Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah di dalam
Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
الۡمَوۡضِعُ الثَّالِثُ : قِصَّةُ قِرَاءَتِهِ ﷺ سُورَةَ النَّجۡمِ
بِحَضۡرَتِهِمۡ، فَلَمَّا بَلَغَ ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ﴾
[النجم: ١٩] أَلۡقَى الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَتِهِ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ
الۡعُلَا، وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَى) فَظَنُّوا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ
قَالَهَا، فَفَرِحُوا بِذٰلِكَ وَقَالُوا كَلَامًا مَعۡنَاهُ: هَٰذَا الَّذِي
نُرِيدُ، وَنَحۡنُ نَعۡرِفُ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ وَحۡدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ، وَلَكِنۡ هَٰؤُلَاءِ يَشۡفَعُونَ لَنَا عِنۡدَهُ.
Peristiwa ketiga: Kisah pembacaan surah An-Najm oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di tengah kehadiran mereka.
Ketika beliau sampai ayat yang artinya, “Maka apakah patut kalian (hai
orang-orang musyrik) menganggap al-Lat dan al-‘Uzza,” setan menyisipkan dalam
bacaan beliau, “Itu adalah gharaniq (nama berhala/malaikat) yang mulia dan
sesungguhnya syafaat mereka diharapkan.”
Sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengucapkannya. Maka, mereka pun gembira dengan perkataan itu dan mereka
berkata dengan ucapan yang maknanya, “Inilah yang kami inginkan. Kami
mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat dan mudarat, tidak ada
sekutu bagi-Nya, namun mereka ini (berhala-berhala) dapat memberi syafaat
untuk kami di sisi-Nya.”
فَلَمَّا بَلَغَ السَّجۡدَةَ سَجَدَ وَسَجَدُوا مَعَهُ، فَشَاعَ الۡخَبَرُ
أَنَّهُمۡ صَافَوۡهُ، وَسَمِعَ بِذٰلِكَ مَنۡ بِالۡحَبَشَةِ فَرَجَعُوا، فَلَمَّا
أَنۡكَرَ ذٰلِكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَادُوا إِلَى شَرٍّ مِمَّا كَانُوا
عَلَيۡهِ.
Ketika Rasulullah membaca sampai ayat sajdah, beliau pun sujud dan mereka ikut
sujud beserta beliau. Sehingga tersebarlah berita bahwa orang-orang musyrik
mengikuti beliau dan berita itu terdengar oleh kaum muslimin yang sedang
hijrah di Habasyah sehingga mereka kembali.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari bacaan itu,
orang-orang musyrik itu kembali kepada keburukan mereka dahulu.
وَلَمَّا قَالُوا لَهُ: إِنَّكَ قُلۡتَ ذٰلِكَ. خَافَ مِنَ اللهِ خَوۡفًا
عَظِيمًا، حَتَّى أَنۡزَلَ اللهُ عَلَيۡهِ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن
رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ
أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾ [الحج: ٥٢] الآية.
Ketika orang-orang musyrik itu berkata kepada beliau, “Sesungguhnya engkau
telah mengucapkannya,” maka Rasulullah sangat takut kepada Allah sampai Allah
menurunkan ayat kepada beliau, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca, setan
menyusupi bacaan itu…” (QS. Al-Hajj: 52).
فَمَنۡ فَهِمَ هَٰذِهِ الۡقِصَّةَ، ثُمَّ شَكَّ بَعۡدَهَا فِي دِينِ النَّبِيِّ
ﷺ، وَلَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ دِينِ الۡمُشۡرِكِينَ، فَأَبۡعَدَهُ
اللهُ، خُصُوصًا إِنۡ عَرَفَ أَنَّ قَوۡلَهُمۡ: (تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ) يُرَادُ
بِهَا الۡمَلَائِكَةُ.
Jadi, siapa saja yang memahami kisah ini, lalu setelah itu masih ragu tentang
agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa membedakan antara
agama Nabi dengan agama orang-orang musyrik, maka berarti Allah telah
menjauhkannya. Terkhusus apabila dia mengerti bahwa ucapan mereka, “Itu adalah
gharaniq,” yang mereka maksudkan adalah malaikat.[1]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di
dalam Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
[1]
هَٰذِهِ الۡقِصَّةُ الَّتِي ذَكَرَهَا الشَّيۡخُ مِنۡ قَصَصِ السِّيرَةِ
النَّبَوِيَّةِ تُسَمَّى قِصَّةَ الۡغَرَانِيقِ، وَهِيَ كَمَا ذُكِرَ أَنَّهُ
لَمَّا قَرَأَ سُورَةَ النَّجۡمِ فِي مَكَّةَ وَعِنۡدَهُ الۡمُشۡرِكُونَ
وَالۡمُسۡلِمُونَ، فَلَمَّا بَلَغَ قَوۡلَهُ تَعَالَى: ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ
وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ﴾ [النجم: ۱۹-۲۰]. فَهِيَ
أَكۡبَرُ أَصۡنَامِ الۡعَرَبِ.
