha—ibunda kaum
mukminin dan menceritakan apa yang beliau alami kepadanya. Beliau dalam
keadaan takut dan tengkuknya gemetar dengan sebab apa yang beliau lihat berupa
pemandangan yang mengerikan dan datangnya malaikat kepada beliau di tempat
tersebut. Beliau berkata kepada Khadijah, “Sungguh aku mengkhawatirkan
diriku.”
Khadijah menimpali, “Sekali-kali tidak—demi Allah—Allah tidak akan
menjatuhkanmu ke dalam kehinaan selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang
yang menyambung silaturahmi, memuliakan tamu, menanggung beban, dan membantu
fakir.”
Khadijah beralasan dengan perangai Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang
mulia bahwa Allah tidak akan menimpakan apa yang beliau khawatirkan.
“Sekali-kali tidak—demi Allah—Allah tidak akan menjatuhkanmu ke dalam kehinaan
selama-lamanya” (HR.
Al-Bukhari nomor 3,
3392,
4953,
4955,
6982, dan
Muslim nomor 160
dari hadis ‘Aisyah—radhiyallahu ‘anha—); karena perangai beliau adalah
perangai terpuji.
Ini di antara kefakihan Khadijah—radhiyallahu ta’ala ‘anha—. Beliau adalah
orang pertama yang menenangkan Rasulullah, menguatkannya, dan menenteramkannya
dari kegalauan. Ini adalah sikap yang agung dari Khadijah.
ثُمَّ قَالَ : (دَثِّرُونِي) أَيۡ: غَطُّونِي، وَغَطَّتۡهُ، وَبَيۡنَمَا هُوَ
كَذٰلِكَ جَاءَهُ الۡمَلَكُ فَقَالَ لَهُ: ﴿ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ
فَأَنذِرۡ﴾ فَصَارَ بِذٰلِكَ رَسُولًا؛ لِأَنَّهُ بِهَٰذَا أُمِرَ
بِالتَّبۡلِيغِ، وَفِي الۡأَوَّلِ لَمۡ يُؤۡمَرۡ بِالتَّبۡلِيغِ، قِيلَ لَهُ:
﴿ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ﴾ لَمۡ يُؤۡمَرۡ بِالتَّبۡلِيغِ، صَارَ
نَبِيًّا بِذٰلِكَ، ثُمَّ جَاءَتۡهُ الرِّسَالَةُ وَهِيَ أَنَّهُ أُمِرَ
بِالتَّبۡلِيغِ: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢ وَرَبَّكَ
فَكَبِّرۡ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ﴾ [المدثر:
١-٥].
Kemudian Rasulullah berkata, “Selimuti aku!” Yakni, selubungi tubuhku!
Khadijah pun menyelimuti beliau. Ketika beliau sedang dalam keadaan itu,
malaikat mendatangi beliau seraya berkata kepada beliau, “Wahai orang yang
berselimut, bangkitlah dan berilah peringatan!”
Dengan ayat itu, beliau menjadi seorang rasul karena beliau diperintahkan
untuk menyampaikan (syariat).
Pada awalnya, beliau tidak diperintahkan untuk menyampaikan. Dikatakan kepada
beliau, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan!”
Beliau tidak diperintahkan untuk menyampaikan. Beliau menjadi nabi dengan ayat
itu. Kemudian tugas kerasulan datang kepada beliau, yaitu bahwa beliau
diperintahkan untuk menyampaikan. “Wahai orang yang berselimut, bangkitlah dan
berilah peringatan! Agungkanlah Tuhanmu! Sucikanlah pakaianmu dan
tinggalkanlah berhala!” (QS. Al-Muddatstsir: 1-5).
الرُّجۡزُ: الۡأَصۡنَامُ، هَٰذَا مَحَلُّ الشَّاهِدِ: وَهَجۡرُهَا: تَرۡكُهَا
وَالۡاِبۡتِعَادُ عَنۡهَا ﴿وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ﴾ لَا بُدَّ مِنَ الصَّبۡرِ؛
لِأَنَّ الۡمُهِمَّةَ ثَقِيلَةٌ جِدًّا وَطَوِيلَةٌ وَتَحۡتَاجُ إِلَى صَبۡرٍ،
هَٰذَا أَوَّلُ مَا بَعَثَ اللهُ بِهِ رَسُولَهُ ﷺ، بِالنَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ،
أَوَّلُ شَيۡءٍ أَمَرَهُ بِأَنۡ يَنۡهَى عَنِ الشِّرۡكِ ﴿وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ﴾،
﴿قُمۡ فَأَنذِرۡ﴾ أَنۡذِرۡ عَمَّاذَا؟ أَنۡذِرِ النَّاسَ عَنِ الشِّرۡكِ
وَعِبَادَةِ الۡأَصۡنَامِ أَنۡذِرۡهُمۡ عَنۡهَا.
أَوَّلُ شَيۡءٍ أَنَّهُ أُمِرَ بِالۡإِنۡذَارِ وَأُمِرَ بِهَجۡرِ الۡأَصۡنَامِ
وَتَرۡكِهَا، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى خُطُورَةِ الشِّرۡكِ.
Rujz adalah berhala-berhala. Inilah yang jadi topik pembicaraan. Hajr artinya
meninggalkan dan menjauhinya.
“Bersabarlah untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu!” Harus sabar karena tugas ini sangat berat, lama, dan butuh kesabaran. Inilah
tugas pertama yang Allah utus Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, yaitu
melarang dari kesyirikan. Hal pertama yang Allah perintahkan beliau adalah
melarang dari kesyirikan. “Jauhilah berhala-berhala!”
