Yang paling ditekankan adalah shalat gerhana (kusuf) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya dan memerintahkannya. Shalat ini dikerjakan dengan tata cara di dalam hadits ‘Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِي صَلاَةِ الْكُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan di dalam shalat kusuf, beliau shalat 2 raka’at dengan 4 ruku’ dan 4 sujud.” (Muttafaqun ‘alaih[1]).
Lalu shalat witir adalah shalat sunnah yang ditekankan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakannya baik pada waktu mukim atau safar. Beliau menganjurkan manusia untuk mengerjakannya[2].
Shalat witir paling sedikit satu raka’at, paling banyak sebelas raka’at. Waktunya semenjak shalat ‘isya sampai terbit fajar. Lebih utama untuk menjadikannya sebagai shalat yang terakhir, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kemudian shalat minta hujan (istisqa`) adalah sunnah jika manusia membutuhkan karena tidak adanya air. Shalat ini dikerjakan seperti shalat ‘id di lapangan. Manusia keluar menuju lapangan dengan khusyu’, merendahkan diri, dan menghinakan diri. Lalu shalat 2 raka’at, kemudian berkhuthbah dengan 1 khuthbah, di dalam khuthbah itu diperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat yang memerintahkan istighfar, merengek dalam berdo’a, dan jangan merasa do’anya lambat dikabulkan.
Sebelum keluar ke lapangan, hendaknya: mengerjakan sebab-sebab yang dapat menolak kejelekan dan mendatangkan rahmat, seperti istighfar, taubat, berhenti dari segala kezhaliman, berbuat baik terhadap sesama makhluk, dan sebab-sebab lain yang Allah menjadikannya mendatangkan rahmat dan menolak kemurkaan. Wallahu a’lam.
Waktu-waktu yang terlarang mengerjakan shalat sunnah mutlak: semenjak setelah fajar hingga matahari naik setinggi tombak, semenjak setelah shalat ‘ashr sampai matahari tenggelam, dan semenjak matahari tepat di tengah langit sampai tergelincir.
Shalat witir paling sedikit satu raka’at, paling banyak sebelas raka’at. Waktunya semenjak shalat ‘isya sampai terbit fajar. Lebih utama untuk menjadikannya sebagai shalat yang terakhir, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat kalian pada malam hari.” (Muttafaqun ‘alaih[3]). Beliau bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang khawatir tidak bisa shalat di akhir malam, hendaknya shalat witir pada awal malam. Barangsiapa yang ingin shalat di akhir malam, hendaknya shalat witir pada akhir malam. Sesungguhnya shalat pada akhir malam disaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim[4]).Kemudian shalat minta hujan (istisqa`) adalah sunnah jika manusia membutuhkan karena tidak adanya air. Shalat ini dikerjakan seperti shalat ‘id di lapangan. Manusia keluar menuju lapangan dengan khusyu’, merendahkan diri, dan menghinakan diri. Lalu shalat 2 raka’at, kemudian berkhuthbah dengan 1 khuthbah, di dalam khuthbah itu diperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat yang memerintahkan istighfar, merengek dalam berdo’a, dan jangan merasa do’anya lambat dikabulkan.
Sebelum keluar ke lapangan, hendaknya: mengerjakan sebab-sebab yang dapat menolak kejelekan dan mendatangkan rahmat, seperti istighfar, taubat, berhenti dari segala kezhaliman, berbuat baik terhadap sesama makhluk, dan sebab-sebab lain yang Allah menjadikannya mendatangkan rahmat dan menolak kemurkaan. Wallahu a’lam.
Waktu-waktu yang terlarang mengerjakan shalat sunnah mutlak: semenjak setelah fajar hingga matahari naik setinggi tombak, semenjak setelah shalat ‘ashr sampai matahari tenggelam, dan semenjak matahari tepat di tengah langit sampai tergelincir.
[1] HR. Al-Bukhari (1065) dan Muslim (901).
[2] Silakan melihat Nailul Authar (2/206) dan setelahnya.
[3] HR. Al-Bukhari (998) dan Muslim (751) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
[4] Nomor 755 dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.