Kisah yang disebutkan oleh Syekh di sini termasuk sirah Nabi yang dinamakan
kisah Gharaniq. Kisah ini sebagaimana disebutkan. Ketika beliau membaca surah
An-Najm di Makkah, sementara di dekat beliau ada orang-orang musyrik dan
muslim. Ketika beliau sampai firman Allah taala yang artinya, “Apa pandangan
kalian terhadap Lat dan ‘Uzza. Serta Manah berhala ketiga yang lain.” (QS.
An-Najm: 19-20). Itu adalah berhala-berhala bangsa Arab yang paling
besar.
اللَّاتُ: فِي الطَّائِفِ وَكَمَا سَبَقَ بَيَانُ هَٰذَا، أَنَّهُ رَجُلٌ صَالِحٌ
كَانَ يُطۡعِمُ الۡحَجِيجَ، فَلَمَّا مَاتَ عَكَفُوا عَلَى قَبۡرِهِ
يَتَبَرَّكُونَ بِهِ عَلَى طَرِيقَةِ التَّبَرُّكِ بِالصَّالِحِينَ، كَمَا كَانَ
أَهۡلُ الۡجَاهِلِيَّةِ يَفۡعَلُونَ ذٰلِكَ، وَيَطۡلُبُونَ مِنۡهُ الشَّفَاعَةَ
عِنۡدَ اللهِ؛ لِأَنَّهُ رَجُلٌ صَالِحٌ.
Berhala lat ada di Tha`if sebagaimana pembahasan ini telah lewat. Lat adalah
seorang lelaki saleh yang biasa memberi makan orang-orang yang berhaji. Ketika
dia meninggal, orang-orang beriktikaf di kuburannya dan bertabaruk dengannya
seperti tabaruk dengan orang-orang saleh. Sebagaimana dahulu orang-orang
jahiliah melakukan itu. Mereka pun meminta syafaat darinya di sisi Allah
karena dia adalah orang yang saleh.
وَالۡعُزَّي: هِيَ صَنَمٌ لِأَهۡلِ مَكَّةَ قَرِيبًا مِنۡ عَرَفَاتٍ، وَهُوَ
عِبَارَةٌ عَنۡ شَجَرَاتٍ عَلَيۡهَا بِنۡيَةٌ يَتَبَرَّكُونَ بِهَا.
‘Uzza adalah berhala penduduk Makkah yang dekat dari padang Arafah. ‘Uzza
adalah sebutan pohon yang di atasnya ada bangunan untuk tempat
bertabaruk.
وَأَمَّا مَنَاةٌ: فَهِيَ صَنَمٌ بَیۡنَ مَكَّةَ وَالۡمَدِينَةِ قَرِيبًا مِنَ
الۡمَدِينَةِ، عِنۡدَ الۡمُشَلَّلِ قَرِيبًا مِنۡ جَبَلِ قُدَيۡدٍ، وَكَانَتۡ
لِلۡأَوۡسِ وَالۡخَزۡرَجِ، وَكَانُوا يُحۡرِمُونَ مِنۡ عِنۡدِهَا بِالۡحَجِّ
تَعۡظِيمًا لَهَا.
Adapun Manah adalah sebuah berhala di antara Makkah dan Madinah. Dekat dengan
Madinah. Di dekat Musyallal, dekat gunung Qudaid. Dulunya adalah berhala milik
Aus dan Khazraj. Dahulu mereka berihram haji dari tempat itu dalam rangka
mengagungkannya.
