Bekas Budak Yang Mulia
Inilah salah seorang figur sahabat teladan, Salim bin Ma'qil, maula (bekas budak) Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabiah bin Abdis Syamsi bin Abdil Manaf. Beliau berkuniah Abu Abdillah.
Dari sisi nasab, beliau hanyalah keturunan bangsa ajam (non Arab). Tepatnya beliau seorang Persia dari Istikhar atau dari Qurmud. Meski bukan seorang Arab, beliau termasuk dari sahabat Nabi yang terdahulu masuk Islam.
Inilah figur manusia pendamping Nabi-Nya yang memiliki banyak keutamaan. Beliau juga sebagai seorang sahabat pilihan dari kalangan mawali (bekas budak yang dibebaskan). Salim maula Abi Hudzaifah radhiyallahu 'anhu terhitung sebagai sahabat dari golongan muhajirin, sebab beliau adalah maula dari Abi Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang kemudian dinikahkan dengan keponakan Abu Hudzaifah yang bernama Fathimah bintu Walid bin Utbah Al Qurasy. Di samping itu, beliau juga terhitung sebagai sahabat dari kalangan Anshar sebab beliau adalah keturunan Bani Ubaid yang telah dibebaskan oleh maulanya dari suku Anshar.
Pada mulanya Salim radhiyallahu 'anhu hanyalah sebagai seorang budak. Budak kepunyaan Tsabitah bintu Yu'ar bin Zaid bin Ubaid bin Zaid Al Anshari Ad Dausy. Tsabitah ini adalah istri dari Abu Hudzaifah, maka Salim dibebaskan oleh tuannya tanpa perjanjian dan sebab. Tsabitah sendiri diperselisihkan nama aslinya: Batsinah, 'Amrah, Salma, demikian perbedaan ulama mengenai nama istri Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu. Kemudian Allah pun mengangkat derajatnya dengan masuknya beliau ke dalam Islam. Sungguh, dalam Islam kemuliaan manusia tidaklah diukur sebatas nasab yang mulia ataukah harta yang melimpah. Namun, kemuliaan manusia diukur berdasarkan ketakwaannya. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡ
“Sesungguhnya orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling takwa!” [Q.S. Al-Hujurat: 13]
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengatakan yang artinya, “Tiada kelebihan bagi seorang bangsa Arab atas selain bangsa Arab kecuali takwa, dan tidak ada kelebihan bagi seorang keturunan kulit putih atas seorang keturunan kulit hitam kecuali takwa.” [H.R. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]
Setelah dibebaskan, Salim pun dijadikan anak angkat oleh Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu. Abu Hudzaifah sendiri adalah salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya. Maka, beliau dipanggil dengan sebutan Salim bin Abi Hudzaifah kala itu. Mendapatkan kedudukan tinggi di sisi kaum Quraisy.
Dahulu di masa Jahiliah, anak angkat dianggap seperti anak sendiri. Dia dinisbatkan kepada bapak angkatnya seolah-olah sebagai anak kandung. Tak hanya itu, anak angkat juga berhak untuk mewarisi ayah angkatnya.
Tatkala Islam datang, Islam pun menghapus adat kebiasaan jahiliah tersebut. Seorang anak angkat tetap dinisbatkan kepada ayah kandungnya. Anak angkat pun tak bisa mewarisi ayah angkatnya. Maka, Salim radhiyallahu 'anhu pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula bagi Abu Hudzaifah bin 'Utbah radhiyallahu 'anhu. Beliau pun akhirnya dikenal dengan Salim maula Abu Hudzaifah tidak lagi bernama Salim bin Abu Hudzaifah. Demikianlah ketundukan para sahabat di hadapan ketentuan Allah subhanahu wa ta'ala.
