Beliau adalah salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Begitu banyak kisah indah beliau semasa hidupnya. Karena kegigihan dalam menegakkan Islam, menjadikan beliau mencapai derajat yang tinggi, kedudukan yang tak terlupakan bagi generasi setelahnya. Siapakah beliau radhiyallahu ‘anhu ini?
Beliau adalah Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu. Para ulama berselisih dalam beberapa pendapat mengenai nama asli beliau. Mayoritas mengatakan bahwa nama asli beliau adalah Abdullah atau ‘Amr. Beliau sering disebut dengan Ibnu Ummi Maktum, sang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan beliau buta pada masa hidupnya. Sebuah ujian berat yang tidak semua orang mampu bersabar menghadapinya.
Namun, cacat ini tidaklah menghalangi beliau untuk berjuang mencari kebenaran serta mengikutinya.
Demikianlah sifat para pejuang agama ini, gigih dalam menepati kebenaran. Ibu beliau bernama Atikah binti Abdullah, yang merupakan bibi dari Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha dari pihak ibu. Ibnu Ummi Maktum termasuk suku Quraisy. Beliau termasuk orang yang menyambut dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awal dakwahnya, ketika banyak orang yang mengingkarinya. Tatkala kejahatan dan kekejian orang-orang musyrik pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya kian menjadi, turunlah izin dari Allah untuk berhijrah, menghindari siksaan yang kian parah. Beliau adalah orang kedua yang melakukan hijrah ke negeri Madinah setelah Mush’ab bin Umair. Kemudian beliau disusul oleh ‘Ammar bin Yasir, Bilal, Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum.
Sehari-harinya beliau dipercaya menjadi muadzin kaum muslimin, mengumandangkan adzan untuk mengajak kaum muslimin melakukan shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِلَالًا يُنَادِي بِلَيۡلٍ فَكُلُوا وَاشۡرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابۡنُ أُمِّ مَكۡتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal menyerukan (adzan) pada waktu malam, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum menyerukan (adzan).” [H.R. Al Bukhari dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menunjuk beliau sebagai wakil sementara yang mengurusi muslimin Madinah ketika ditinggal perang. Tercatat dalam sejarah bahwa beliau menjadi wali kaum muslimin sebanyak tiga belas kali. Perang Dzul ‘Asyirah, perang Uhud, Ghathafan, Najran, Dzaturriqa’, Hudaibiyah, dan lainnya. Demikian besar kepercayaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Ini menunjukkan beliau adalah orang yang terpercaya dan dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau ditunjuk sebagai wakil karena beliau diberi keringanan untuk tidak mengikuti peperangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat-Nya:
لَّا يَسۡتَوِى ٱلۡقَـٰعِدُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ غَيۡرُ أُو۟لِى ٱلضَّرَرِ وَٱلۡمُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak berperang) yang tidak memiliki halangan, dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.” [Q.S. An Nisa: 95].Meski beliau mendapatkan keringanan untuk tidak berperang, beliau adalah seorang yang berani, gigih, dan bersemangat dalam mendapat pahala, tegar dalam menghadapi segala kesusahan. Pada peperangan Qadisiyah beliau bertekad untuk mengikutinya dan menjadi pemegang bendera perang. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Ibnu Ummi Maktum berkata waktu itu, “Berikanlah kepadaku bendera, sesungguhnya aku adalah seorang yang buta dan aku tidak mungkin lari, letakkanlah aku antara kedua barisan.” Inilah keberanian yang terbalut keimanan.
Di awal dakwah Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk mendakwahi Utbah bin Rabi’ah dan para pembesar musyrikin Quraisy lainnya. Sebagian besar kaum musyrikin Quraisy adalah kaum yang sombong. Mereka tidak mau duduk bersama orang lemah dari kalangan budak sahaya dan lainnya. Pada saat itu, datanglah Ibnu Ummi Maktum dan mengatakan, “Wahai Rasulullah ajarilah aku Al Quran.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuka masam dan berpaling darinya karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan Islamnya Utbah dan para tokoh Quraisy, serta khawatir apabila mereka menolak dakwah disebabkan datangnya Ibnu Ummi Maktum. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala pun menegur sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dalam ayatNya:
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ ١ أَن جَآءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ ٢ وَمَا يُدۡرِيكَ لَعَلَّهُۥ يَزَّكَّىٰٓ ٣ أَوۡ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰٓ ٤ أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ ٥ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ ٦
“Ia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena datang kepadanya seorang yang buta. Dan tahukah engkau, barangkali dia ingin mensucikan dirinya. Atau ia ingin mendapatkan pengajaran sehingga (pengajaran itu) bermanfaat baginya. Adapun orang-orang yang merasa tidak butuh. Maka engkau justru memperhatikannya.” [Q.S. Abasa: 1-6].Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera memperbaiki sikap beliau kepada Ibnu Ummi Maktum.
Demikianlah kemuliaan shahabat ini, beliau menjadi simbol dari kaum muslimin yang lemah, orang-orang miskin, dan orang yang membutuhkan bantuan. Namun, betapa pun rendah dan lemah di mata manusia, Allah dan rasul-Nya tetap memuliakannya dengan sebab keimanan yang tertancap dalam dada. Wallahu a’lam. [Hammam].
Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 12 vol.01 1433H-2012M.