Suami adalah seorang pendamping hidup bagi seorang istri. Keterpautan hati di antara keduanya sangatlah erat. Terlebih ketika keduanya telah menjalani kehidupan berumah tangga dalam kurun waktu yang lama. Suka dan duka dilalui bersama, sang istri telah merasakan kepemimpinan suaminya, penjagaannya, pencukupannya terhadap nafkah dirinya dan anak-anaknya. Telah terlahir dengan izin Allah kemudian dengan sebab keduanya anak-anak yang menyenangkan hati sehingga jalinan kasih dan sayangpun terpatri kuat di antara mereka. Maka berjauhan dan terpisah dari suami adalah perkara yang berat bagi seorang istri. Akan tetapi ketika keimanan telah tertanam di dalam dada, ketakwaan telah tumbuh dan berkembang di hati, dan kebahagiaan di akhirat adalah tujuan seorang yang benar keimanannya, maka apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dipilih dan dijalankan. Itulah yang terjadi pada sebagian dari perjalanan kehidupan putri pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Zainab Al Kubra radhiyallahu ‘anha.
Zainab radhiyallahu ‘anha adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari istri beliau yang pertama yaitu Khadijah bintu Khuwailid –radhiyallahu ‘anha. Beliau dilahirkan kurang lebih sepuluh tahun sebelum ayahnya diangkat sebagai nabi. Dengan izin Allah kemudian dengan sebab berada di bawah bimbingan kedua orangtua yang terkenal kemuliaan nasab dan akhlaknya, Zainab tumbuh berkembang menjadi seorang wanita yang mempunyai banyak sifat terpuji. Maka sekalipun usianya masih cukup belia, keadaan Zainab membuat beberapa keluarga ingin meminangnya untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Di antara yang datang melamarnya adalah Abul Ash bin Rabi’, putra khalah beliau (bibi dari sisi ibu), Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Nasab Abul Ash bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Abdul Manaf bin Qusay. Oleh karena itu, Abul Ash Ibn Rabi’ termasuk penduduk Makkah yang merupakan keturunan Quraisy dan terkenal pula kemuliaan nasab serta akhlaknya. Pernikahan keduanya pun terjadi. Dengan keadaan Abul Ash yang mempunyai sifat-sifat terpuji, dia menjadi sosok yang disukai oleh keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih istrinya Zainab. Cinta dan kasih sayang mudah tumbuh dan berkembang di hatinya. Kebahagiaan dan kesenangan hidup bersama suami tercinta dilalui dengan penuh rasa syukur, hingga Allah memberikan kepada keduanya seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Ali dan seorang anak wanita bernama Umamah.
Di saat kehidupan rumahtangga mereka telah terbina dengan baik, Allah takdirkan ayah Zainab yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai seorang rasul. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban mendakwahkan agama Islam yang Allah turunkan kepada keluarga dan umat manusia seluruhnya. Maka Zainab sebagai putri terbesar beliau pun menerima dakwah ini. Hatinya condong kepada apa yang dibawa ayahnya, sepakat dan membenarkan bahwa jalan tersebut adalah satu-satunya jalan yang dapat dijadikan pedoman hidup di dunia hingga di akhirat kelak.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai rasul, Abul Ash sedang tidak berada bersama Zainab. Abul Ash adalah seorang saudagar yang sering kali dipercaya masyarakatnya untuk membawakan barang-barang dagangan mereka ke tempat-tempat yang jauh. Zainab menanti sang suami dengan penuh harap akan bersatunya pandangan dirinya dan suaminya untuk menerima kebenaran yang dibawa ayahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika suaminya kembali dari perjalanannya, dia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi sepeninggal suaminya, dan juga menjelaskan tentang agama baru yang dibawa dan didakwahkan oleh ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi betapa terkejut dan lemas hati Zainab ketika ternyata yang terjadi adalah sebaliknya dari apa yang diharapkannya. Suaminya terdiam, kemudian berkata,
“Demi Allah, bagi kami bapakmu bukanlah orang yang memiliki cela. Akan tetapi aku tidak ingin disebut telah merendahkan kaumku dan mengufuri agama nenek moyangku dalam rangka menyenangkan istriku”.