“Bangkitlah dan beri peringatan!” Memperingatkan dari apa? Memperingatkan
manusia dari kesyirikan dan dari menyembah berhala. Memperingatkan mereka
darinya.
Tugas pertama adalah beliau diperintahkan untuk memberi peringatan dan
diperintahkan untuk menjauhi berhala serta meninggalkannya. Hal ini
menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan.
[2]
هَٰؤُلَاءِ أَهۡلُ الۡجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يُمَارِسُونَ الۡقَبَائِحَ: الزِّنَا
وَالرِّبَا وَالۡكَبَائِرَ.
Orang-orang jahiliah dahulu melakukan praktek amalan yang nista, yaitu: zina,
riba, dan dosa-dosa besar.
[3]
وَمَعَ هَٰذَا عِنۡدَهُمۡ بَقَايَا مِنۡ دِينِ إِبۡرَاهِيمَ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ-؛ كَانُوا يَحُجُّونَ وَيَعۡتَمِرُونَ، وَكَانُوا يَتَصَدَّقُونَ
عَلَى الۡمُحۡتَاجِينَ، هَٰذِهِ الۡأَفۡعَالُ طَيِّبَةٌ لَٰكِنۡ لَيۡسَ مَعَهَا
تَوۡحِيدٌ، وَالۡعَمَلُ وَإِنۡ كَانَ عَمَلًا طَيِّبًا، إِذَا لَمۡ يَكُنۡ مَعَهُ
تَوۡحِيدٌ فَإِنَّهُ لَا يُفِيدُ صَاحِبَهُ.
Bersamaan ini, mereka memiliki sisa peninggalan dari agama Ibrahim—‘alaihish
shalatu was salam—. Dahulu mereka masih melakukan haji dan umrah. Mereka juga
bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Ini adalah perbuatan-perbuatan
yang baik, akan tetapi tidak disertai tauhid. Sedangkan semua amal, meskipun
merupakan amalan kebaikan, apabila tidak disertai tauhid, maka amalan itu
tidak memberi faedah kepada pelakunya.
وَيَعۡمَلُونَ أَعۡمَالًا سَيِّئَةً إِلَى جَانِبِ هَٰذِهِ الۡأَعۡمَالِ
الطَّيِّبَةِ، يَعۡمَلُونَ أَعۡمَالًا سَيِّئَةً أَعۡظَمُهَا الشِّرۡكُ،
يَفۡعَلُونَ الزِّنَا وَيَأۡكُلُونَ الرِّبَا وَيَأۡكُلُونَ الۡمَيۡسِرَ،
وَهَٰذِهِ كَبَائِرُ، لَٰكِنۡ أَعۡظَمُهَا الشِّرۡكُ، مِنۡ عِبَادَةِ
الۡأَصۡنَامِ وَغَيۡرِهَا.
Mereka melakukan amal-amal kejelekan di samping amal-amal kebaikan ini. Mereka
melakukan amal-amal kejelekan. Paling besarnya adalah kesyirikan. Mereka juga
melakukan zina, mengambil riba, dan berjudi. Ini adalah dosa-dosa besar, akan
tetapi yang paling besar adalah kesyirikan, berupa penyembahan terhadap
berhala dan selainnya.
وَيَتَقَرَّبُونَ بِهَا إِلَى اللهِ، يَتَقَرَّبُونَ بِهَٰذَا الشِّرۡكِ إِلَى
اللهِ مِنۡ جَهۡلِهِمۡ، يَقُولُونَ: ﴿مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ
إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ﴾[الزمر: ٣] انۡظُرۡ كَيۡفَ يَفۡعَلُ الۡجَهۡلُ
بِأَصۡحَابِهِ، يَجۡعَلُ الۡحَقَّ بَاطِلًا وَالۡبَاطِلَ حَقًّا، يَجۡعَلُونَ
الشِّرۡكَ تَوۡحِيدًا وَتَقَرُّبًا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Mereka mendekatkan diri kepada
Allah dengan kesyirikan ini akibat kebodohan mereka. Mereka berkata, “Kami
tidak menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah
sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).
Perhatikan bagaimana kebodohan memperlakukan pemiliknya! Kebodohan membuat
pemiliknya melihat yang hak sebagai batil dan yang batil sebagai kebenaran.
Mereka menganggap kesyirikan sebagai tauhid dan pendekatan diri kepada
Allah—‘azza wa jalla—.
وَهَٰذَا يُعۡطِيكَ وُجُوبَ الۡاِهۡتِمَامِ بِأَمۡرِ الۡعَقِيدَةِ وَأَمۡرِ
التَّوۡحِيدِ وَ الۡفِقۡهِ فِي ذٰلِكَ.
Ini akan memberimu pemahaman akan wajibnya perhatian dalam perkara akidah,
perkara tauhid, dan mendalami perkara itu.