وَاللهُ -جَلَّ وَعَلَا- يَقُولُ: ﴿أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩
وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ﴾ [النجم: ۱۹-۲۰] أَيۡ: أَخۡبِرُونِي عَنۡ
هَٰذِهِ الۡأَصۡنَامِ، هَلۡ نَفَعَتۡكُمۡ وَهَلۡ ضَرَّتۡكُمۡ؟! بَلۡ إِنَّهَا
لَمۡ تَدۡفَعۡ عَنۡ نَفۡسِهَا؛ لِأَنَّ الرَّسُولَ ﷺ لَمَّا فَتَحَ مَكَّةَ
هَدَمَهَا، وَلَوۡ كَانَتۡ آلِهَةً لَمَنَعَتۡ عَنۡ نَفۡسِهَا وَدَافَعَتۡ عَنۡ
نَفۡسِهَا. فَاللهُ يُوبِخُ الۡمُشۡرِكِينَ الَّذِينَ تَعَلَّقُوا بِهَٰذِهِ
الۡأَصۡنَامِ الَّتِي لَا تَنۡفَعُ وَلَا تَضُرُّ.
Allah—jalla wa ‘ala—berfirman yang artinya, “Apa pendapat kalian tentang Lat
dan ‘Uzza. Serta Manah berhala ketiga yang lainnya.” (QS. An-Najm: 19-20).
Yakni: Kabarkan kepadaku tentang berhala-berhala ini. Apakah mereka dapat
memberi manfaat kepada kalian dan apakah dapat memberi mudarat kepada kalian?!
Dia malah tidak bisa menolak mudarat dari dirinya karena ketika Fathu Makkah,
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menghancurkannya. Jika dia memang
tuhan, maka seharusnya dia bisa menghalangi perbuatan itu dan membela dirinya.
Maka Allah pun mencela kaum musyrikin yang menggantungkan hatinya kepada
berhala-berhala yang tidak bisa memberi manfaat dan mudarat ini.
فَلَمَّا قَرَأَ الرَّسُولُ ﷺ هَٰذِهِ الۡآيَةَ أَلۡقَى الشَّيۡطَانُ -أَيۡ
صَوَّتَ الشَّيۡطَانُ- بِكَلِمَاتٍ دَسَّهَا فِي تِلَاوَةِ النَّبِيِّ ﷺ وَهِيَ:
(تِلۡكَ الۡغَرَانِيقُ الۡعُلَا وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتُجَى) هَٰذَا
كَلَامٌ مِنَ الشَّيۡطَانِ، دَسَّهُ فِي تِلَاوَةِ الرَّسُولِ ﷺ، وَالرَّسُولُ
لَمۡ يَعۡلَمۡ بِذٰلِكَ، وَلَٰكِنَّ الۡمُشۡرِکِینَ سَمِعُوهُ فَفَرِحُوا
وَقَالُوا: ذَكَرَ آلِهَتَنَا بِخَيۡرٍ، وَهَٰذَا الَّذِي نُرِيدُهُ، نَحۡنَ لَا
نَقۡصُدُ مِنۡهَا إِلَّا الشَّفَاعَةَ، وَإِلَّا نَحۡنُ نَعۡلَمُ أَنَّهَا لَا
تَنۡفَعُ وَلَا تَضُرُّ، وَلَٰكِنۡ نَحۡنُ نُرِيدُ شَفَاعَتَهَا. وَمُحَمَّدٌ
قَالَ: وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَی.
Ketika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—membaca ayat ini, setan
memasukkan—yakni setan menyuarakan—perkataan-perkataan yang dia susupkan ke
dalam bacaan Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Yaitu perkataan, “Itu adalah
gharaniq yang mulia dan sungguh syafaat mereka benar-benar diharap.”
Ini adalah ucapan setan yang disusupkan ke dalam bacaan Rasulullah—shallallahu
‘alaihi wa sallam—. Rasul tidak mengetahui hal itu, akan tetapi orang-orang
musyrik mendengarnya. Mereka pun bergembira dan berkata, “Dia menyebut
sembahan-sembahan kita dengan kebaikan. Inilah yang kita maukan. Kami tidak
menginginkan dari sesembahan itu kecuali syafaat. Kalau bukan karena ini,
(kami tidak akan menyembahnya), kami tahu bahwa dia tidak bisa mendatangkan
manfaat dan mudarat, akan tetapi kami menginginkan syafaatnya. Dan Muhammad
pun telah mengatakan: Dan bahwa syafaatnya benar-benar diharap.”
