وَيَزِيدُهُ وُضُوحًا مَا صَرَّحَتۡ بِهِ السُّنَّةُ فِي هٰذَا مِنَ الۡكَلَامِ الۡكَثِيرِ الۡبَيِّنِ الۡوَاضِحِ لِلۡعَامِي الۡبَلِيدِ.
Yang lebih memperjelas adalah apa-apa yang telah As-Sunnah terangkan berupa ucapan-ucapan yang banyak yang jelas lagi terang bagi orang awam yang bodoh sekalipun.[1]
ثُمَّ صَارَ هٰذَا أَغۡرَبُ الۡأَشۡيَاءِ، وَصَارَ الۡعِلۡمُ وَالۡفِقۡهُ هُوَ الۡبِدَعُ وَالضَّلَالَاتُ.
Akan tetapi, kemudian pondasi ini menjadi hal yang paling asing, sehingga ilmu dan fikih dianggap sebagai bid’ah dan kesesatan.[2]
وَخِيَارُ مَا عِنۡدَهُمۡ لَبۡسُ الۡحَقِّ بِالۡبَاطِلِ، وَصَارَ الۡعِلۡمُ الَّذِي فَرَضَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَى الۡخَلۡقِ وَمَدَحَهُ لَا يَتَفَوَّهُ بِهِ إِلَّا زِنۡدِيقٌ أَوۡ مَجۡنُونٌ.
Dan hal yang mereka anggap baik adalah bercampurnya kebenaran dengan kebatilan.[3] Sehingga ilmu yang Allah ta’ala wajibkan kepada makhluk dan Allah puji, tidaklah yang membicarakan kecuali dikatakan zindiq atau gila.[4]
وَصَارَ مَنۡ أَنۡكَرَهُ وَعَادَاهُ وَصَنَّفَ فِي التَّحۡذِيرِ مِنۡهُ وَالنَّهۡيِ عَنۡهُ هُوَ الۡفَقِيهُ الۡعَالِمُ.
Dan orang yang mengingkari ilmu, memusuhinya, membuat tulisan untuk memperingatkan darinya, dan melarang darinya dianggap sebagai orang yang fakih dan berilmu.[5]
[1] نَعَمۡ جَاءَتۡ الۡأَحَادِيثُ الَّتِي فِيهَا مِنَ الۡحَثِّ عَلَى تَعَلُّمِ الۡعِلۡمِ وَالتَّرۡغِيبِ فِيهِ، وَبَيَانِ مَا هُوَ الۡعِلۡمُ النَّافِعُ وَمَا هُوَ الۡعِلۡمُ الَّذِي لَا يَنۡفَعُ الشَّيۡءَ الۡكَثِيرَ، وَإِذَا رَجَعۡتَ كِتَابَ (جَامِعُ بَيَانِ الۡعِلۡمِ وَفَضۡلِهِ) لِابۡنِ عَبۡدِ الۡبَرِّ أَوۡ غَيۡرَهُ، عَرَفۡتَ هٰذَا.
Benar, terdapat hadits-hadits mengenai hal ini berupa anjuran untuk mempelajari ilmu dan motivasi untuk itu. Juga penjelasan apa itu ilmu yang bermanfaat dan apa itu ilmu yang tidak banyak bermanfaat. Apabila engkau merujuk kepada kitab Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih karya Ibnu ‘Abdul Barr atau selain itu, maka engkau akan mengetahui hadits-hadits tersebut.
[2] صَارَ الۡعِلۡمُ وَالۡفِقۡهُ عِنۡدَ بَعۡضِ الۡمُتَأَخِّرِينَ هُوَ الۡبِدَعُ وَالضَّلَالَاتُ؛ لِأَنَّهُمۡ تَرَكُوا الۡعِلۡمَ الصَّحِيحَ الۡمَبۡنِيَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ، وَصَارَ الۡعِلۡمُ عِنۡدَهُمۡ: قَالَ فُلَانٌ وَقَالَ فُلَانٌ، وَحِكَايَاتٌ.
Ilmu dan fikih menurut sebagian orang-orang belakangan dianggap sebagai bid’ah dan kesesatan. Ini dikarenakan mereka meninggalkan ilmu yang shahih yang dibangun di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, jadilah ilmu dalam pandangan mereka adalah fulan berkata begini, fulan berkata begitu, dan hikayat-hikayat.
كَقَوۡلِهِمۡ: إِنَّ الۡقَبۡرَ الۡفُلَانِيَّ يَنۡفَعُ مِنۡ كَذَا، وَإِنَّ الۡبُقۡعَةَ الۡفُلَانِيَّةَ رَأَي فِيهَا فُلَانٌ فِي الۡمَنَامِ كَذَا، هٰذَا عِلۡمُ هَٰؤُلَاءِ، أَوۡ يَبۡحَثُونَ عَنِ الۡأَحَادِيثِ الۡمَوۡضُوعَةِ وَالۡمَقۡبُورَةِ الَّتِي قَبَّرَهَا أَهۡلُ الۡعِلۡمِ، وَبَيَّنُوا أَنَّهَا مَكۡذُوبَةٌ، فَتَجِدُ الۡمُخَرِّفِينَ يَجۡعَلُونَهَا صَحِيحَةً وَيُزَيِّنُونَ لَهَا أَسَانِيدَ، وَيُرَمِّمُونَهَا وَيَقُولُونَ: هٰذِهِ أَحَدِيثُ صَحِيحَةٌ، وَيَتۡرُكُونَ الۡأَحَادِيثَ الصَّحِيحَةَ الۡوَارِدَةَ فِي الۡبُخَارِيِّ وَمُسۡلِمٍ وَالسُّنَنِ الۡأَرۡبَعِ وَالۡمَسَانِيدِ الۡمُعۡتَبَرَةِ، يَتۡرُكُونَهَا لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ فِي صَالِحِهِمۡ.
Seperti ucapan mereka: Sesungguhnya kuburan Fulan dapat memberi manfaat dari perkara ini dan bahwa di tempat Fulan ia melihat seseorang di dalam mimpinya demikian. Inilah ilmu mereka. Atau mereka mencari hadits-hadits palsu yang telah dikubur oleh para ulama, dan para ulama telah menjelaskan bahwa hadits ini didustakan. Lalu engkau dapati orang-orang yang membuat khurafat menjadikan hadits tersebut sebagai hadits shahih dan mereka menghiasinya dengan sanad-sanad. Dan mereka membenahinya lalu mengatakan: Ini adalah hadits shahih. Sedangkan, mereka malah meninggalkan hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim, serta kitab sunan yang empat dan kitab musnad yang dikenal. Mereka meninggalkannya karena hadits-hadits itu tidak cocok dengan tujuan mereka.
[3] يَجِبُ أَنۡ يُمَيَّزَ الۡحَقُّ مِنَ الۡبَاطِلِ وَيُفَصَّلَ بَيۡنَهُمَا، أَمَّا إِذَا خُلِطَ بَيۡنَهُمَا فَهٰذَا هُوَ التَّلۡبِيسُ وَالۡغِشُّ وَالتَّدۡلِيسُ عَلَى النَّاسِ.
Wajib untuk membedakan yang benar dari yang batil dan memisahkan antara keduanya. Adapun apabila tercampur antara keduanya, maka ini adalah pengaburan, penipuan, dan pemalsuan terhadap manusia.