[4]
اعۡتَرَفُوا أَنَّهُمۡ يَعۡبُدُونَهُمۡ حَيۡثُ قَالُوا: ﴿مَا نَعۡبُدُهُمۡ﴾
لٰكِنۡ يَقُولُونَ: مَا قَصَدۡنَا بِهَٰذِهِ الۡعِبَادَةِ إِلَّا أَنَّهُمۡ
يُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ، وَيَظُنُّونَ أَنَّ هَٰذَا عَمَلٌ طَيِّبٌ، لِأَنَّهُ
تَعۡظِيمٌ لِلهِ وَإِجۡلَالٌ لِلهِ، حَيۡثُ إِنَّهُمۡ يُقَرِّبُونَنَا إِلَيۡهِ
لِأَنَّنَا لَا نَصِلُ إِلَيۡهِ إِلَّا بِعِبَادَتِهِمۡ، فَهُمۡ يُقَرِّبُونَا
إِلَى اللهِ لِأَنَّهُمۡ صَالِحُونَ، وَهُمۡ يَعۡنُونَ الۡمَلَائِكَةَ،
وَيَعۡنُونَ الۡأَنۡبِيَاءَ مِثۡلَ عِيسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ يَتَّخِذُونَهُمۡ
وَسَائِطَ بَيۡنَهُمۡ وَبَيۡنَ اللهِ لِيُقَرِّبُوهُمۡ إِلَى اللهِ
زُلۡفَی.
Mereka mengakui bahwa mereka beribadah kepada selain Allah karena mereka
berkata, “Kami tidaklah menyembah mereka…” Tetapi mereka berkata, “Kami tidak
bermaksud dengan ibadah ini kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada
Allah.”
Mereka menganggap ini adalah amalan yang baik karena merupakan pengagungan
kepada Allah dan pemuliaan untuk Allah. Yaitu dengan cara mereka mendekatkan
kami kepada-Nya karena kami tidak bisa sampai kepada-Nya kecuali dengan
menyembah mereka. Jadi mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah karena
mereka adalah orang-orang saleh. Atau bisa juga yang mereka maksud adalah
malaikat. Atau yang mereka maksud adalah para nabi semisal ‘Isa—‘alaihis
salam—. Mereka menjadikan yang selain Allah itu sebagai perantara antara
mereka dengan Allah agar sesembahan selain Allah itu mendekatkan mereka kepada
Allah sedekat-dekatnya.
[5]
كَيۡفَ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوۡلِيَاءً مِنۡ دُونِ اللهِ، وَهُمۡ
يَتَقَرَّبُونَ بِالصَّالِحِينَ: بِعِيسَى وَبِعُزَيۡرٍ، وَبِالۡمَلَائِكَةِ؟
نَعَمۡ، اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ؛ لِأَنَّ هَٰؤُلَاءِ الصَّالِحِينَ لَا
يَرۡضَوۡنَ بِذٰلِكَ، وَلَمۡ يَأۡمُرُوهُمۡ بِذٰلِكَ، وَإِنَّمَا الَّذِي
أَمَرَهُمۡ بِهَٰذَا الشَّيَاطِينُ، هِيَ الَّتِي أَمَرَتۡهُمۡ بِعِبَادَةِ
الۡمَسِيحِ وَعِبَادَةِ الۡمَلَائِكَةِ وَعُزَيۡرٍ وَغَيۡرِهِمۡ مِنَ
الۡأَنۡبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، فَهُمۡ يَعۡبُدُونَ الشَّيَاطِينَ فِي
الۡحَقِيقَةِ حَيۡثُ أَطَاعُوهُمۡ فِي عِبَادَةِ هَٰؤُلَاءِ ﴿وَيَحۡسَبُونَ
أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ﴾ [الأعراف: ٣٠]، يَحۡسَبُونَ أَنَّ هَٰذَا هُوَ الۡهُدَى،
وَأَنَّهُ طَرِيقُ خَيۡرٍ وَطَرِيقُ صَلَاحٍ، وَلِهَٰذَا يَقُولُ -جَلَّ
وَعَلَا-: ﴿ وَيَوۡمَ يَحۡشُرُهُمۡ وَمَا يَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ
فَيَقُولُ ءَأَنتُمۡ أَضۡلَلۡتُمۡ عِبَادِى هَـٰٓؤُلَآءِ أَمۡ هُمۡ ضَلُّوا۟
ٱلسَّبِيلَ ١٧ قَالُوا۟ سُبۡحَـٰنَكَ مَا كَانَ يَنۢبَغِى لَنَآ أَن نَّتَّخِذَ
مِن دُونِكَ مِنۡ أَوۡلِيَآءَ وَلَـٰكِن مَّتَّعۡتَهُمۡ وَءَابَآءَهُمۡ حَتَّىٰ
نَسُوا۟ ٱلذِّكۡرَ وَكَانُوا۟ قَوۡمًۢا بُورًا﴾ [الفرقان: ۱۷-۱۸].
Bagaimana (dikatakan) bahwa mereka menjadikan para setan itu sebagai para
pelindung selain Allah padahal mereka mendekatkan diri dengan hamba Allah yang
saleh, yaitu: dengan ‘Isa, ‘Uzair, dan para malaikat? Ya, mereka menjadikan
para setan (sebagai para pelindung selain Allah) karena hamba-hamba Allah yang
saleh itu tidak rida dilakukan seperti itu. Yang menyuruh mereka untuk
melakukan ini hanyalah para setan. Para setan itulah yang menyuruh mereka
menyembah ‘Isa Al-Masih, menyembah para malaikat, ‘Uzair, dan selain mereka
dari kalangan para nabi dan orang-orang saleh. Jadi hakikatnya mereka
menyembah para setan karena mereka menaati para setan ketika menyembah mereka
ini.
“Dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 30).
