قَالَ: (فَاعۡلَمۡ: أَنَّ الۡعِبَادَةَ لَا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلَّا مَعَ التَّوۡحِيدِ، كَمَا أَنَّ الصَّلَاةَ لَا تُسَمَّى صَلَاةً إِلَّا مَعَ الطَّهَارَةِ).
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa ibadah itu tidak bisa dinamakan ibadah kecuali disertai tauhid. Sebagaimana shalat itu tidak bisa dinamakan shalat kecuali disertai bersuci.”
إِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ فَإِنَّ الۡعِبَادَةَ لَا تَكُونُ صَحِيحَةً يَرۡضَاهَا اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى إِلَّا إِذَا تَوَفَّرَ فِيهَا شَرۡطَانِ، إِذَا اخۡتَلَّ شَرۡطٌ مِنَ الشَّرۡطَيۡنِ بَطَلَتۡ:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk ibadah kepadaNya, maka sungguh ibadah itu tidak menjadi ibadah yang benar yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai, kecuali jika dua syarat terpenuhi padanya. Jika satu syarat tidak terpenuhi, maka ibadah tersebut batal.
الشَّرۡطُ الۡأَوَّلُ: أَنۡ تَكُونَ خَالِصَةً لِوَجۡهِ اللهِ، لَيۡسَ فِيهَا شِرۡكٌ. فَإِنۡ خَالَطَهَا شِرۡكٌ بَطَلَتۡ، مِثۡلُ الطَّهَارَةِ إِذَا خَالَطَهَا حَدَثٌ بَطَلَتۡ، كَذٰلِكَ إِذَا عَبَدۡتَ اللهَ ثُمَّ أَشۡرَكۡتَ بِهِ بَطَلَتۡ عِبَادَتُكَ. هٰذَا الشَّرۡطُ الۡأَوَّلُ.
Syarat pertama: Ibadah itu ikhlas mengharap wajah Allah, tidak ada sedikitpun syirik pada ibadah itu. Sehingga, jika syirik mencampuri ibadah itu, maka menjadi batal. Seperti bersuci. Jika hadats mencampurinya, maka kesuciannya batal. Seperti itu pula jika engkau menyembah Allah kemudian engkau sekutukan Dia, maka ibadahmu batal. Ini syarat pertama.
الشَّرۡطُ الثَّانِي: الۡمُتَابَعَةُ لِلرَّسُولِ ﷺ، فَأَيُّ عِبَادَةٍ لَمۡ يَأۡتِ بِهَا الرَّسُولُ فَإِنَّهَا بَاطِلَةٌ وَمَرۡفُوضَةٌ، لِأَنَّهَا بِدۡعَةٌ وَخُرَافَةٌ، وَلِهٰذَا يَقُولُ ﷺ: (مَنۡ عَمِلَ عَمَلًا لَيۡسَ عَلَيۡهِ أَمۡرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)، وَفِي رِوَايَةٍ: (مَنۡ أَحۡدَثَ فِي أَمۡرِنَا هٰذَا مَا لَيۡسَ مِنۡهُ فَهُوَ رَدٌّ)، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَكُونَ الۡعِبَادَةُ مُوَافِقَةً لِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ ﷺ، لَا بِاسۡتِحۡسَانَاتِ النَّاسِ وَنِيَّاتِهِمۡ وَمَقَاصَدِهِمۡ مَا دَامَ أَنَّهَا لَمۡ يَدُلَّ عَلَيۡهَا دَلِيلٌ مِنَ الشَّرۡعِ فَهِيَ بِدۡعَةٌ وَلَا تَنۡفَعُ صَاحِبَهَا بَلۡ تَضُرُّهُ لِأَنَّهَا مَعۡصِيَةٌ، وَإِنۡ زَعَمَ أَنَّهُ تَقَرَّبَ بِهَا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Syarat kedua: Mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, ibadah apa saja yang Rasulullah tidak contohkan, maka amalan ibadah tersebut bathil dan tertolak. Karena itu merupakan bid’ah dan keyakinan yang rusak. Atas hal inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalan itu tertolak.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa mengada-adakan -pada urusan agama kita ini- sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak.” Maka, ibadah itu harus sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Ibadah itu bukan berdasarkan anggapan baik, niatan baik, dan tujuan baik manusia. Selama amalan itu tidak ditunjukkan oleh satu dalil syar’i, maka ia adalah bid’ah dan tidak dapat memberi manfaat kepada pelakunya. Bahkan ia memudharatkannya, karena itu merupakan kemaksiatan meskipun ia menyangka bahwa amalan itu dapat mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