Salim Sang Qurra'
Salim termasuk sahabat yang mendapat gelar Qurra' yakni para pembaca (ahli) Al Quran. Gelar ini adalah gelar yang tinggi di kalangan sahabat Nabi. Gelar tersebut menunjukkan hafalan Al Quran, pengetahuan akan isinya, serta pengamalannya. Tidak semua sahabat mendapatkan gelar ini. Hanya segelintir mereka yang mencapai derajat yang mulia ini. Oleh karenanya, Salim pernah memimpin (mengimami) salat di Quba padahal di antara jamaah salat tersebut ada Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, tepatnya saat-saat sebelum hijrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Beliau menjadi andalan tempat bertanya tentang Kitabullah, hingga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kaum muslimin belajar kepadanya.
Selain ahli Al Quran, beliau banyak berbuat kebaikan dan banyak memiliki keunggulan yang menyebabkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang mengadakan seseorang sepertimu dalam golonganku!”
Bahkan para sahabat menyebut dan memuji beliau, “Salim radhiyallahu 'anhu salah seorang dari kaum yang saleh.”
Tak ketinggalan, Umar bin Al Khattab radhiyallahu 'anhu sempat mengatakan saat hampir wafat karena tikaman Ibnu Muljim (Ralat: Abu Lu'lu'ah Al Majusi), “Seandainya Salim masih hidup, tentu aku tidak akan mengangkat dewan syura (musyawarah) (untuk mencari pengganti kekhalifahan beliau).” Demikianlah tingginya kedudukan Salim di sisi Al Faruq Umar bin Al Khattab radhiyallahu 'anhu.
Jihad Hingga Meraih Keutamaan
Salim maula Abi Hudzaifah turut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau senantiasa menyertai peperangan bersama Rasulullah. Hal ini terus beliau lakukan di saat kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar As Siddiq radhiyallahu 'anhu. Di saat inilah, terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan orang-orang murtad pimpinan Musailamah sang nabi palsu. Tak ketinggalan, Salim turut bersama Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu dalam kancah itu. Di awal peperangan, kedua saudara, Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu dan Salim radhiyallahu 'anhu berpelukan dan sama-sama berjanji siap mati syahid demi Islam, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak!
Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berteriak, “Hai pengikut-pengikut Al-Quran! Hiasilah Al-Quran dengan amal-amal kalian!” Maka segeralah beliau terjun ke dalam barisan pasukan murtadin. Bagai singa yang murka, kelebat pedangnya berayun menghunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah.
Salim radhiyallahu 'anhu berseru pula. Katanya, “Amat buruk nasibku sebagai pemikul Al-Quran, apabila benteng kaum muslimin bobol karena kelalaianku!”
“Tidak mungkin demikian, wahai Salim! Bahkan engkau adalah sebaik-baik pemikul Al-Quran!” ujar Abu Hudzaifah radhiyallahu 'anhu. Salim terus maju merangsek, mematahkan leher-leher musuh Islam hingga tiba-tiba sebuah pedang menebas tangannya. Putuslah tangan beliau yang mulia, tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya yang pertama, Zaid bin Khatthab radhiyallahu 'anhu. Tatkala tangan kanannya itu putus dan panji itu jatuh, segeralah diambilnya dengan tangan kiri seraya terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat Al-Quran berikut ini:
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِىٍّ قَـٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا۟ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا۟ وَمَا ٱسۡتَكَانُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ ١٤٦
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” [Q.S. Ali Imran: 146]
Aduhai, suatu keyakinan yang amat agung! Aduhai, betapa berakarnya tekad Salim radhiyallahu 'anhu saat itu!
Akhirnya, banyak di antara para sahabat Rasul yang menemui syahid dalam perang ini. Salim dan Abu Hudzaifah adalah dua orang dari mereka. Beliau terbunuh dalam perang Yamamah bersama dengan maulanya, Abu Hudzaifah.
Saat keduanya meninggal, keadaan kepala kedua sahabat ini berada pada kaki yang lainnya. Hal ini terjadi di tahun 12 hijriyah. Radhiyallahu 'anhuma. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala meridhai keduanya. [Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 45 vol. 04 1436H-2015M, rubrik Figur.