وَحَدِيثُ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيۡثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (خَرَجۡنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى حُنَيۡنٍ وَنَحۡنُ حُدَثَاءُ عَهۡدٍ بِكُفۡرٍ، وَلِلۡمُشۡرِكِينَ سِدۡرَةٌ يَعۡكُفُونَ عِنۡدَهَا وَيَنُوطُونَ بِهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنۡوَاطٍ، فَمَرَرۡنَا بِسِدۡرَةٍ فَقُلۡنَا: يَا رَسُولَ اللهِ اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ...) الۡحَدِيث.
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain. Waktu itu kami masih baru masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka i’tikaf di situ dan mereka gantungkan senjata-senjata mereka di situ. Pohon itu dinamakan Dzatu Anwath. Ketika kami melewati pohon itu, kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath…” Al-Hadits.
عَنۡ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيۡثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ - وَكَانَ مِمَّنۡ أَسۡلَمَ عَامَ الۡفَتۡحِ عَلَى الۡمَشۡهُورِ سَنَةَ ثَمَانٍ مِنَ الۡهِجۡرَةِ-.
Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu. Beliau termasuk shahabat yang masuk Islam pada tahun Fathu Makkah tahun 8 hijriyyah menurut pendapat yang masyhur.
يُقَالُ لَهَا: (ذَاتُ أَنۡوَاطٍ)، وَالۡأَنۡوَاطُ جَمۡعُ نَوۡطٍ وَهُوَ: التَّعۡلِيقُ، أَيۡ: ذَاتُ تَعَالِيقَ، يُعَلِّقُونَ بِهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ لِلتَّبَرُّكِ بِهَا، فَقَالَ بَعۡضُ الصَّحَابَةِ الَّذِينَ أَسۡلَمُوا قَرِيبًا وَلَمۡ يَعۡرِفُوا التَّوۡحِيدَ تَمَامًا: (اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ) وَهٰذِهِ بَلِيَّةُ التَّقۡلِيدِ وَالتَّشَبُّهِ، وَهِيَ مِنۡ أَعۡظَمِ الۡبَلَايَا، فَعِنۡدَ ذٰلِكَ تَعَجَّبَ النَّبِيُّ ﷺ وَقَالَ: (اللهُ أَكۡبَرُ! اللهُ أَكۡبَرُ! اللهُ أَكۡبَرُ!)، وَكَانَ ﷺ إِذَا أَعۡجَبَهُ شَيۡءٌ أَوۡ اسۡتَنۡكَرَ شَيۡئًا فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ، أَوۡ يَقُولُ: (سُبۡحَانَ اللهِ) وَيُكَرِّرُ ذٰلِكَ.
Dinamakan dzatu anwath. Al-anwath adalah bentuk jamak dari nauth yang artinya gantungan. Jadi artinya pohon yang mempunyai gantungan-gantungan yang digunakan untuk menggantung senjata-senjata mereka untuk mencari berkah dengannya. Sebagian shahabat yang baru saja memeluk agama Islam dan belum mengenal tauhid secara sempurna mengatakan, “Buatkanlah dzatu anwath untuk kami sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.” Ini adalah bencana akibat taklid dan tasyabbuh. Bahkan ini adalah bencana yang paling besar. Seketika itu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut seraya mengatakan, “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!” Beliau apabila terkejut oleh sesuatu atau mengingkari sesuatu biasa mengucapkan takbir atau mengatakan, “Subhanallah” dan beliau ulang-ulang.
(إِنَّهَا السُّنَنُ) أَيۡ: الطُّرُقُ الَّتِي يَسۡلُكُهَا النَّاسُ وَيَقۡتَدِي بَعۡضُهُمۡ بِبَعۡضٍ، فَالسَّبَبُ الَّذِي حَمَلَكُمۡ عَلَى هٰذَا هُوَ اتِّبَاعُ سُنَنِ الۡأَوَّلِينَ وَالتَّشَبُّهُ بِالۡمُشۡرِكِينَ.
Innaha sunan yaitu jalan-jalan yang manusia tempuh dan sebagian mereka mencontoh sebagian yang lain. Jadi sebab yang mengantarkan mereka mengatakan ucapan tersebut adalah mengikuti jalan-jalan hidup orang-orang dahulu dan menyerupai orang-orang musyrik.