Mereka mengira ini adalah petunjuk dan ini adalah jalan kebaikan serta jalan
keselamatan. Karena inilah, Allah—jalla wa ‘ala—berfirman, “Dan (ingatlah)
suatu hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka beserta apa yang mereka sembah
selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah): ‘Apakah kalian yang
menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan
(yang benar)?’ Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah
patut bagi kami mengambil selain Engkau sebagai pelindung, akan tetapi Engkau
telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka
lupa mengingat-Mu; dan mereka adalah kaum yang binasa.’” (QS. Al-Furqan:
17-18).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَيَوۡمَ يَحۡشُرُهُمۡ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ
لِلۡمَلَـٰٓئِكَةِ أَهَـٰٓؤُلَآءِ إِيَّاكُمۡ كَانُوا۟ يَعۡبُدُونَ ٤٠ قَالُوا۟
سُبۡحَـٰنَكَ﴾ نَزَّهُوا اللهَ أَنۡ يُعۡبَدَ غَيۡرُهُ مَعَهُ ﴿أَنتَ وَلِيُّنَا
مِن دُونِهِم ۖ بَلۡ كَانُوا۟ يَعۡبُدُونَ ٱلۡجِنَّ ۖ أَكۡثَرُهُم بِهِم
مُّؤۡمِنُونَ﴾ [سبأ: ٤٠-٤١] فَالۡمَلَائِكَةُ تَبَرَّءُوا مِنۡهُمۡ وَ أَخۡبَرُوا
أَنَّهُمۡ مَا أَمَرُوهُمۡ بِهَٰذَا، وَإِنَّمَا الَّذِي أَمَرَهُمۡ بِهَٰذَا
هُمُ الشَّيَاطِينُ مِنَ الۡجِنِّ وَالۡإِنۡسِ، فَصَارَتۡ عِبَادَتُهُمۡ
لِلشَّيَاطِينِ الَّذِينَ أَمَرُوهُمۡ.
Allah taala juga berfirman, “Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah
mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada para malaikat,
‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kalian?’ Para malaikat itu menjawab,
‘Mahasuci Engkau.’” (QS. Saba`: 40-41).
Jadi para malaikat berlepas diri dari para penyembahnya dan para malaikat
mengabarkan bahwa diri mereka tidak memerintahkan demikian. Yang menyuruh para
penyembah malaikat melakukan ini hanyalah para setan dari jenis jin dan
manusia. Maka, jadilah (penyembahan mereka kepada malaikat) ini pada
hakikatnya adalah penyembahan mereka kepada para setan yang telah menyuruh
berbuat demikian.
فَبَرَّأَ اللهُ عِبَادَهُ الصَّالِحِينَ مِنۡ أَنۡ يَأۡمُرُوهُمۡ بِذٰلِكَ،
وَمَعَ هَٰذَا يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ مُهۡتَدُونَ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيۡسَ
الۡعِبۡرَةُ أَنۡ يَكُونَ الۡإِنۡسَانُ حُسۡنَ النِّيَّةِ، أَوۡ كَوۡنُهُ مَا
قَصَدَ الشَّرَّ، لَيۡسَ الۡعِبۡرَةُ بِهَٰذَا، الۡعِبۡرَةُ بِالۡاِتِّبَاعِ
لِلرُّسُلِ وَمَنۡ سَارَ عَلَى نَهۡجِهِمۡ، وَحُسۡنُ النِّيَّةِ مَعَ قُبۡحِ
الۡفِعۡلِ لَا يَنۡفَعُ، فَلَمۡ يَكُنۡ هَٰذَا عُذۡرًا لَهُمۡ؛ لِأَنَّ اللهَ
أَرۡسَلَ الرُّسُلَ وَأَنۡزَلَ الۡكُتُبَ لِإِنۡكَارِ ذٰلِكَ.
Lalu Allah membersihkan hamba-hamba-Nya yang saleh dari anggapan bahwa mereka
memerintahkan hal itu.
Bersamaan ini, para penyembah selain Allah itu mengira bahwa diri mereka
mendapat petunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tolok ukur bukanlah
baiknya niat seseorang atau bahwa dirinya tidak memaksudkan kejelekan. Bukan
ini patokannya. Patokannya adalah mengikuti para rasul dan orang-orang yang
berjalan di atas jalan mereka. Niat yang baik disertai dengan perbuatan yang
jelek tidaklah bermanfaat.
Jadi hal ini bukanlah uzur bagi mereka karena Allah sudah mengutus para rasul
dan menurunkan kitab-kitab untuk mengingkari hal itu.
[6]
أَوَّلُ مَا أُمِرَ الرَّسُولُ ﷺ بِالۡإِنۡذَارِ عَنِ الشِّرۡكِ حَيۡثُ قَالَ
اللهُ تَعَالَى: ﴿وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ﴾ [المدثر: ٥] وَذٰلِكَ قَبۡلَ أَنۡ
يُؤۡمَرَ بِالۡإِنۡذَارِ عَنِ الزِّنَا وَشُرۡبِ الۡخَمۡرِ وَأَكۡلِ الرِّبَا،
إِنَّمَا هَٰذِهِ نُهِيَ عَنۡهَا فِيمَا بَعۡدُ، وَلَٰكِنۡ أَوَّلُ مَا أُمِرَ
بِهِ تَرۡكُ الشِّرۡكِ.