Betapa sedih hati Zainab radhiyallahu ‘anha karenanya. Pendamping hidup dan pemimpin dalam rumahtangganya ternyata tidak sependapat dengannya dalam menerima agama Islam yang Allah turunkan. Duka hatinya tidak dapat disembunyikan. Perbedaan tersebut senantiasa mengganggu pikirannya. Sekalipun demikian, dia tetap tinggal bersama suaminya dan tetap menjalankan kewajibannya kepada suaminya hingga Allah menetapkan adanya pilihan lain baginya, seraya terus berdoa dan berharap Allah berkenan memberikan hidayah kepada suami yang dikasihinya.
Waktu terus berlalu. Peristiwa demi peristiwa terus bergulir bersama waktu. Dakwah Islam semakin berkembang dan bertambah pengikutnya. Baik dari kalangan budak hingga beberapa orang terkemuka dari kaum Quraisy sudah memeluk agama Islam. Akan tetapi Abul Ash belum juga mau menerima dakwah tersbut, sedangkan Zainab masih terus bersamanya. Gangguan-gangguan yang diberikan kaum kafir Quraisy juga didengar oleh Zainab. Begitupun gangguan yang diterima ayahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pilu hatinya tidak bisa membantu meringankan beban sang ayah, terlebih sepeninggal ibunya Khadijah radhiyallahu ‘anha. Akan tetapi apa daya dirinya telah berada di bawah tanggung jawab seorang suami. Ketika itu, belum ada perintah dari Allah untuk memisahkan para istri yang telah menjadi muslimah dari kepemimpinan suaminya yang masih kafir. Sementara sudah lazim bagi bangsa arab bahwa ketika seorang wanita telah menikah maka sepenuhnya dia berada di bawah tanggung jawab suaminya.
Akhirnya sampai pada masa di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berhijrah ke Madinah Al Munawwarah. Suatu tempat di mana Allah takdirkan masyarakatnya mayoritas menerima Islam dan sangat menanti kedatangan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berada di tengah mereka dan membangun kehidupan bermasyarakat Islami. Maka berhijrahlah kaum muslimin yang Allah mudahkan untuk berhijrah. Demikian pula saudari-saudari Zainab. Ruqayyah radhiyallahu ‘anha berhijrah bersama suaminya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Disusul kemudian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut Ummu Kultsum dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma setelahnya. Maka tertinggallah Zainab dengan kesedihan berpisah dari keluarga, orang-orang terdekat dan terkasihnya.
Ketika terjadi perang Badr, Abul Ash ikut bersama pasukan Quraisy untuk melawan kaum muslimin. Dengan kemenangan yang Allah berikan kepada kaum muslimin maka ketika itu terdapat banyak harta serta para tawanan yang didapatkan kaum muslimin. Di antara tawanan tersebut adalah Abul Ash ibn Rabi’. Kabar akan tertangkapnya suaminya sebagai tawanan kaum muslimin sampai kepada Zainab radhiyallahu ‘anha.
Rasa cinta dan kasih sayangnya yang besar kepada suaminya menjadikannya mengirimkan sebuah kalung pemberian ibundanya Khadijah radhiyallahu 'anha sebagai tebusan untuk membebaskan suaminya.
Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memeriksa tawanan, beliau melihat kalung tersebut dan tersentuhlah hati beliau. Dengan penuh rasa haru beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Jika kalian setuju untuk melepaskannya dan mengembalikan tebusan ini kepadanya, maka lakukanlah”. Para sahabat pun menyetujuinya. Mereka melepaskan Abul Ash dan mengembalikan kalung tersebut bersamanya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta Abul Ash untuk berjanji menceraikan Zainab istrinya karena sesungguhnya keislaman Zainab telah memisahkan mereka. Allah memisahkan para istri yang telah menjadi muslimah dari suami mereka yang masih dalam keadaan kafir. Maka kembalilah Abul Ash ke Makkah dengan berjanji akan mengembalikan Zainab kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika sampai ke Makkah, Zainab menyambutnya dengan gembira sebagai rasa syukur bahwa suami yang dikasihinya dapat kembali dengan selamat. Akan tetapi Abul Ash sebaliknya. Ia berkata kepada Zainab, “Aku datang kepadamu untuk menyampaikan perpisahan wahai Zainab. Sesungguhnya ayahmu telah memintaku agar mengembalikanmu kepadanya karena Islam telah memisahkan kita. Dan aku telah berjanji kepadanya untuk membiarkan engkau pergi, dan aku bukan orang yang senang membatalkan perjanjian”.
Lemas lunglai seakan seluruh tubuh Zainab. Tak terasa airmata mengalir di kedua pipinya. Bukan karena penolakan hati akan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Zainab paham bahwa keadaan ini suatu saat akan terjadi. Selamanya keimanan dan kekafiran tidak akan bisa bersatu. Kesedihannya adalah karena perpisahan dengan suami yang sebenarnya sangat dikasihinya, yang dengan sebab suaminya tersebut telah ada baginya anak-anak yang mereka cintai. Akan tetapi Zainab sadar benar bahwa tidak ada pilihan lain kecuali berpisah. Dan pilihan itu adalah pilihan yang terbaik untuknya karena sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Memang demikianlah seharusnya seorang mukmin bersikap. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Al Qur'an Surat Al Ahzab : 36
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡ ۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلًا مُّبِينًا ٣٦
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Maka Zainab radhiyallahu 'anha menjalankan perintah tersebut. Dia memilih kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada kecintaan kepada suami dan anak-anaknya. Zainab keluar dari Makkah dengan perpisahan yang mengharukan. Orang-orang Quraisy berusaha menghalangi dan menakutinya. Hingga di saat pertama kepergiannya dia mengalami keguguran dan pendarahan karena ketika itu dia dalam keadaan hamil. Akan tetapi Abul Ash tetap berusaha memenuhi janjinya kepada Rasulullah untuk mengembalikan Zainab. Hingga akhirnya dia bisa mengantarkan Zainab dan saudaranya yaitu Kinanah bin Rabi' ke tempat yang aman di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tak terasa waktu terus berlalu. Kurang lebih 6 tahun lamanya Zainab radhiyallahu 'anha berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Selama itu pula dia senantiasa berdoa memohon kepada Allah Ta'ala agar memberikan hidayah kepada Abul Ash untuk menerima Islam. Pada bulan Jumadil Ula tahun ke 6 hijriyah tanpa disangka Abul Ash mendatangi Zainab di Madinah. Rasa cinta dan kasih sayang yang ada di hati Zainab masih begitu besar sehingga awalnya dia ingin mendekati Abul Ash. Akan tetapi keimanan di dadanya menghentikannya untuk tidak melakukannya. Karena laki-laki yang ada di hadapannya tersebut telah terpisah darinya sebab kekafiran yang masih dipegangnya. Maka didengarnya penjelasan Abul Ash dengan hati-hati. Abul Ash menjelaskan bahwa dia datang ke Madinah tidak bermaksud untuk berperang. Dia dan rombongannya keluar untuk berdagang. Dia membawa barang-barang dagangan pribadinya dan juga barang-barang beberapa orang Quraisy. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka berjumpa pasukan Zaid Ibn Haritsah radhiyallahu 'anhu bersama sekitar 170 orang lainnya. Pasukan kaum muslimin tersebut menyerangnya dan mengambil harta yang dibawanya. Abul Ash berhasil melarikan diri dan kemudian datang kepada Zainab dengan diam-diam untuk bersembunyi dan memohon perlindungan kepadanya.
