Jika kita mendengar kata “ksatria” disebut, maka mungkin akan tergambar dalam benak kita sosok seorang laki-laki dengan jubah zirahnya, menunggangi kuda perangnya, lengkap dengan segala peralatan tempurnya. Ya… Lazimnya kata “ksatria” diberikan kepada kaum laki-laki. Akan tetapi akan lain halnya jika kita berbicara tentang sebuah perangai ksatria, maka apa sebenarnya perangai ksatria itu?....
Para ulama menjelaskan tentang perangai ksatria termasuk di antaranya adalah sifat pemberani, kuatnya ketahanan diri dalam memegang kebenaran, serta bersungguh-sungguh mencurahkan kemampuan diri dalam perkara kebaikan. Jika demikian maksud dari kalimat “perangai ksatria”, maka tidaklah suatu keharusan kata tersebut hanya bisa diberikan kepada kaum laki-laki. Bahkan bukan suatu perkara yang mustahil jika sifat atau perangai tersebut ada pada diri seorang wanita.
Kisah niswah kali ini adalah tentang seorang shahabiyah yang mempunyai perangai ksatria. Keberaniannya, ketegarannya dalam memegang al haq, serta kesungguhannya menjalani hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakatnya menggambarkan semua sifat yang telah tersebut di atas. Dia adalah Ummu Abdillah Asma binti Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anha.
Ayahnya adalah manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ibunya adalah Qutailah binti Abdul Uzza Al Amiriyyah. Abu Bakar Ash Shiddiq menceraikan Qutailah di masa jahiliyah, akan tetapi Asma turut bersama ayahnya. Di bawah bimbingan ayahnya Asma berislam dengan keislaman yang baik. Ia berusaha memegang dengan kokoh ajaran agamanya dan selalu berusaha mencari bimbingan dalam perkara yang dia hadapi. Salah satu bentuk kebaikan agamanya terlihat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yaitu ketika ibunya –Qutailah- mengunjunginya dalam keadaan tetap menyayanginya sedangkan ibunya masih musyrik (belum beragama Islam), maka ia meminta bimbingan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah boleh bagi dirinya tetap menyambung hubungan silaturrahmi kepada ibunya ketika ibunya mengunjunginya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkannya. Tentangnya Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ayat Al Quran Surat Al Mumtahanah : 8
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَـٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ٨
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Asma binti Abu Bakar adalah sosok wanita yang bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan rumah tangannya. Beberapa riwayat hadis dapat memberikan gambaran kepada kita tentang hal tersebut. Di antaranya adalah khidmatnya Asma kepada suaminya Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana yang beliau ceritakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Zubair bin Awwam menikahinya dalam keadaan tidak memiliki sesuatupun selain kuda, maka Asma binti Abu Bakar yang memberinya makanan, minuman, memelihara, dan merawat kuda tersebut. Beliau juga melakukan berbagai tugas lain dalam rumah tangganya. Pernah suatu ketika beliau memanggul biji-biji kurma di atas kepalanya dari tanah milik suaminya, pemberian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjarak kurang lebih 8 mil dari tempat kediamannya. Semua itu dia lakukan tanpa berkeluh kesah. Bahkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarinya untuk menaiki keledai beliau agar tidak kepayahan, Asma menolaknya karena teringat akan sifat suaminya yang pencemburu dan memungkinkan untuk tidak menyukai perkara tersebut. Subhanallah… Sungguh sebuah prilaku yang patut dijadikan contoh bagi setiap istri muslimah.
Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha juga memiliki sifat pemberani yang sangat besar bagi seorang wanita. Keberaniannya terlukiskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya yaitu ketika masa hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ayahnya Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menuju Madinah. Asma ketika itu belum dewasa. Akan tetapi dia sadar benar akan gentingnya keadaan saat itu.
Ketika orang-orang Quraisy merasa sangat geram akan keberhasilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kepungan mereka, maka mereka berusaha menekan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu untuk memberitahukan keberadaan Rasulullah. Setelah mereka tidak berhasil mendapatkan keterangan dari Ali, maka mereka menuju rumah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk mencari keterangan kembali. Mereka menjumpai Asma binti Abu Bakar akan tetapi gadis ini juga tidak mau memberitahukan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta ayahnya. Seakan tidak tersisa pada dirinya rasa takut kepada para musuh-musuh Allah tersebut. Yang ada hanya kesadaran diri bahwa menjaga rahasia tentang keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah lebih penting sekalipun harus mengorbankan jiwa dan keselamatannya.
Abu Jahal karena geram mengangkat tangannya dan menampar wajah Asma hingga terlepas anting-antingnya akan tetapi mereka tidak juga berhasil mendapat keterangan dari Asma. Allahu Akbar… Sungguh suatu keberanian yang tidak mudah dicari tandingannya. Di malam hari kepergian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Madinah, Asma datang ke gua dengan membawa perbekalan makanan untuk Rasulullah. Akan tetapi dia terlupa untuk membawakan tali pengikat perbekalan tersebut. Maka ketika Rasulullah sudah siap meneruskan perjalanannya, Asma bersegera melepas ikat pinggangnya (nithaq) kemudian dia merobeknya menjadi dua bagian. Satu bagian dia pergunakan untuk mengikat perbekalan tersebut, sedang yang satunya untuk kembali diikatkan ke pinggangnya. Karena peristiwa itulah dia dikenal dengan sebutan Dzatun Nithaqain (wanita yang memiliki dua ikat pinggang).