فَلَمَّا بَلَغَ ﷺ آخِرَ السُّورَةِ وَهُوَ قَوۡلُهُ تَعَالَی: ﴿فَٱسۡجُدُوا۟
لِلَّهِ وَٱعۡبُدُوا۟﴾ [النجم: ٦٢] سَجَدَ فَسَجَدَ مَعَهُ الۡمُسۡلِمُونَ،
وَسَجَدَ الۡمُشۡرِكُونَ فَرۡحًا بِهَٰذِهِ الۡكَلِمَاتِ الشَّيۡطَانِيَّةِ،
حَتَّى إِنَّ الۡوَلِيدَ بۡنَ الۡمُغِيرَةِ لَمَّا کَانَ کَبِیرَ السِّنِّ لَمۡ
يَسۡتَطِعۡ أَنۡ يَسۡجُدَ عَلَى الۡأَرۡضِ، فَأَخَذَ حُفۡنَةً مِنۡ تُرَابٍ
فَسَجَدَ عَلَيۡهَا.
Ketika Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—membaca sampai akhir surah, yaitu
firman Allah taala, “Maka sujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia!” (QS.
An-Najm: 62), beliau beserta kaum muslimin sujud. Orang-orang musyrik pun ikut
sujud karena gembira dengan perkataan setan ini. Bahkan Al-Walid bin
Al-Mughirah—yang ketika itu sudah sangat tua sehingga tidak mampu sujud di
atas tanah—sampai mengambil tanah sepenuh telapak tangan, lalu sujud
padanya.
فَشَاعَ الۡخَبَرُ أَنَّ الرَّسُولَ ﷺ تَصَالَحَ مَعَ الۡمُشۡرِكِينَ، وَأَنَّهُ
أَقَرَّهُمۡ عَلَى عِبَادَةِ اللَّاتِ وَالۡعُزَّى وَمَنَاةَ مِنۡ أَجۡلِ طَلَبِ
الشَّفَاعَةِ، وَوَصَلَ الۡخَبَرُ إِلَى الۡمُهَاجِرِينَ فِي أَرۡضِ الۡحَبَشَةِ
مِنَ الۡمُسۡلِمِينَ، أَنَّ الرَّسُولَ تَصَالَحَ هُوَ وَالۡمُشۡرِكُونَ أَوۡ
أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ أَسۡلَمُوا، فَعَادُوا مِنَ الۡحَبَشَةِ، فَلَمَّا وَصَلُوا
إِلَى مَكَّةَ وَجَدُوا هَٰذَا الۡخَبَرَ غَيۡرَ صَحِيحٍ، وَأَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ
مَا زَالُوا عَلَى عَدَاوَتِهِمۡ لِلرَّسُولِ ﷺ وَتَضۡيِيقِهِمۡ عَلَى
الۡمُسۡلِمِينَ.
Kabar pun tersiar bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—sudah
berdamai dengan orang-orang musyrik dan beliau sudah mengakui mereka untuk
beribadah kepada Lat, ‘Uzza, dan Manah dalam rangka meminta syafaat.
Kabar ini sampai kepada kaum muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah. Yaitu
bahwa Rasulullah saling berdamai dengan orang-orang musyrik atau bahwa
orang-orang musyrik telah masuk Islam. Maka, mereka pun kembali dari Habasyah.
Ketika mereka sampai ke Makkah, mereka mendapati bahwa kabar ini tidak benar
dan bahwa orang-orang musyrik masih tetap memusuhi Rasulullah—shallallahu
‘alaihi wa sallam—dan terus menindas kaum muslimin.
فَلَمَّا أَخۡبَرُوا النَّبِيَّ ﷺ أَنَّهُ قَرَأَ هَٰذِهِ الۡكَلِمَاتِ: (تِلۡكَ
الۡغَرَانِیقُ الۡعُلَا وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرۡتَجَی) حَزِنَ حُزۡنًا
شَدِيدًا، وَأَصَابَهُ هَمٌّ شَدِيدٌ، حَتَّى أَنۡزَلَ اللهُ قَوۡلَهُ تَعَالَی
فِي سُورَةِ الۡحَجِّ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا
نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ
فَيَنسَخُ ٱللَّهُ مَا يُلۡقِى ٱلشَّيۡطَـٰنُ ثُمَّ يُحۡكِمُ ٱللَّهُ
ءَايَـٰتِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ٥٢ لِّيَجۡعَلَ مَا يُلۡقِى
ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِتۡنَةً لِّلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَٱلۡقَاسِيَةِ
قُلُوبُهُمۡ ۗ وَإِنَّ ٱلظَّـٰلِمِينَ لَفِى شِقَاقٍۭ بَعِيدٍ ٥٣ وَلِيَعۡلَمَ
ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤۡمِنُوا۟ بِهِۦ
فَتُخۡبِتَ لَهُۥ قُلُوبُهُمۡ ۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَهَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ ٥٤ وَلَا يَزَالُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى
مِرۡيَةٍ مِّنۡهُ حَتَّىٰ تَأۡتِيَهُمُ ٱلسَّاعَةُ بَغۡتَةً أَوۡ يَأۡتِيَهُمۡ
عَذَابُ يَوۡمٍ عَقِيمٍ﴾ [الحج : ٥٢-٥٥] فَأَبۡطَلَ اللهُ مَا أَلۡقَاهُ
الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَةِ الرَّسُولِ ﷺ وَنَسَخَهُ، يَعۡنِي: أَزَالَهُ،
وَأَحۡكَمَ، أَيۡ: ثَبَّتَ آیَاتَهُ الَّتِي أَنۡزَلَهَا فِي ذَمِّ الۡأَصۡنَامِ
وَعِبَادَتِهَا. هَٰذَا حَاصِلُ الۡقِصَّةِ.