Zainab terdiam. Sekalipun laki-laki yang ada di hadapannya tersebut telah berpisah darinya, akan tetapi rasa sayang di hatinya tidak bisa dia sembunyikan. Maka ketika selesai shalat Fajar, Zainab radhiyallahu 'anha keluar dan berdiri sambil berteriak dengan suara yang keras, dia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul Ash ibn Rabi'”.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terkejut dan berkata kepada para sahabatnya, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Aku tidak mengetahui apapun hingga mendengar apa yang aku dengar. Sedangkan orang yang beriman adalah pelindung atas manusia yang lain walaupun ia seorang muslim biasa. Dan kami menjamin perlindungan bagi orang yang memberikan perlindungannya”. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Zainab dan berkata, “Muliakan tempat untuknya akan tetapi dia tidak boleh mendekatimu. Karena engkau tidak halal bagi dirinya”. Zainab kemudian meminta kepada ayahnya- shallallahu 'alaihi wa sallam agar kaum muslimin yang mengambil harta yang dibawa Abul Ash mau mengembalikan harta itu kepadanya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tempat para sahabatnya dan berkata, “Sesungguhnya keadaan laki-laki ini adalah sebagaimana yang kalian ketahui, dan kalian telah merampas hartanya. Jika kalian hendak berbuat baik dan mau mengembalikan harta tersebut kepadanya, maka kami menyukai yang seperti itu. (Akan tetapi) jika kalian enggan maka itu adalah harta yang didapat tanpa peperangan yang Allah karuniakan pada kalian maka kalian berhak atasnya”. Akhirnya para sahabat berkeputusan untuk mengembalikan semua harta Abul Ash tersebut seakan tidak ada yang hilang sedikitpun.
Kejadian itu begitu membekas di hati Abul Ash. Kemudian dia kembali ke Makkah dengan membawa seluruh barang dagangan yang dititipkan kepadanya bahkan beserta keuntungannya. Sebagai seorang yang terkenal keamanahan dan kejujurannya Abul Ash mengembalikan seluruh harta yang dititipkan kepadanya kepada yang berhak kemudian dia berdiri dan berbicara dengan suara yang lantang, “Wahai kaum Quraisy, masihkah ada harta salah seorang dari kalian yang ada di sisiku yang belum diambil?”. Maka mereka menjawab, “Tidak ada. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sesungguhnya kami mendapati engkau adalah seorang yang menepati janji lagi mulia”. Maka setelah itu Abul Ash berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk segera berislam kecuali aku khawatir kalian akan mengira aku ingin mengambil harta kalian. Maka ketika harta tersebut telah sampai kepada kalian dan aku telah menyelesaikan urusanku barulah aku masuk Islam”.
Setelahnya Abul Ash kembali ke Madinah dalam keadaan telah berislam. Zainab sangat bersyukur kepada Allah yang telah melapangkan dada Abul Ash untuk berislam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian mengembalikan Zainab radhiyallahu 'anha kepadanya. Rumah tangga mereka kembali bersatu dalam kebahagiaan sebagaimana sebelumnya pernah mereka rasakan.
Akan tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pendarahan yang dideritanya sejak berpisah dengan Abul Ash 6 tahun yang lalu terus dideritanya. Akhirnya pada permulaan tahun ke 8 Hijriyah Zainab radhiyallahu 'anha wafat disebabkan penyakit tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing pengurusan jenazahnya sehingga riwayat tentangnya menjadi panduan pengurusan jenazah bagi kaum muslimin.
Abul Ash sangat bersedih dengan peristiwa itu, akan tetapi dia berusaha untuk bersabar. Telah pergi seorang istri yang kasih dan sayangnya dengan izin Allah membawa suaminya kepada hidayah dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Pendamping hidup yang senantiasa mengiringi suaminya dengan doa-doa kebaikan. Mana mungkin dapat terlupakan semua kasih sayang tersebut sekalipun kematian telah memisahkan keduanya di dunia. Hanya sebuah doa agar Allah subhanahu wa ta'ala kembali menyatukan mereka berdua di tempat yang Allah ridhai yaitu di jannah-Nya yang penuh dengan segala kebaikan. Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 27 vol. 03 1436 H/ 2015M, rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa'.