Perintah yang pertama kali diperintahkan kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah memperingatkan dari kesyirikan, yaitu ketika Allah taala berfirman, “Dan tinggalkanlah berhala!” (QS. Al-Muddatstsir: 5). Perintah itu disyariatkan sebelum beliau diperintah untuk memperingatkan dari zina, minum khamar, dan makan riba. Semua ini dilarang di kemudian hari, akan tetapi yang awal kali diperintahkan adalah meninggalkan kesyirikan.
لَمۡ يَقُلۡ: حَذِّرۡهُمۡ مِنَ الۡكَبَائِرِ وَمِنَ الزِّنَا وَمِنَ الرِّبَا
وَمِنَ الۡخَبَائِثِ الَّتِي كَانُوا يَعۡمَلُونَهَا، بَلۡ أَوَّلُ مَا أَمَرَهُ
بِالنَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ.
Allah tidak mengatakan, “Peringatkan mereka dari dosa-dosa besar, dari zina, dari riba, dari perbuatan-perbuatan keji yang pada masa itu mereka lakukan.” Akan tetapi awal kali yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya adalah melarang dari kesyirikan.
وَأَوَّلُ مَا أُمِرُوا بِهِ التَّوۡحِيدُ قَبۡلَ أَنۡ يُؤۡمَرُوا بِالصَّلَاةِ
وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ وَالۡحَجِّ؛ لِأَنَّ التَّوۡحِيدَ هُوَ الۡأَسَاسُ،
وَلَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ وَالۡحَجِّ وَالصِّيَامِ وَالۡأَعۡمَالِ
الصَّالِحَةِ مَعَ عَدَمِ وُجُودِ التَّوۡحِيدِ.
Dan perintah pertama yang mereka diperintahkan adalah tauhid, sebelum mereka diperintah salat, zakat, siam, dan haji. Hal itu karena tauhid adalah asas agama. Tidak ada faedah pada salat, haji, siam, dan berbagai amalan saleh apabila hampa dari adanya tauhid.
[7]
كَانُوا فِي الۡجَاهِلِيَّةِ مُتَشَتِّتِينَ فِي عِبَادَاتِهِمۡ
وَمَعۡبُودَاتِهِمۡ، مِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡمَلَائِكَةَ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ
يَعۡبُدُ الصَّالِحِينَ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡأَشۡجَارَ وَالۡأَحۡجَارَ،
وَالنَّبِيُّ ﷺ لَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُمۡ، بَلۡ نَهَاهُمۡ جَمِيعًا
وَقَاتَلَهُمۡ جَمِيعًا، لَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَ مَنۡ عَبَدَ الۡمَلَائِكَةَ
وَالصَّالِحِينَ وَمَنۡ عَبَدَ الۡأَصۡنَامَ؛ لِأَنَّ الۡكُلَّ سَوَاءٌ؛
لِأَنَّهُ لَا فَرۡقَ بَيۡنَ مَنۡ يَعۡبُدُ صَنَمًا، وَمَنۡ يَعۡبُدُ وَلِيًّا
أَوۡ عَبۡدًا صَالِحًا.
Orang-orang di zaman jahiliah berbeda-beda bentuk ibadah dan sesembahan
mereka. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat. Di antara mereka ada
yang menyembah orang-orang saleh. Di antara mereka ada yang menyembah
pohon-pohon dan batu-batu. Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak
membeda-bedakan mereka. Beliau melarang mereka semua (dari kesyirikan) dan
memerangi mereka semua. Beliau tidak membeda-bedakan antara orang yang
menyembah malaikat dan orang-orang saleh dengan orang yang menyembah berhala,
karena mereka itu sama saja. Tidak ada perbedaan antara orang yang menyembah
berhala dengan orang yang menyembah wali atau hamba yang saleh.
[8]
يَقُولُونَ: ﴿مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ﴾
[الزمر: ٣] ﴿وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ﴾ [يونس:
١٨] هَٰذَا قَصۡدُهُمۡ، تَقَرَّبُوا إِلَى اللهِ بِعِبَادَتِهِمۡ هَٰؤُلَاءِ، مَا
قَصۡدُهُمۡ الشِّرۡكُ، وَإِذَا كَانَتِ الۡأَفۡعَالُ شِرۡكًا وَكُفۡرًا فَلَا
يُنۡظَرُ إِلَى الۡمَقَاصِدِ هَلۡ هِيَ حَسَنَةٌ أَوۡ لَيۡسَتۡ حَسَنَةً.
Mereka mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka
mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).
“Mereka mengatakan: Mereka ini pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS.
Yunus: 18).
Ini adalah tujuan mereka. Mereka bertakarub kepada Allah dengan cara menyembah
sesembahan selain Allah. Mereka tidak memaksudkan kesyirikan. Namun, apabila
perbuatan itu memang suatu kesyirikan atau kekufuran, maka tidak perlu dilihat
tujuannya, apakah tujuannya baik atau tidak baik.
[9]
أَيۡ: إِذَا فَهِمۡتَ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةَ، أَنَّ أَوَّلَ مَا يُؤۡمَرُ بِهِ
التَّوۡحِيدُ، وَأَوَّلُ مَا يُنۡهَى عَنۡهُ الشِّرۡكُ، فَإِنَّهُ لَا فَائِدَةَ
فِي صَلَاحِ بَاقِي الۡأُمُورِ مَعَ فَسَادِ الۡعَقِيدَةِ، هَٰذِهِ مَسۡأَلَةٌ
عَظِيمَةٌ وَمَطۡلَبٌ عَظِيمٌ يَجۡهَلُهُ كَثِيرٌ مِمَّنۡ يَنۡتَسِبُونَ إِلَى
الۡإِسۡلَامِ الۡيَوۡمَ.