فَلَا بُدَّ فِي الۡعِبَادَةِ مِنۡ هٰذَيۡنِ الشَّرۡطَيۡنِ: الۡإِخۡلَاصِ، وَالۡمُتَابَعَةِ لِلرَّسُولِ ﷺ حَتَّى تَكُونَ عِبَادَةً صَحِيحَةً نَافِعَةً لِصَاحِبِهَا، فَإِنۡ دَخَلَهَا شِرۡكٌ بَطَلَتۡ، وَإِذَا صَارَتۡ مُبۡتَدَعَةً لَيۡسَ عَلَيۡهَا دَلِيلٌ فَهِيَ بَاطِلَةٌ أَيۡضًا، بِدُونِ هٰذَيۡنِ الشَّرۡطَيۡنِ لَا فَائِدَةَ مِنَ الۡعِبَادَةِ، لِأَنَّهَا عَلَى غَيۡرِ مَا شَرَعَ اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، وَاللهُ لَا يَقۡبَلُ إِلَّا مَا شَرَعَ فِي كِتَابِهِ أَوۡ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ ﷺ.
Jadi, ibadah itu harus ada dua syarat ini: ikhlas dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga jadilah ibadah tersebut benar lagi bermanfaat bagi pelakunya. Jika syirik mencampurinya, maka ibadah itu batal. Dan jika ibadah itu diada-adakan, tidak ada satu dalil pun padanya, maka ibadah itu pun bathil. Tanpa dua syarat ini, ibadah itu tidak ada faidahnya, karena amalan ibadah itu tidak di atas syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah tidak menerima kecuali apa yang telah Dia syariatkan di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَلَا هُنَاكَ أَحَدٌ مِنَ الۡخَلۡقِ يَجِبُ اتِّبَاعُهُ إِلَّا الرَّسُولُ ﷺ، أَمَّا مَا عَدَا الرَّسُولَ فَإِنَّهُ يُتۡبَعُ وَيُطَاعُ إِذَا اتَّبَعَ الرَّسُولَ، أَمَّا إِذَا خَالَفَ الرَّسُولَ فَلَا طَاعَةَ، يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: ﴿أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الۡأَمۡرِ مِنۡكُمۡ﴾ [النساء: ٥٩]، وَأُولُو الۡأَمۡرِ هُمۡ: الۡأُمَرَاءُ وَالۡعُلَمَاءُ، فَإِذَا أَطَاعُوا اللهَ وَجَبَتۡ طَاعَتُهُمۡ وَاتِّبَاعُهُمۡ، أَمَّا إِذَا خَالَفُوا أَمۡرَ اللهِ فَإِنَّهَا لَا تَجُوزُ طَاعَتُهُمۡ وَلَا اتِّبَاعُهُمۡ فِيمَا خَالَفُوا فِيهِ، لِأَنَّهُ لَيۡسَ هُنَاكَ أَحَدٌ يُطَاعُ اسۡتِقۡلَالًا مِنَ الۡخَلۡقِ إِلَّا رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَمَا عَدَاهُ فَإِنَّهُ يُطَاعُ وَيُتَّبَعُ إِذَا أَطَاعَ الرَّسُولَ ﷺ وَاتَّبَعَ الرَّسُولَ، هٰذِهِ هِيَ الۡعِبَادَةُ الصَّحِيحَةُ.
Sehingga, tidak ada di sana satu pun makhlukNya yang wajib diikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasul, maka ia diikuti dan ditaati jika ia mengikuti Rasul. Adapun bila ia menyelisihi Rasul, maka tidak ada ketaatan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri kalian.” (QS. An-Nisa`: 59). Dan ulil amri adalah para pemimpin dan ulama. Sehingga, jika mereka mentaati Allah, maka wajib mentaati mereka dan mengikuti mereka. Adapun apabila mereka menyelisihi perintah Allah, maka tidak boleh mentaati mereka dan tidak boleh mengikuti mereka pada perkara yang mereka selisihi. Karena di sana tidak ada seorang pun yang ditaati secara tersendiri dari kalangan makhluk kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau, maka ditaati dan diikuti jika ia mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Rasul. Inilah ibadah yang benar.