Ketika mereka mengabarkan kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bahwa
beliau membaca kalimat, “Itu adalah gharaniq yang mulia dan sungguh syafaatnya
benar-benar diharap,” beliau sedih sekali.
Beliau sangat gundah, hingga Allah taala berfirman di dalam surah Al-Hajj,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu dan tidak pula seorang
nabipun, melainkan apabila ia membaca, setan menyusupkan ke dalam bacaan itu.
Allah menghilangkan apa yang disusupkan oleh setan itu dan Allah menguatkan
ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Agar Dia
menjadikan apa yang disusupkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang
yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat. Dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya Alquran itulah yang hak
dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman
kepada jalan yang lurus. Dan orang-orang kafir itu terus berada dalam
keragu-raguan terhadap Alquran, hingga saat (kematiannya) datang kepada mereka
secara tiba-tiba atau azab hari kiamat datang kepada mereka.” (QS. Al-Hajj:
52-55).
Allah membatalkan perkataan setan yang disusupkan ke dalam bacaan
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, menasakhkannya—yakni: Allah
menghilangkannya—, dan menguatkan—yakni: Allah mengukuhkan—ayat yang
diturunkan-Nya mengenai tercelanya berhala dan peribadahan kepadanya. Inilah
kesimpulan kisah ini.
وَقَدۡ وَرَدَتۡ هَٰذِهِ الۡقِصَّةُ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ مُتَّصِلَةً بِسَنَدٍ،
وَوَرَدَتۡ عَنۡ بَعۡضِ التَّابِعِينَ بِأَسَانِيدَ مُرۡسَلَةٍ، وَبَعۡضُ
الۡعُلَمَاءِ أَنۡكَرَهَا وَمِنۡهُمۡ ابۡنُ کَثِیرٍ، وَقَالَ: إِنَّهَا لَمۡ
تَرِدۡ إِلَّا مِنۡ طُرُقٍ مُرۡسَلَةٍ وَمُنۡقَطِعَةٍ تَكَلَّمُوا فِيهَا،
وَلَٰكِنۡ الۡحَافِظُ ابۡنُ حَجَرٍ فِي فَتۡحِ الۡبَارِي لَهُ رَأۡيٌ غَيۡرُ
رَأۡيِ هَٰؤُلَاءِ، يَقُولُ: الۡقِصَّةُ جَاءَتۡ مِنۡ طُرُقٍ مُخۡتَلِفَةٍ
مُتَبَايِنَةِ الۡمَخَارِجِ، فَهِيَ تَتَعَاضَدُ وَيُقَوِّي بَعۡضُهَا بَعۡضًا.
هَٰذَا مَعۡنَی کَلَامِ الۡحَافِظِ ابۡنِ حَجَرٍ.
Kisah ini datang dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad bersambung. Juga datang dari
sebagian tabiin dengan sanad mursal. Sebagian ulama mengingkari kisah ini. Di
antara mereka adalah Ibnu Katsir. Beliau berkata: Kisah ini tidaklah datang
melainkan dari jalan-jalan yang mursal dan terputus yang ada perbincangan
padanya.
Akan tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajar memiliki pendapat yang berbeda dengan
pendapat mereka. Beliau berkata: Kisah ini datang dari jalan-jalan yang
berbeda-beda dan bermacam-macam sumbernya sehingga saling mendukung dan
menguatkan. Ini makna ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar.