Tidak cukup sampai di sana keberanian Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha. Beliau didapati beberapa kali mengikuti peperangan di jalan Allah. Keadaan sebagai seorang wanita tidak membuatnya gentar terhadap musuh-musuh Allah. Sifat seperti inipun dia coba untuk diajarkannya kepada putranya Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma, seorang putranya tersebut menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Makkah dan sekitarnya sepeninggal Yazid bin Muawiyah. Pada masa pemerintahannya terjadi beberapa pemberontakan. Maka ketika anaknya menemuinya dalam rangka meminta nasihat di masa perseteruannya dengan Al Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafy (salah seorang pendukung Abdul Malik), maka Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha yang ketika itu telah lanjut usia, mendekati 100 tahun, berkata,
“Demi Allah, engkau lebih tahu terhadap dirimu sendiri wahai anakku. Jika engkau berada di atas kebenaran dan menyeru kepadanya maka lakukanlah. Sesungguhnya sahabat-sahabatmu telah terbunuh karenanya, dan anak-anak Bani Umayyah tidaklah bermain-main dengan lehermu. Tapi jika engkau (melakukannya) karena menginginkan dunia maka engkau adalah seburuk-buruknya seorang hamba, engkau (jika seperti itu) telah membinasakan dirimu sendiri dan orang-orang yang bersamamu.”
Ketika Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu merasa gentar dan khawatir akan dibunuh dan disiksa serta disalib jasadnya oleh para pemberontaknya (karena Al Hajaj terkenal dengan kekejamannya), maka Asma binti Abu Bakar berkata dengan penuh keberanian dan ketegaran berusaha menenangkan putranya,
“Wahai anakku, sesungguhnya seekor kambing tidak akan merasakan sakit ketika dikuliti setelah penyembelihannya. Maka berjalanlah di atas petunjuk (ilmu)mu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah.”
Kemudian Asma memeluk anaknya. Dan ketika dia mendapati pada diri putranya tertutupi oleh baju perang yang lengkap, maka ia berkata:
“Wahai Abdullah, apakah seperti ini perbuatan seseorang yang menginginkan mati syahid?”
Akhirnya Abdullah bin Zubair meninggalkan baju perangnya dan maju ke medan perang hingga mendapatkan syahid insya Allah. Beliau radhiyallahu ‘anhu terbunuh di tangan Al Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafy dan jasadnya disalib. Maka ketika Al Hajaj menemui Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha setelah terbunuhnya anaknya, ia berkata kepada Asma,
“Wahai ibuku, sesungguhnya amirul mukminin (maksudnya adalah Abdul Malik bin Marwan) menyuruhku untuk berbuat baik kepadamu maka apakah engkau mempunyai kebutuhan?”
Maka Asma menjawab dengan tegas,
“Aku bukanlah ibumu, aku adalah ibu seseorang yang telah disalib di atas pohon tinah, dan aku tidak mempunyai kebutuhan. Akan tetapi aku kabarkan kepadamu bahwa aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di Tsaqif akan muncul pendusta dan pembinasa, adapun pendusta telah kami ketahui, sedangkan pembinasa adalah engkau.”
Ketika Al Hajaj menanyakan pendapatnya tentang apa yang telah ia lakukan kepada Abdullah bin Zubair, Asma menjawab dengan tenang dan tegar,
“Engkau telah merusak dunianya, dan dia telah merusak akhiratmu.”
Subhanallah…. Sungguh ucapan-ucapan yang muncul adalah ucapan-ucapan yang tegar, penuh ketenangan dan keberanian yang besar. Tidak akan mungkin dapat muncul sikap dan ucapan yang seperti itu kecuali dari seseorang yang mempunyai kemantapan iman, keteguhan hati, kebesaran jiwa, dan keyakinan yang besar terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Suatu sikap dan ucapan-ucapan yang menunjukkan perangai kesatria. Ternyata terbukti bahwa perangai kesatria tidaklah mesti milik kaum laki-laki, akan tetapi dapat dimiliki oleh para wanita dengan keteguhan iman yang ada di dada-dada mereka.
Semoga Allah merahmati Asma binti Abu Bakar. Beliau wafat beberapa hari setelah wafatnya putranya Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Semoga Allah memudahkan kita para muslimah sepeninggalnya mengambil ibrah dan pelajaran dari kehidupannya yang penuh dengan kemuliaan… amin.
Referensi:
- Nisa’ Haular Rasul karya Musthafa Asy Sya’labi Mahmud Mahdi Al Istambuli
- Rahiqul Makhtum karya Syaikh Safiyurrahman Al Mubarakfury.
- Tarikh Khulafa karya Imam Suyuthi.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 31 vol.03 1436 H/ 2015 M, rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.
Baca pula:
Baca pula: