وَآيَةٌ فِي الۡمَائِدَةِ (٥٤)، وَهِيَ قَوۡلُهُ: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٍ﴾.
Dan satu ayat dalam surah Al-Maidah ayat 54, yaitu firman Allah yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan kaum lain yang Allah cinta kepada mereka dan mereka mencintai Allah. Mereka bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan para pencela.”[1]
وَآيَةٌ فِي يُونُسَ (٦٢-٦٣) وَهِيَ قَوۡلُهُ: ﴿أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ اللهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ٦٣﴾.
Dan suatu ayat di dalam surah Yunus ayat 62-63, yaitu firman Allah yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”[2]
ثُمَّ صَارَ الۡأَمۡرُ عِنۡدَ أَكۡثَرَ مَنۡ يَدَّعِي الۡعِلۡمَ، وَأَنَّهُ مِنۡ هُدَاةِ الۡخَلۡقِ وَحُفَّاظِ الشَّرۡعِ إِلَى أَنَّ الۡأَوۡلِيَاءَ لَا بُدَّ فِيهِمۡ مِنۡ تَرۡكِ اتِّبَاعِ الرُّسُلِ، وَمَنۡ تَبِعَهُمۡ فَلَيۡسَ مِنۡهُمۡ.
Kemudian, perkara ini berubah menurut sebagian besar orang yang mengaku berilmu dan mengaku termasuk orang yang memberi petunjuk manusia dan menjaga syariat. Yaitu bahwa wali-wali Allah itu harus meninggalkan dari meneladani para rasul dan siapa saja yang mengikuti para rasul berarti tidak termasuk wali Allah.[3]
[1] هَٰذِهِ صِفَاتُ أَوۡلِيَاءِ اللهِ، أَنَّهُمۡ يُحِبُّونَ اللهَ وَيُحِبُّهُمُ اللهُ، وَيَكُونُونَ: ﴿أَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الۡكَٰفِرِينَ﴾ [المائدة: ٥٤] يَعۡنِي: يُحِبُّونَ الۡمُؤۡمِنِينَ، وَفِيهِمۡ وَلَاءٌ لِلۡمُؤۡمِنِينَ، وَفِيهِمۡ بُغۡضٌ وَبَرَاءَةٌ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ ﴿يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٍ ذَٰلِكَ فَضۡلُ اللهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ﴾ [المائدة: ٥٤] هَٰذِهِ أَرۡبَعُ صِفَاتٍ هِيَ صِفَاتُ أَوۡلِيَاءِ اللهِ، وَأَمَّا الَّذِينَ يَأۡمُرُونَ بِعِبَادَةِ غَيۡرِ اللهِ يَدۡعُونَ مَنۡ فِي الۡقُبُورِ وَالۡأَمۡوَات وَالۡأَضۡرِحَةِ، وَيُسَمُّونَ خَوَارِقَ الشَّيۡطَانِ كَرَامَاتٍ مِنَ اللهِ، فَهَٰذِهِ صِفَاتُ أَعۡدَاءِ اللهِ.
Ini adalah sifat-sifat wali Allah, yaitu bahwa mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka dan mereka “bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah: 54). Yakni mereka mencintai orang-orang mukmin dan pada diri mereka ada kecintaan dan loyal kepada orang-orang mukmin. Dan pada diri mereka ada sikap benci dan berlepas diri dari orang-orang musyrik. “Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan para pencela. Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54). Empat sifat ini adalah sifat wali Allah. Adapun orang-orang yang memerintah untuk menyembah selain Allah, berdoa kepada orang-orang yang berada di dalam kubur dan orang-orang yang sudah mati, dan mereka menamakan kejadian luar biasa yang dibantu setan dengan karamah dari Allah, maka ini adalah sifat-sifat musuh Allah.
[2] فَأَنۡتَ تَأۡخُذُ مِنۡ هَٰذِهِ الۡآيَاتِ الثَّلَاثِ صِفَةَ أَوۡلِيَاءِ اللهِ، الۡأُولَى فِي سُورَةِ آلِ عِمۡرَانَ، وَالۡآيَةُ الثَّانِيَةُ فِي سُورَةِ الۡمَائِدَةِ، وَالثَّالِثَةُ فِي سُورَةِ يُونُسَ، فِيهَا صِفَاتُ أَوۡلِيَاءِ اللهِ، مَنِ اتَّصَفَ بِهَا فَهُوَ وَلِيٌّ لِلهِ، وَمَنِ اتَّصَفَ بِضِدِّهَا فَهُوَ وَلِيٌّ لِلشَّيۡطَانِ.
Maka, dari tiga ayat ini, engkau ambil sifat wali Allah. Ayat pertama di surah Ali ‘Imran, ayat kedua di surah Al-Maidah, dan ayat ketiga di surah Yunus. Di dalamnya ada sifat-sifat wali Allah. Siapa saja yang bersifat dengannya, maka ia adalah wali Allah. Dan siapa yang mempunyai sifat dengan lawan sifat tersebut, maka ia adalah wali setan.
[3] إِذَا خَرَجَ عَنِ الشَّرۡعِ، يُقَالُ عِنۡدَهُمۡ: هَٰذَا عَارِفٌ وَصَلَ إِلَى اللهِ لَيۡسَ بِحَاجَةٍ إِلَى اتِّبَاعِ الرَّسُولِ، يَأۡخُذُ عَنِ اللهِ مُبَاشَرَةً.
Menurut mereka, apabila seseorang keluar dari syariat, akan dikatakan: Ini adalah orang yang memiliki kebaikan, ia sampai kepada Allah tanpa membutuhkan untuk mengikuti Rasul, ia mengambil dari Allah secara langsung.
يَقُولُونَ: أَنۡتُمۡ تَأۡخُذُونَ دِينَكُمۡ عَنۡ مَيِّتٍ عَنۡ مَيِّتٍ –يَعۡنِي: بِالۡأَسَانِيدِ- وَنَحۡنُ نَأۡخُذُ دِينَنَا عَنِ الۡحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ، يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ يَأۡخُذُونَ عَنِ اللهِ مُبَاشَرَةً.
وَمَنۡ يَأۡخُذُ عَنِ الرُّسُلِ فَلَيۡسَ مِنَ الۡأوۡلِيَاءِ عِنۡدَهُمۡ، فَلَا يَكُونُ وَلِيًّا عِنۡدَهُمۡ إِلَّا مَنۡ خَرَجَ عَنۡ طَاعَةِ الرَّسُولِ ﷺ.
وَلَا يَصِيرُ الۡوَلِيُّ الۡآنَ فِي عُرۡفِ كَثِيرٍ مِنَ الۡمُتَأَخِّرِينَ إِلَّا مَنۡ بُنِيَ عَلَى قَبۡرِهِ قُبَّةٌ أَوۡ مَسۡجِدٌ، أَمَّا الۡمَدۡفُونُ الَّذِي دَفَنَهُ عَلَى السُّنَّةِ الَّذِي لَمۡ يُوضَعۡ عَلَى قَبۡرِهِ شَيۡءٌ، فَهُوَ عِنۡدَهُمۡ لَيۡسَ بِوَلِيٍّ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ أَفۡضَلِ النَّاسِ.
Mereka mengatakan: Kalian mengambil agama kalian dari orang yang telah meninggal dari orang yang telah meninggal pula –yakni dengan sanad-sanad-. Adapun kami mengambil agama kami dari Yang Maha Hidup yang tidak mati. Mereka menyangka bahwa mereka mengambil dari Allah secara langsung.
Orang-orang yang mengambil agama dari para rasul, menurut mereka, tidak termasuk wali. Sehingga, menurut mereka, tidaklah bisa menjadi wali kecuali orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan sekarang ini tidak ada orang-orang belakangan yang bisa menjadi wali kecuali orang yang di atas kuburannya dibangun kubah atau masjid. Adapun orang yang dikubur dengan cara sunnah yang tidak ada apapun di atas kuburannya, maka menurut mereka, dia bukanlah wali walaupun dia seutama-utama manusia.
ثُمَّ أَيۡضًا عِنۡدَهُمۡ الۡوَلِيُّ لَهُ زِيٌّ خَاصٌّ، بِأَنۡ يَلۡبَسَ عِمَامَةً وَيَلۡبَسَ ثَوۡبًا خَاصًّا.
يَقُولُ ابۡنُ الۡقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ: لَيۡسَ لِأَوۡلِيَاءِ اللهِ عَلَامَةٌ يَتَمَيَّزُونَ بِهَا، بَلۡ يَكُونُونَ كَسَائِرِ النَّاسِ مَا يُعۡرَفُونَ، وَالرَّسُولُ ﷺ يَقُولُ: (رُبَّ أَشۡعَثَ أَغۡبَرَ مَدۡفُوعٍ بِالۡأَبۡوَابِ لَوۡ أَقۡسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ).
هَٰذِهِ صِفَاتُ أَوۡلِيَاءِ اللهِ أَنَّهُمۡ لَا يُظۡهِرُونَ أَنۡفُسَهُمۡ، بَلۡ يَحۡرِصُونَ عَلَى الۡاخۡتِفَاءِ؛ لِأَجۡلِ الۡإِخۡلَاصِ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ.
إِذَنۡ مِنۡ صِفَاتِ أَوۡلِيَاءِ اللهِ: التَّوَاضُعُ، وَالۡاخۡتِفَاءُ وَعَدَمُ الظُّهُورِ.
Selain itu pula, menurut mereka, wali adalah yang memiliki pakaian khusus seperti imamah (sorban) atau baju khusus. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Wali-wali Allah tidaklah memiliki tanda yang membedakan dirinya, bahkan ia layaknya seperti manusia pada umumnya yang tidak dikenal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Boleh jadi ada orang yang kusut, berdebut, yang diusir manusia dari pintu-pintu mereka, namun kalau ia bersumpah kepada Allah tentu Allah akan mewujudkannya.”
Ini sifat wali Allah. Yaitu bahwa mereka tidak menonjolkan diri-diri mereka. Bahkan mereka berusaha untuk tidak diketahui dalam rangka ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla. Jadi, termasuk sifat wali-wali Allah adalah tawadhu’ dan tidak suka popularitas.