مَقۡصُودُ الشَّيۡخِ مِنۡ إِيرَادِهَا أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ يَقُولُونَ: نَحۡنُ
لَا نَعۡبُدُ هَٰذِهِ الۡأَصۡنَامَ عَلَى اعۡتِقَادِ أَنَّهَا تَخۡلُقُ
وَتَرۡزُقُ وَتَنۡفَعُ وَتَضُرُّ، وَإِنَّمَا نَعۡبُدُهَا طَلَبًا لِلشَّفَاعَةِ
بِأَنۡ تَشۡفَعَ لَنَا عِنۡدَ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعالَى.
Maksud Syekh membawakan kisah ini adalah bahwa kaum musyrikin berkata: Kami
tidak menyembah berhala-berhala ini dengan keyakinan bahwa berhala itu bisa
menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat, dan mendatangkan mudarat. Kami
menyembahnya hanya meminta syafaat agar memberi syafaat untuk kami di sisi
Allah.
فَاللهُ أَبۡطَلَ هَٰذَا وَأَقَرَّ الۡقُرۡآنَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيۡهِ مِنۡ
إِبۡطَالِ عِبَادَتِهَا، وَأَبۡطَلَ مَا أَلۡقَاهُ الشَّيۡطَانُ فِي تِلَاوَةِ
النَّبِيِّ ﷺ، وَسَلَّی نَبِیَّهُ وَأَذۡهَبَ عَنۡهُ الۡحَزَنَ بِأَنَّ هَٰذَا
يَجۡرِي مَعَ مَنۡ قَبۡلَكَ مِنَ الرُّسُلِ فَقَالَ: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن
قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ﴾ [الحج: ٥٢].
Allah membatalkan ucapan ini dan mengukuhkan Alquran sebagaimana sebelumnya
yang membatalkan peribadahan orang-orang musyrik. Allah juga membatalkan apa
yang disusupkan oleh setan ke dalam bacaan Alquran Nabi.
Allah menghibur Nabi-Nya dan menghilangkan kesedihannya dengan mengabarkan
bahwa ini pun terjadi pada rasul-rasul sebelummu. Allah berfirman, “Tidaklah
Kami utus seorang rasulpun sebelummu, tidak pula seorang nabi, kecuali apabila
dia membaca.” (QS. Al-Hajj: 52).
يَعۡنِي: تَلَا، فَالتَّمَنِّي هُنَا مَعۡنَاهُ التِّلَاوَةُ، كَمَا فِي قَوۡلِهِ
تَعَالَى: ﴿وَمِنۡهُمۡ أُمِّيُّونَ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ إِلَّآ
أَمَانِىَّ﴾[البقرة: ۷۸] أَيۡ: تِلَاوَةً فَقَطۡ وَلَا يَعۡرِفُونَ الۡمَعَانِي،
وَكَمَا فِي قَوۡلِ الشَّاعِرِ فِي عُثۡمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ:
تَمَنَّی کِتَابَ اللهِ أَوَّلَ لَيۡلِهِ وَآخِرَهُ لَاقَی حِمَامَ
الۡمَقَادِرِ
Tamanna artinya membaca. Sebagaimana dalam firman Allah taala, “Di antara
mereka ada orang-orang yang umi yang tidak mengetahui kitab kecuali hanya
amaniyy.” Yakni sekadar bacaan. Mereka tidak mengerti makna-maknanya.
Sebagaimana ucapan penyair tentang ‘Utsman bin ‘Affan, “Beliau membaca kitab
Allah di awal malam, lalu beliau bertemu takdir kematiannya di akhir
malam.”
وَهِيَ اللَّيۡلَةُ الَّتِي قُتِلَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، كَانَ أَوَّلَ
اللَّيۡلِ يَتَهَجَّدُ وَيَتۡلُو الۡقُرۡآنَ، ثُمَّ هَجَمَ عَلَيۡهِ الۡخَوَارِجُ
وَقَتَلُوهُ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ فِي آخِرِ اللَّيۡلِ.
Yaitu malam saat beliau terbunuh. Di awal malam beliau salat tahajud dan
membaca Alquran kemudian seorang khawarij menyerang dan
membunuhnya—radhiyallahu ‘anhu—di akhir malam.