(قُلۡتُمۡ -وَالَّذِي نَفۡسِي بِيَدِهِ- كَمَا قَالَتۡ بَنُو إِسۡرَائِيلَ لِمُوسَى: ﴿اجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهًا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ﴾ [الأعراف: ١٣٨])، مُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ لَمَّا تَجَاوَزَ الۡبَحۡرَ بِبَنِي إِسۡرَائِيلَ وَأَغۡرَقَ اللهُ عَدُوَّهُمۡ فِيهِ وَهُمۡ يَنۡظُرُونَ، مَرَّوۡا عَلَى أُنَاسٍ يَعۡكُفُونَ عَلَى أَصۡنَامٍ لَهُمۡ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ، فَقَالَ هٰؤُلَاءِ لِمُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ: ﴿اجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهًا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ﴾ أَنۡكَرَ عَلَيۡهِمۡ وَقَالَ: ﴿إِنَّ هَٰٓؤُلَآءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمۡ فِيهِ﴾ يَعۡنِي: بَاطِلٌ، ﴿وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا يَعۡمَلُونَ﴾ لِأَنَّهُ شِرۡكٌ، ﴿قَالَ أَغَيۡرَ اللهِ أَبۡغِيكُمۡ إِلَٰهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمۡ عَلَى الۡعَٰلَمِينَ ١٤٠﴾ [الأعراف: ١٣٩، ١٤٠]، أَنۡكَرَ عَلَيۡهِمۡ -عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- كَمَا أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا ﷺ أَنۡكَرَ عَلَى هٰؤُلَاءِ، وَلَكِنۡ هٰؤُلَاءِ، وَهٰؤُلَاءِ لَمۡ يُشۡرِكُوا، فَبَنُوا إِسۡرَائِيلَ لَمَّا قَالُوا هٰذِهِ الۡمَقَالَةَ لَمۡ يُشۡرِكُوا لِأَنَّهُمۡ لَمۡ يَفۡعَلُوا، وَكَذٰلِكَ هٰؤُلَاءِ الصَّحَابَةُ لَوۡ اتَّخَذُوا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ لَأَشۡرَكُوا، وَلٰكِنَّ اللهَ حَمَاهُمۡ، لَمَّا نَهَاهُمۡ نَبِيُّهُمۡ انۡتَهَوۡا، وَقَالُوا هٰذِهِ الۡمَقَالَةَ عَنۡ جَهۡلٍ، مَا قَالُوهَا عَنۡ تَعَمُّدٍ، فَلَمَّا عَلِمُوا أَنَّهَا شِرۡكٌ انۡتَهَوۡا وَلَمۡ يُنَفِّذُوا، وَلَوۡ نَفَّذُوا لَأَشۡرَكُوا بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, kalian telah mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: “Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 138). Musa ‘alaihis salam ketika telah melewati laut bersama Bani Israil dan ketika Allah telah menenggelamkan musuh mereka di dalam laut dalam keadaan mereka melihatnya; Musa dan Bani Israil melewati orang-orang musyrik yang sedang beri’tikaf di tempat berhala mereka. Lalu Bani Israil berkata kepada Musa ‘alaihis salam, “Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.” Musa mengingkari mereka dan berkata, “Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya” yakni batal. “Dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan” karena perbuatan mereka adalah kesyirikan. “Musa menjawab: Patutkah aku mencari sesembahan untuk kalian selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat.” (QS. Al-A’raf: 139-140). Musa ‘alaihish shalatu was salam mengingkari mereka sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari para shahabat itu. Namun Bani Israil dan para shahabat belum sampai melakukan kesyirikan. Bani Israil ketika mengucapkan ucapan tersebut, mereka tidak sampai syirik karena mereka tidak sampai melakukannya. Demikian pula para shahabat. Seandainya mereka membuat dzatu anwath niscaya mereka jatuh dalam kesyirikan. Akan tetapi Allah menjaga mereka, yaitu ketika Nabi mereka melarang mereka lantas mereka pun berhenti. Di samping itu, mereka mengucapkan ucapan tersebut karena kebodohan. Mereka tidak mengucapkannya dengan tujuan syirik. Sehingga ketika mereka telah mengetahui bahwa ucapan tersebut adalah kesyirikan, mereka berhenti dan tidak melakukannya. Sekiranya mereka melakukannya niscaya mereka terjatuh dalam perbuatan menyekutukan Allah ‘azza wa jalla.
فَالشَّاهِدُ مِنَ الۡآيَةِ: أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَعۡبُدُ الۡأَشۡجَارَ، لِأَنَّ هٰؤُلَاءِ الۡمُشۡرِكِينَ اتَّخَذُوا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ، وَحَاوَلَ هٰؤُلَاءِ الصَّحَابَةُ الَّذِينَ لَمۡ يَتَمَكَّنۡ الۡعِلۡمُ مِنۡ قُلُوبِهِمۡ حَاوَلُوا أَنۡ يَتَشَبَّهُوا بِهِمۡ لَوۡ لَا أَنَّ اللهَ حَمَاهُمۡ بِرَسُولِهِ ﷺ.