فَإِذَا فَهِمۡتَهُ فَيَا بُشۡرَاكَ بِالۡعِلۡمِ النَّافِعِ.
Artinya: Apabila engkau memahami permasalahan ini, bahwasanya perkara pertama
yang diperintahkan adalah tauhid dan perkara pertama yang dilarang darinya
adalah kesyirikan, maka sungguh tidak ada faedahnya memperbaiki
perkara-perkara selain itu bersamaan dengan rusaknya akidah. Ini adalah
permasalahan besar dan bahasan penting yang tidak diketahui oleh banyak orang
yang dewasa ini menyandarkan dirinya kepada Islam. Jadi jika engkau telah
memahaminya, maka bergembiralah dengan ilmu yang bermanfaat ini.
[10]
أَيۡ: لَيۡسَ بَعۡدَ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةِ الَّتِي هِيَ التَّوۡحِيدُ أَعۡظَمُ
مِنَ الصَّلَوَاتِ الۡخَمۡسِ؛ لِأَنَّهَا الرُّكۡنُ الثَّانِي مِنۡ أَرۡكَانِ
الۡإِسۡلَامِ بَعۡدَ الشَّهَادَتَيۡنِ، وَمَعَ هَٰذَا لَمۡ يَأۡمُرِ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ بِالصَّلَوَاتِ الۡخَمۡسِ إِلَّا قُبَيۡلَ الۡهِجۡرَةِ، فَالرَّسُولُ ﷺ
مَکَثَ فِي مَكَّةَ ثَلَاثَ عَشۡرَةَ سَنَةً لَمۡ يُؤۡمَرۡ بِالصَّلَاةِ.
Artinya: Tidak ada setelah permasalahan ini, yaitu tauhid, yang lebih besar
daripada salat lima waktu karena ini merupakan rukun Islam kedua setelah dua
syahadat. Bersamaan dengan ini, Allah—‘azza wa jalla—tidak memerintahkan salat
lima waktu kecuali beberapa saat sebelum hijrah. Jadi Rasulullah—shallallahu
‘alaihi wa sallam—menetap di Makah selama tiga belas tahun belum diperintahkan
salat.
وَإِنَّمَا أُمِرَ بِالصَّلَاةِ قُبَيۡلَ الۡهِجۡرَةِ فِي لَيۡلَةِ الۡمِعۡرَاجِ،
فَلِمَاذَا تَأَخَّرَ الۡأَمۡرُ بِالصَّلَاةِ؟ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَتَأَسَّسَ
التَّوۡحِيدُ؛ لِأَنَّهُمۡ لَوۡ صَلَّوا مَا نَفَعَتۡهُمۡ صَلَاتُهُمۡ إِلَّا
مَعَ التَّوۡحِيدِ.
Beliau diperintahkan salat hanyalah beberapa saat sebelum hijrah ketika malam
mikraj. Mengapa perintah salat ini diakhirkan? Agar tauhidnya mapan karena
andai mereka salat, salat mereka tidak bermanfaat kecuali disertai
tauhid.
[11]
إِنَّمَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ لَيۡلَةَ الۡإِسۡرَاءِ وَالۡمِعۡرَاجِ فِي
السَّنَةِ الۡعَاشِرَةِ مِنَ الۡبِعۡثَةِ، وَقِصَّةُ الۡحِصَارِ: أَنَّ
الرَّسُولَ كَانَ يَدۡعُو إِلَى التَّوۡحِيدِ وَيَنۡهَى عَنِ الشِّرۡكِ، وَكَانَ
الۡمُشۡرِكُونَ يُضَايِقُونَهُ وَيُضَايِقُونَ أَصۡحَابَهُ، وَكَانَ عَمُّهُ
أَبُو طَالِبٍ يُدَافِعُ عَنۡهُ وَيَحۡمِيهِ مِنۡ أَذَى قَوۡمِهِ، سَخَّرَهُ
اللهُ لَهُ مَعَ أَنَّهُ مُشۡرِكٌ، لَٰكِنِ اللهُ -جَلَّ وَعَلَا- سَخَّرَهُ
لِنَبِيِّهِ يَحۡمِيهِ وَيُدَافِعُ عَنۡهُ.
Salat diwajibkan ketika malam isra mikraj di tahun kesepuluh sejak diutusnya
beliau.
Adapun kisah pemboikotan adalah bahwa dahulu Rasulullah mengajak kepada tauhid
dan melarang dari kesyirikan. Ketika itu, orang-orang musyrik mengintimidasi
beliau dan para sahabatnya, sementara Abu Thalib membela dan menjaga beliau
dari gangguan kaumnya. Allah menundukkan Abu Thalib padahal dia adalah seorang
musyrik. Akan tetapi Allah—jalla wa ‘ala—tundukkan Abu Thalib untuk nabi-Nya,
sehingga menjaganya dan membelanya.
