Cari Blog Ini

Syarh Al-Ushulus Sittah - Pondasi Kedua (3)

ثُمَّ صَارَ الۡأَمۡرُ إِلَى أَنَّ الۡافۡتِرَاقَ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ هُوَ الۡعِلۡمُ وَالۡفِقۡهُ فِي الدِّينِ.
Kemudian keadaan berubah sehingga perpecahan di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama dianggap sebagai ilmu dan fiqih dalam agama.[1]
وَصَارَ الۡأَمۡرُ بِالۡاجۡتِمَاعِ لَا يَقُولُهُ إِلَّا زِنۡدِيقٌ أَوۡ مَجۡنُونٌ.
Dan sehingga tidaklah orang yang memerintahkan untuk bersatu kecuali ia dianggap sebagai orang yang zindiq atau gila.[2]

[1] صَارَ الۡأَمۡرُ مَعَ الۡأَسَفِ عِنۡدَ الۡمُتَأَخِّرِينَ: أَنَّ الۡاخۡتِلَافَ فِي الۡأُصُولِ وَالۡفُرُوعِ هُوَ الۡفِقۡهُ، مَعَ أَنَّ الۡوَاجِبَ الۡعَكۡسُ: أَنَّ الۡاجۡتِمَاعَ هُوَ الۡفِقۡهُ فِي دِينِ اللهِ. 
Sedihnya, keadaan sekarang berubah. Yaitu, bahwa perselisihan di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama dianggap sebagai fikih. Padahal yang wajib adalah kebalikannya. Bahwa persatuan merupakan fikih dalam agama Allah. 
هُمۡ يَقُولُونَ: إِنَّ التَّفَرُّقَ وَإِعۡطَاءَ الۡحُرِّيَّةِ لِلنَّاسِ وَعَدَمَ الۡحَجۡرِ عَلَيۡهِمۡ هٰذَا هُوَ الۡفِقۡهُ. 
وَنَحۡنُ نَقُولُ: الۡفِقۡهُ هُوَ: الۡاجۡتِمَاعُ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ. 
Mereka mengatakan: Sesungguhnya perpecahan, pemberian kebebasan kepada manusia, dan tidak adanya larangan atas mereka itulah fikih. 
Maka kita katakan: Fikih adalah persatuan di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَبَعۡضُهُمۡ يَقُولُ: هٰذَا مِنۡ سَعَةِ الۡإسۡلَامِ أَنَّهُ إِذَا حَرَّمَ عَلَيۡنَا أَحَدٌ شَيۡئًا يَجِدُ مَنۡ يفۡتِي بِحِلِّهِ، اتَّخَذُوا النَّاسَ هُمۡ الۡمُشَرِّعِينَ، فَعَلَى رَأۡيِ هٰؤُلَاءِ إِذَا قَالَ فُلَانٌ: هٰذَا حَلَالٌ، صَارَ حَلَالًا لَنَا وَلَوۡ كَانَ حَرَامًا فِي كِتَابِ اللهِ أَوۡ سُنَّةِ رَسُولِهِ. 
فَنَقُولُ: نَرۡجِعُ إِلَى كِتَابِ اللهِ، فَمَنۡ شُهِدَ لَهُ بِالۡحَقِّ أَخَذۡنَا بِهِ، وَمَنۡ شُهِدَ عَلَيۡهِ بِالۡخَطَأِ تَرَكۡنَاهُ، هٰذَا هُوَ الۡوَاجِبُ. 
Sebagian mereka berkata: Ini adalah keluasan Islam, yaitu bahwa jika seseorang mengharamkan sesuatu kepada kita dan ada yang berfatwa tentang kehalalan sesuatu itu, maka mereka menjadikan manusia adalah yang membuat syariat. Maka menurut pandangan mereka, jika seseorang berkata: Ini halal, maka jadilah halal meskipun itu haram di dalam Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. 