الشَّاهِدُ: أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَتَبَرَّكَ بِالۡأَشۡجَارِ وَيَعۡكُفُ عِنۡدَهَا، وَالۡعُكُوفُ مَعۡنَاهُ: الۡبَقَاءُ عِنۡدَهَا مُدَّةً تَقَرُّبًا إِلَيۡهَا. فَالۡعُكُوفُ هُوَ: الۡبَقَاءُ فِي الۡمَكَانِ.
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah bahwa di sana ada orang yang menyembah pepohonan. Karena orang-orang musyrik itu telah membuat dzatu anwath. Dan orang-orang yang belum mapan ilmunya di dalam hatinya dari kalangan shahabat berusaha untuk menyerupai mereka sekiranya Allah tidak menjaga mereka melalui RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang menjadi dalil adalah bahwa di sana ada orang yang mencari berkah kepada pepohonan dan beri’tikaf di situ. I’tikaf artinya menetap di tempat itu beberapa saat dalam rangka mendekatkan diri kepadanya. Jadi arti i’tikaf adalah menetap di sebuah tempat.
فَدَلَّ هٰذَا عَلَى مَسَائِلَ عَظِيمَةٍ:
الۡمَسۡأَلَةُ الۡأُولَى: خَطَرُ الۡجَهۡلِ بِالتَّوۡحِيدِ، فَإِنَّ مَنۡ كَانَ يَجۡهَلُ التَّوۡحِيدَ حَرِيٌّ أَنۡ يَقَعَ فِي الشِّرۡكِ وَهُوَ لَا يَدۡرِي، وَمِنۡ هُنَا يَجِبُ تَعَلُّمُ التَّوۡحِيدِ، وَتَعَلُّمُ مَا يُضَادُّهُ مِنَ الشِّرۡكِ حَتَّى يَكُونَ الۡإِنۡسَانُ عَلَى بَصِيرَةٍ لِئَلَّا يُؤۡتِيَ مِنۡ جَهۡلِهِ، لَا سِيَّمَا إِذَا رَأَى مَنۡ يَفۡعَلُ ذٰلِكَ فَيَحۡسِبُ حَقًّا بِسَبَبِ جَهۡلِهِ، فَفِيهِ: خَطَرُ الۡجَهۡلِ، لَا سِيَّمَا فِي أُمُورِ الۡعَقِيدَةِ.
Hadits ini menunjukkan beberapa masalah yang agung:
1. Bahaya kebodohan terhadap tauhid. Karena barangsiapa yang bodoh terhadap tauhid sangat mungkin jatuh ke dalam kesyirikan dalam keadaan tidak menyadari. Atas dasar itu, wajib untuk mempelajari tauhid dan lawannya yaitu syirik sehingga sampai manusia itu berada di atas ilmu supaya tidak melakukan kesyirikan akibat ketidaktahuannya. Terlebih lagi apabila ia melihat seseorang yang melakukan kesyirikan, lalu ia menganggapnya sebagai kebenaran akibat ketidaktahuannya. Jadi pada hadits tersebut mengandung faidah bahayanya kebodohan terlebih di dalam perkara akidah.
ثَانِيًا: فِي الۡحَدِيثِ خَطَرُ التَّشَبُّهِ بِالۡمُشۡرِكِينَ، وَأَنَّهُ قَدۡ يُؤَدِّي إِلَى الشِّرۡكِ، قَالَ ﷺ: (مَنۡ تَشَبَّهَ بِقَوۡمٍ فَهُوَ مِنۡهُمۡ)، فَلَا يَجُوزُ التَّشَبُّهُ بِالۡمُشۡرِكِينَ.
2. Di dalam hadits ini ada faidah bahayanya menyerupai orang-orang musyrik. Hal ini sering mengantarkan kepada kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Sehingga, tidak boleh menyerupai orang-orang musyrik.
الۡمَسۡأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ التَّبَرُّكَ بِالۡأَحۡجَارِ وَالۡأَشۡجَارِ وَالۡأَبۡنِيَةِ شِرۡكٌ وَإِنۡ سُمِّيَ بِغَيۡرِ اسۡمِهِ، لِأَنَّهُ طَلَبَ الۡبَرَكَةَ مِنۡ غَيۡرِ اللهِ مِنَ الۡأَحۡجَارِ وَالۡأَشۡجَارِ وَالۡقُبُورِ وَالۡأَضۡرِحَةِ، وَهٰذَا شِرۡكٌ وَإِنۡ سَمُّوهُ بِغَيۡرِ اسۡمِ الشِّرۡكِ.
3. Bahwa mencari berkah kepada bebatuan, pepohonan, dan bangunan-bangunan adalah syirik, walaupun perbuatan ini mereka tidak namakan syirik. Karena ia telah mencari berkah dari selain Allah dari bebatuan, pepohonan, dan pekuburan. Dan ini adalah syirik, meskipun mereka menamakannya dengan selain nama syirik.