الشَّاهِدُ مِنَ الۡبَيۡتِ: قَوۡلُهُ: تَمَنَّی کِتَابَ اللهِ؛ أَيۡ: تَلَاهُ،
فَالتَّمَنِّي يُرَادُ بِهِ التِّلَاوَةُ، فَيَكُونُ الۡمَعۡنَى ﴿إِذَا
تَمَنَّىٰٓ﴾: أَيۡ: تَلَا الۡكِتَابَ. ﴿أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ
أُمۡنِيَّتِهِۦ﴾: يَعۡنِي: فِي تِلَاوَتِهِ، كَلِمَاتٍ يَظُنُّهَا السَّامِعُ
مِنۡ كَلَامِ الرَّسُولِ وَهِيَ مِنۡ كَلَامِ الشَّيۡطَانِ، وَلَٰكِنَّ اللهَ
لَهُ بِالۡمِرۡصَادِ يُبۡطِلُ كَلَامَ الشَّيۡطَانِ وَيُحۡكِمُ آیَاتِهِ
سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى؛ لِأَنَّ اللهَ حَافَظَ دِينَهُ وَحَافَظَ
كِتَابَهُ.
Yang menjadi pendukung dari bait syair tersebut adalah ucapannya “tamanna
kitaballah”, artinya beliau membaca kitab Allah. Jadi yang dimaukan dengan
tamanni adalah pembacaan. Jadi maksud perkataan “idza tamanna” adalah ketika
membaca kitab suci.
“Setan melontarkan ke dalam bacaannya,” yakni di dalam bacaan beliau,
disusupkan perkataan yang disangka oleh pendengar sebagai ucapan Rasulullah.
Padahal itu dari ucapan setan. Akan tetapi Allah selalu mengawasi. Dia
membatalkan ucapan setan dan mengukuhkan ayat-ayat-Nya. Karena Allah menjaga
agama dan menjaga kitab-Nya.
فَالشَّاهِدُ مِنۡهَا: أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ فَرِحُوا لَمَّا ظَنُّوا أَنَّ
الرَّسُولَ ﷺ وَافَقَهُمۡ بِالۡكَلَامِ الَّذِي ظَنُّوهُ مِنَ الرَّسُولِ وَهُوَ
مِنَ الشَّيۡطَانِ، أَنَّ طَلَبَ الشَّفَاعَةِ مِنَ الۡأَصۡنَامِ لَا بَأۡسَ
بِهِ، فَفَرِحُوا بِذٰلِكَ، ثُمَّ إِنَّ اللهَ -جَلَّ وَعَلَا- أَبۡطَلَ ذٰلِكَ،
وَبَيَّنَ أَنَّهُ لَا تَجُوزُ عِبَادَةُ غَيۡرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِأَيِّ
قَصۡدٍ کَانَ، طَلَبِ الشَّفَاعَةِ أَوۡ غَيۡرِهِ.
Pokok permasalahan dari kisah itu adalah bahwa orang-orang musyrik gembira
ketika mereka mengira Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—menyepakati
mereka dengan dasar perkataan yang mereka kira berasal dari Rasulullah,
padahal dari setan. Yaitu bahwa permintaan syafaat dari berhala tidaklah
mengapa. Mereka gembira akan hal itu.
Kemudian Allah—jalla wa ‘ala—membatalkan perkataan tersebut dan menerangkan
bahwa ibadah kepada selain Allah—‘azza wa jalla—tidak diperbolehkan untuk
tujuan apapun, baik untuk meminta syafaat atau tujuan lainnya.
الۡعِبَادَةُ حَقٌّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا يَجُوزُ عِبَادَةُ غَيۡرِ اللهِ
لِأَيِّ قَصۡدٍ کَانَ، ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ
وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ﴾
[يونس: ۱۸]. ﴿وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا
نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ﴾ [الزمر: ٣]. اللهُ
سَمَّي هَٰذَا شِرۡكًا وَأَبۡطَلَهُ، وَمَا قَالَ الرَّسُولُ هَٰذِهِ
الۡكَلِمَاتِ الَّتِي فِي الۡقِصَّةِ وَإِنَّمَا قَالَهَا الشَّيۡطَانُ، وَهَٰذَا
مِنۡ بَابِ الۡاِبۡتِلَاءِ وَالۡاِمۡتِحَانِ لِأَجۡلِ أَنۡ يَتَمَيَّزَ
الۡخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ، ثُمَّ إِنَّ اللهَ يُزِيلُ هَٰذِهِ الۡفِتۡنَةَ
وَيُبۡقِي الۡحَقَّ.
Ibadah adalah hak milik Allah—‘azza wa jalla—. Ibadah kepada selain Allah
tidak diperbolehkan untuk tujuan apapun. “Mereka menyembah sesembahan selain
Allah yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat untuk mereka. Mereka
mengatakan: Mereka ini adalah pemberi syafaat untuk kami di sisi Allah.” (QS.
Yunus: 18).
“Orang-orang yang menjadikan pelindung selain Allah (berkata): Kami tidak
menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah
sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).