Maka kita katakan: Kita kembali kepada Kitab Allah. Barangsiapa dipersaksikan dengan kebenaran, maka kita berpegang dengannya. Dan barangsiapa nyata salahnya, kita tinggalkan. Inilah yang wajib. 
[2] الَّذِي يَأۡمُرُ بِالۡاجۡتِمَاعِ وَتَرۡكِ الۡخِلَافِ يَقُولُونَ عَنۡهُ: هٰذَا خَارِجٌ عَلَى الۡأُمَّةِ، هٰذَا زِنۡدِيقٌ؛ لِأَنَّهُ يُلۡغِي أَقۡوَالَ الۡعُلَمَاءِ، فَنَحۡنُ لَا نُلۡغِي أَقۡوَالَ الۡعُلَمَاءِ، إِنَّمَا نُعۡرِضُهَا عَلَى كِتَابِ اللهِ، نَحۡنُ لَمۡ نُكَلَّفۡ بِاتِّبَاعِ النَّاسِ، إِنَّمَا أُمِرۡنَا بِاتِّبَاعِ الۡقُرۡآنِ وَالسُّنَّةِ، هٰذَا هُوَ الۡحَقُّ، مَا أُمِرۡنَا بِاتِّبَاعِ فُلَانٍ وَفُلَانٍ، وَاللهُ تَعَالَى لَمۡ يَكِلۡنَا إِلَى آرَائِنَا وَاجۡتِهَادَاتِنَا، بَلۡ أَنۡزَلَ عَلَيۡنَا كِتَابَهُ وَأَرۡسَلَ إِلَيۡنَا رَسُولَهُ، وَإِذَا رَجَعۡنَا إِلَى كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ زَالَ الشِّقَاقُ وَزَالَ الۡاخۡتِلَافُ وَاجۡتَمَعَتِ الۡكَلِمَةُ. 
Orang yang memerintahkan untuk bersatu dan meninggalkan perselisihan akan dikatakan bahwa orang ini keluar dari ajarannya, orang ini zindiq, karena ia meninggalkan ucapan para ulama. 
Sesungguhnya kami tidak meninggalkan ucapan para ulama. Kami hanya menyodorkan kepada Kitab Allah, kami tidak dibebani untuk mengikuti manusia. Kami hanya diperintah untuk mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah. Inilah yang benar. Kami tidak diperintah untuk mengikuti orang ini dan itu. Dan Allah tidak membiarkan kita bersandar kepada pemikiran dan ijtihad kita. Bahkan Dia telah menurunkan KitabNya dan telah mengutus kepada kita RasulNya. Apabila kita kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, maka pertentangan dan perselisihan itu akan sirna dan persatuan akan terwujud. 
أَتَدۡرُونَهُ أَنَّهُ إِلَى عَهۡدٍ قَرِيبٍ كَانَ فِي الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ أَرۡبَعَةُ مَحَارِيبَ، كُلُّ أَصۡحَابِ مَذۡهَبٍ يُصَلُّونَ جَمَاعَةً وَحۡدَهُمۡ مَعَ أَهۡلِ مَذۡهَبِهِمۡ بِجِوَارِ الۡكَعۡبَةِ، حَتَّى قَيَّضَ اللهُ مَنۡ جَمَعَهُمۡ عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ وَزَالَ –وَلِلهِ الۡحَمۡدُ- هٰذَا الۡمَظۡهَرُ السَّيِّءُ. 