فَلَمَّا مَاتَ أَبُو طَالِبٍ وَمَاتَتۡ زَوۡجَةُ النَّبِيِّ ﷺ خَدِيجَةُ رَضِيَ
اللهُ عَنۡهَا، وَهُمَا اللَّذَانِ يُدَافِعَانِ عَنۡهُ، تَسَلَّطَ الۡكُفَّارُ
عَلَيۡهِ زِيَادَةً، وَضَيَّقُوا عَلَيۡهِ الۡخِنَاقَ هُوَ وَأَصۡحَابَهُ،
وَكَانُوا مِنۡ قَبۡلُ قَدۡ حَصَرُوهُمۡ فِي الشِّعۡبِ، فِي شِعۡبٍ مِنۡ شِعَابِ
مَكَّةَ، وَقَاطَعُوهُمۡ، مَنَعُوا عَنۡهُمُ الۡأَرۡزَاقَ وَ الۡبَضَائِعِ،
وَمَنَعُوا التَّزَوُّجَ مِنۡهُمۡ، حَاصَرُوهُمۡ فِي هَٰذَا الشِّعۡبِ حَتَّى
آلَمَهُمۡ الۡجُوعُ.
Ketika Abu Thalib meninggal dan istri Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—, yaitu Khadijah, juga meninggal, padahal keduanya adalah orang yang
membela beliau, maka orang-orang kafir bertambah penindasannya terhadap beliau
dan tambah mengintimidasi beliau dan para sahabatnya. Lalu mereka memboikot
dan mengembargo mereka di salah satu lembah Makkah. Mereka menghalangi dari
rezeki, kebutuhan pokok, dan menghalangi pernikahan dari mereka. Mereka memboikot di
lembah ini hingga kelaparan menyiksa mereka.
وَكَتَبُوا بِذٰلِكَ صَحِيفَةً وَقَعُوا عَلَيۡهَا وَعَلَّقُوهَا فِي الۡكَعۡبَةِ
لِمُقَاطَعَةِ مُحَمَّدٍ وَمَنۡ مَعَهُ؛ وَلَمَّا مَاتَ الَّذِي كَانَ يُدَافِعُ
عَنۡهُ فَسَنَحَتۡ لَهُمُ الۡفُرۡصَةُ فَاشۡتَدَّ أَذَاهُمۡ لَهُ وَمَنۡ مَعَهُ
وَمَعَ هَٰذَا مَا أُمِرَ بِالصَّلَاةِ مِنۡ بِعۡثَتِهِ إِلَى هَٰذِهِ
الۡفَتۡرَةِ؛ لِأَنَّ الۡمَقَامَ مَقَامُ تَصۡحِيحِ عَقِيدَةٍ قَبۡلَ كُلِّ
شَيۡءٍ.
Mereka menulisnya di atas lembaran dan menggantungkannya di Kakbah untuk memutuskan hubungan
dengan Muhammad dan orang-orang yang bersama beliau. Ketika orang-orang yang
membela beliau telah meninggal, kesempatan muncul bagi mereka sehingga mereka
menambah gangguan mereka kepada beliau dan orang-orang yang bersama beliau.
Bersamaan ini, beliau belum diperintahkan salat semenjak diutusnya beliau
hingga jangka waktu ini karena kondisi yang tepat saat itu adalah untuk mengoreksi akidah sebelum
segala sesuatu.
وَلَمَّا اشۡتَدَّ أَذَاهُمۡ عَلَى الرَّسُولِ ﷺ وَضَايَقُوهُ، أَمَرَ مَنۡ
مَعَهُ مِنۡ ضَعَفَةِ الصَّحَابَةِ، مِمَّنۡ لَيۡسَ لَهُمۡ مَنۡ يُدَافِعُ
عَنۡهُمۡ، أَمَرَهُمۡ بِالۡهِجۡرَةِ إِلَى الۡحَبَشَةِ؛ لِأَنَّ فِيهَا مَلَكًا
وَهُوَ النَّجَاشِيُّ لَا يُظۡلَمُ أَحَدٌ عِنۡدَهُ، وَهُوَ تَصۡرَانِيٌّ إِذۡ
ذَاكَ، لَٰكِنۡ لَا يُظۡلَمُ أَحَدٌ فِي أَرۡضِهِ، هَٰذِهِ هِيَ الۡهِجۡرَةُ
الۡأُولَى، وَفِيهِمۡ عُثۡمَانُ وَفِيهِمۡ مِنۡ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ، وَذٰلِكَ
لِأَجۡلِ الۡفِرَارِ بِدِينِهِمۡ، وَكَانَ هَٰذَا سَبَبًا لِإِسۡلَامِ
النَّجَاشِيِّ رَحِمَهُ اللهُ، حِينَ سَمِعَ الۡقُرۡآنَ وَسَمِعَ مِنَ
الصَّحَابَةِ وَهَدَاهُ اللهُ لِلۡإِسۡلَامِ فَأَسۡلَمَ.
Ketika gangguan orang-orang kafir kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—semakin menjadi dan mereka semakin menekan beliau, maka beliau
memerintahkan orang-orang yang bersama beliau dari kalangan para sahabat yang
lemah yang tidak memiliki pembela, agar hijrah ke Habasyah. Karena di sana ada
seorang raja, yaitu An-Najasyi, yang tidak ada seorang pun di sisinya yang
dizalimi. Ketika itu, An-Najasyi adalah seorang penganut agama Nasrani. Akan
tetapi tidak ada seorang pun yang dizalimi di negerinya. Ini adalah hijrah
pertama. Di antara mereka adalah ‘Utsman. Di antara mereka ada sahabat senior.
Hijrah ini untuk lari menyelamatkan agama mereka dan peristiwa ini merupakan
sebab An-Najasyi—rahimahullah—masuk Islam. Yaitu ketika beliau mendengar
Alquran, mendengar cerita dari sahabat, lalu Allah memberinya hidayah kepada
Islam, lalu beliau masuk Islam.