[4] لِأَنَّهُ يُخَالِفُ مَا هُمۡ عَلَيۡهِ، فَالۡعِلۡمُ الَّذِي أَثۡنَى اللهُ عَلَيۡهِ وَعَلَى أَهۡلِهِ وَمَدَحَهُ صَارَ عِنۡدَهُمۡ جَهۡلًا، وَمَنۡ تَفَوَّهُ بِهِ –أَيۡ: تَكَلَّمَ بِهِ- فَهُوَ مَجۡنُونٌ؛ لِأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: إِنَّ الۡعِلۡمَ الَّذِي فَرَضَهُ اللهُ يُغَيِّرُ مَا عَلَيۡهِ النَّاسُ!! وَيُغَيِّرُ دِينَ آبَائِنَا وَأَجۡدَادِنَا!!
Karena ilmu yang benar itu menyelisihi adat kebiasaan mereka. Sehingga, ilmu yang telah Allah sanjung dan puji padanya dan pada ahlinya, mereka anggap sebagai kebodohan. Dan barangsiapa yang berbicara mengenai ilmu itu mereka anggap sebagai orang gila. Karena mereka katakan: Bahwa ilmu yang Allah telah wajibkan akan mengubah adat kebiasaan manusia dan mengubah agama bapak-bapak dan nenek moyang kami.
[5] مَنۡ صَنَّفَ فِي التَّحۡذِيرِ مِنَ الۡعِلۡمِ النَّافِعِ، وَمَدَحَ الۡعِلۡمَ الۡمَذۡمُومَ وَنَشَرَهُ فِي النَّاسِ يَقُولُونَ عَنۡهُ: هٰذَا هُوَ الۡفَقِيهُ، هٰذَا هُوَ الۡعَالِمُ، أَمَّا مَنۡ نَشَرَ الۡعِلۡمَ الصَّحِيحَ يَقُولُونَ عَنۡهُ: هٰذَا لَا يَصۡلُحُ، وَهٰذَا جَاهِلٌ، وَهٰذَا يُرِيدُ أَنۡ يُفَرِّقَ النَّاسَ، إِنَّا نُرِيدُ التَّجۡمِيعَ لَا نُرِيدُ التَّفَرُّقَ، أَيۡ: التَّجۡمِيعُ وَلَوۡ عَلَى الۡبَاطِلِ، وَلَا نُرِيدُ التَّفۡرِيقَ الَّذِي فِيهِ تَمۡيِيزُ الۡحَقِّ مِنَ الۡبَاطِلِ، وَتَمۡيِيزُ الطَّيِّبِ مِنَ الۡخَبِيثِ، وَهٰذَا مُحَالٌ، فَإِنَّهُ لَا يَحۡصُلُ الۡاجۡتِمَاعُ عَلَى الۡبَاطِلِ، وَإِنَّمَا يَحۡصُلُ الۡاجۡتِمَاعُ عَلَى الۡحَقِّ، وَالشَّاعِرُ يَقُولُ:
إِذَا مَا الۡجُرۡحُ رُمَّ عَلَى فَسَادٍ تَبَيَّنَ فِيهِ إِهۡمَالُ الطَّبِيبِ
Siapa yang menulis tentang peringatan dari ilmu yang bermanfaat, memuji ilmu yang tercela, dan menyebarkannya kepada manusia, akan mereka katakan: Dia ini adalah orang yang fakih, dia adalah orang yang ‘alim. Adapun orang yang menyebarkan ilmu yang benar, akan mereka katakan: Ini tidak boleh, orang ini jahil, orang ini ingin memecah belah manusia. Mereka katakan: Sesungguhnya kami ingin bersatu, kami tidak mau berpecah belah. Maksud mereka: bersatu meskipun di atas kebatilan. Mereka katakan lagi: Kami tidak ingin perpecahan yang padanya ada pemisahan yang haq dari yang batil dan pemisahan yang baik dari yang buruk.
Namun, ini mustahil. Karena tidak bisa terwujud persatuan di atas kebatilan. Persatuan hanya bisa terwujud di atas kebenaran. Seorang penyair mengatakan, “Apabila luka itu dirawat dengan keliru, maka akan tampak padanya kecerobohan si dokter.”