هٰذَا كُلُّهُ مِنۡ اتِّبَاعِ الۡمَذَاهِبِ وَاتِّبَاعِ الۡآرَاءِ، حَتَّى الصَّلَاةَ فَرَّقُوهَا، صَارَ الۡحَنَفِيُّ لَا يُصَلِّي وَرَاءَ الۡحَنۡبَلِيِّ، وَالۡحَنۡبَلِيُّ لَا يُصَلِّي وَرَاءَ الشَّافِعِيِّ، وَلَا يُصَلُّونَ فِي وَقۡتٍ وَاحِدٍ، هٰذَا يُصَلِّي فِي أَوَّلِ الۡوَقۡتِ وَهٰذَا فِي آخِرِهِ؛ لِأَنَّ فُلَانًا يَرَى تَأۡخِيرَ الصَّلَاةِ، وَفُلَانًا يَرَى تَقۡدِيمَهَا، يُرِيدُونَ أَنۡ يُرۡضُوا جَمِيعَ النَّاسِ. 
Apakah kalian tahu bahwa belum lama pernah terjadi di Masjidil Haram ada empat mihrab. Setiap penganut madzhab shalat berjama’ah bersama yang semadzhab dengan mereka di sekitar Ka’bah. Sampai Allah tetapkan orang yang mengumpulkan mereka kepada satu imam dan segala puji hanya bagi Allah, pemandangan yang tidak menyenangkan ini telah hilang. 
Ini seluruhnya karena mengikuti madzhab-madzhab dan mengikuti pemikiran-pemikiran. Sampai-sampai shalat pun mereka pecah belah. Pengikut Abu Hanifah tidak shalat di belakang pengikut Ahmad bin Hanbal. Orang yang bermadzhab Hanbali tidak shalat di belakang orang yang bermadzhab Asy-Syafi’i. Mereka bahkan tidak shalat di satu waktu. Yang ini shalat di awal waktu dan yang itu shalat di akhirnya. Dikarenakan si Fulan berpendapat mengakhirkan shalat dan si Fulan yang lain berpendapat mengawalkannya. Mereka ingin untuk membuat ridha semua manusia. 
وَهٰذَا وَجَدۡنَاهُ فِي بَعۡضِ الۡبِلَادِ الۡأُخۡرَى بَاقِيًا إِلَى الۡآنَ، حَتَّى الۡحُمۡعَةَ لَا يُصَلُّونَهَا فِي وَقۡتٍ وَاحِدٍ، بَعۡضُهُمۡ لَا يُصَلِّيهَا إِلَّا عِنۡدَ الۡعَصۡرِ؛ لِأَنَّ فُلَانًا قَالَ كَذَا وَكَذَا، وَإِذَا أَرَادَ أَحَدُهُمۡ أَنۡ يُصَلِّيَ مُبَكِّرًا ذَهَبَ يُصَلِّي مَعَ فُلَانٍ، وَإِذَا أَرَادَ أَحَدُهُمۡ أَنۡ يَتَأَخَّرَ صَلَّى مَعَ فُلَانٍ، وَلٰكِنۡ عِنۡدَنَا –وَلِلهِ الۡحَمۡدُ- فِي هٰذِهِ الۡبِلَادِ فِي ظِلِّ هٰذِهِ الدَّعۡوَةِ الۡمُبَارَكَةِ عَادُوا فِي الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ إِلَى مَا كَانَ عَلَيۡهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ يُصَلُّونَ جَمِيعًا فِي وَقۡتٍ وَاحِدٍ وَخَلۡفَ إِمَامٍ وَاحِدٍ. 
Dan ini kita temukan di sebagian negeri-negeri lain masih ada sampai sekarang. Sampai shalat Jum’at tidak mereka selenggarakan di satu waktu. Sebagian mereka tidak shalat Jum’at kecuali ketika mendekati ‘Ashr karena si Fulan berpendapat demikian dan demikian. Jika salah seorang mereka ingin shalat di awal waktu, maka ia pergi shalat bersama si Fulan ini. Jika ingin shalat di akhir, ia shalat bersama si Fulan itu. Akan tetapi –segala puji hanya bagi Allah- kita berada di negeri ini (Arab Saudi) berada di bawah naungan dakwah yang berkah. Di Masjidil Haram ini, mereka kembali kepada kebiasaan para salafush shalih. Mereka shalat bersama di satu waktu di belakang satu imam.