Allah menamakan perbuatan ini sebagai kesyirikan. Allah membatalkan perbuatan
ini dan perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah, yang sebenarnya diucapkan
oleh setan, di dalam kisah ini. Kejadian ini merupakan ujian dan cobaan
untuk memisahkan yang jelek dari yang baik. Kemudian sesungguhnya Allah
menghilangkan cobaan ini dan melanggengkan kebenaran.
هَٰذَا قَدۡ جَرَى مَعَ الرُّسُلِ قَبۡلَ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَجَرَى عَلَيۡهِ مِثۡلُ
مَا جَرَى عَلَى الرُّسُلِ مِنۡ قَبۡلِهِ.
Peristiwa ini telah terjadi pada rasul-rasul sebelum Muhammad—shallallahu
‘alaihi wa sallam—dan terjadi pula pada beliau seperti peristiwa yang dialami
oleh para rasul sebelum beliau.
فَهَٰذَا فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى بُطۡلَانِ اعۡتِقَادِ عَبَدَةِ الۡقُبُورِ
وَغَيۡرِهِمۡ، الَّذِينَ يَعۡبُدُونَ الۡقُبُورَ وَيَقُولُونَ: نَحۡنُ نَعۡلَمُ
أَنَّهُمۡ لَا يَضُرُّونَ وَلَا يَنۡفَعُونَ، وَلَا يَخۡلُقُونَ وَلَا
يَرۡزُقُونَ، وَإِنَّمَا هُمۡ صَالِحُونَ نَتَوَسَّطُ بِهِمۡ إِلَى اللهِ
وَنَطۡلُبُ مِنۡهُمُ الشَّفَاعَةَ.
Dalam kisah ini ada dalil batilnya keyakinan para penyembah kubur dan selain
mereka yang menyembah kubur dan berpendapat, “Kami mengetahui bahwa mereka
tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat. Mereka tidak dapat menciptakan
dan memberi rezeki. Mereka hanyalah orang-orang saleh yang kami menjadikan
mereka sebagai perantara kepada Allah dan meminta syafaat dari mereka.”
وَإِنَّنَا لَوۡ أَقۡرَرۡنَاهُمۡ عَلَى ذٰلِكَ مَا صَارَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ
خِلَافٌ، وَإِنَّمَا اشۡتَدَّتِ الۡعَدَاوَةُ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ لَمَّا
أَنۡكَرۡنَا عَلَيۡهِمۡ هَٰذَا وَاعۡتَبَرۡنَاهُ شِرۡكًا، كَمَا أَنۡكَرَهُ
الرَّسُولُ ﷺ، وَكَمَا أَنۡكَرَهُ الۡقُرۡآنُ فِي آيَاتٍ.
Andai kita menyetujui mereka pada hal itu, niscaya tidak akan ada perselisihan
antara kita dengan mereka. Hanyalah terjadi permusuhan sengit antara kita
dengan mereka ketika kita mengingkari ini pada mereka dan kita menganggapnya
sebagai kesyirikan. Sebagaimana Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—mengingkarinya. Demikian pula Alquran mengingkarinya dalam beberapa
ayat.
هَٰذَا هُوَ مَقۡصُودُ الشَّيۡخِ مِنۡ إِيرَادِ هَٰذِهِ الۡقِصَّةِ، فَهُوَ
يَقُولُ: إِنَّهُمۡ يَفۡرَحُونَ لَوۡ وَافَقۡنَاهُمۡ عَلَى هَٰذَا الۡكَلَامِ،
وَقُلۡنَا: مَا دَامَ أَنَّكُمۡ مَا تَقۡصُدُونَ مِنۡهَا أَنَّهَا تَخۡلُقُ
وَتَرۡزُقُ وَتَنۡفَعُ وَتَضُرُّ، وَإِنَّمَا قَصۡدُکُمۡ مِنۡهَا الشَّفَاعَةُ
فَهَٰذَا أَمۡرٌ لَا بَأۡسَ بِهِ.
Inilah maksud Syekh membawakan kisah ini. Maka beliau berkata, “Sesungguhnya
mereka bergembira andai kita menyepakati mereka pada perkataan ini. (Mereka
bergembira andai) kita katakan (kepada mereka), ‘Selama kalian tidak
memaksudkan bahwa sembahan selain Allah itu menciptakan, memberi rezeki,
mendatangkan manfaat dan mudarat, namun yang kalian tuju hanyalah syafaat
darinya, maka tidak ada masalah dengan ritual kalian.’”