وَأَرۡسَلَتۡ قُرَيۡشٌ إِلَى النَّجَاشِيِّ بِهَدَايَا وَمغرياتٍ يَقُولُونَ:
هَٰؤُلَاءِ مَارِقُونَ شَارِدُونَ مِنَّا رُدَّهُمۡ عَلَيۡنَا، فَأَبَى أَنۡ
يَرُدَّهُمۡ عَلَيۡهِمۡ، فَكَذَّبَ اللهُ ظَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ وَعَادَتۡ
رُسُلُهُمۡ خَائِبِينَ، وَاسۡتَمَرَّ النَّجَاشِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي حِمَاَيِة
الۡمُسۡلِمِينَ عِنۡدَهُ إِلَى أَنۡ قَيَّضَ اللهُ الۡفَرۡجَ.
Orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada An-Najasyi dengan membawa
hadiah-hadiah dan sogokan. Mereka berkata, “Mereka (yakni, kaum muslimin yang
hijrah) adalah orang-orang yang keluar dari agama dan kabur dari negeri kami.
Kembalikanlah mereka kepada kami.” Namun An-Najasyi tidak mau mengembalikan
kepada mereka. Maka, Allah mendustakan persangkaan orang-orang musyrik dan
utusan mereka kembali dengan tangan kosong. An-Najasyi—rahimahullah—terus
menjaga kaum muslimin yang berada di wilayahnya hingga Allah menentukan adanya
kelapangan.
[12]
إِذَا عَرَفۡتَ هَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةَ، وَهِيَ مَسۡأَلَةٌ أَنَّهُمۡ مَا عَادَوۡا
رَسُولَ اللهِ ﷺ وَضَايَقُوهُ وَحَاصَرُوهُ هُوَ وَأَصۡحَابَهُ إِلَّا مِنۡ أَجۡلِ
الۡأَمۡرِ بِالتَّوۡحِيدِ وَالنَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ، وَإِلَّا لَوۡ سَالَمَهُمۡ
وَعَبَدَ رَبَّهُ هُوَ وَمَنۡ يَتَّبِعُهُ وَتَرَكَهُمۡ، مَا قَالُوا لَهُ
شَيۡئًا، بَلۡ كَانُوا سَيَفۡرَحُونَ بِهَٰذَا.
(Aku berharap) engkau sudah mengerti masalah ini, yaitu masalah bahwa mereka tidaklah memusuhi Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, mempersempit ruang gerak, dan mengepung beliau bersama para sahabatnya kecuali karena beliau memerintahkan untuk bertauhid dan melarang dari kesyirikan.
Kalau bukan karena alasan itu, andai beliau berdamai dengan mereka, andai beliau beserta pengikut beliau beribadah kepada Tuhannya dan membiarkan mereka, niscaya mereka tidak akan mengucapkan sesuatu pun kepada beliau. Bahkan mereka akan senang dengan hal ini.
وَهَٰذِهِ دَعۡوَةُ أَهۡلِ الۡكُفۡرِ الۡيَوۡمَ يَقُولُونَ: دَعَوۡنَا
نَتَعَايَشُ وَدَعَوۡنَا نَتَهَاوَدُ، وَلَا تَقُولُوا شَيۡئًا فِي دِينِنَا،
وَنَحۡنُ لَا نَقُولُ شَيۡئًا فِي دِينِكُمۡ، وَهُمۡ يَكۡذِبُونَ لِأَنَّهُمۡ
يُحَارِبُونَ الۡإِسۡلَامَ.
Inilah ajakan orang-orang kafir pada hari ini. Mereka berkata, “Kami mengajak
agar kita hidup tenteram. Kami mengajak agar kita hidup damai, Janganlah
kalian mengatakan sesuatu dalam agama kami dan kami pun tidak mengatakan
sesuatu dalam agama kalian.” Namun mereka dusta karena mereka sebenarnya
memerangi Islam.
وَهُمۡ يَقُولُونَ: أَنۡتُمۡ لَا تَقُولُوا فِي دِينِنَا شَيۡئًا وَنَحۡن لَا
نَقُولُ فِي دِينِكُمۡ شَيۡئًا وَهُمۡ يُحَارِبُونَ الۡإِسۡلَامَ عَلَى أَقۡصَى
مَا يُمۡكِنُ، وَيَقۡتُلُونَ الۡمُسۡلِمِينَ وَيُشَرِّدُونَهُمۡ وَهُمۡ
يَقُولُونَ: دَعَوۡنَا نَتَحَاوَرُ وَنَتَهَاوَدُ.
Mereka berkata, “Kalian jangan mengatakan sesuatu tentang agama kami dan kami
pun tidak akan mengatakan sesuatu tentang agama kalian.” Padahal mereka
memerangi agama Islam dari segala penjuru yang memungkinkan. Mereka membunuhi
kaum muslimin dan memecah belah mereka sementara mereka berkata, “Kami
mengajak agar kita hidup berdampingan dan hidup tenteram.”
وَلَوۡ أَنَّهُ ﷺ مَا دَعَا إِلَى التَّوۡحِيدِ وَلَا نَهَی عَنِ الشِّرۡكِ، مَا
ثَارَتۡ ثَائِرَتُهُمۡ.
Andai Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak mengajak kepada tauhid dan
tidak melarang dari syirik, tentu kemarahan mereka tidak akan tersulut.