Seorang paman semestinya cinta dengan keponakan, tak ubahnya seorang ayah terhada putra-putrinya. Namun aneh tapi nyata, kemestian ini tidak ada dalam kamus hidup Abu Lahab. Ia justru tampil sebagai sosok yang sangat pembenci terhadap kemenakannya sendiri. Padahal, tidak ada insan yang lebih baik, jujur, dan lebih sempurna akhlaknya dari putra saudaranya, Abdullah bin Abdul Muthalib, ini.
Setelah Allah angkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan permusuhan dahsyat dari kaum musyrikin. Permusuhan ini datang baik dari kerabat sendiri ataupun dari kabilah lain. Di antara kerabat yang cukup getol menghalangi dakwah Nabi adalah pamannya, Abu Lahab.
Tiada hari tanpa mengganggu dan menyakiti. Barangkali, itulah motto hidupnya. Terus menerus dilancarkannya seolah tidak kenal berhenti. Islam yang diserukan Nabi ditentang dan dirintangi.
Benar-benar jahat Abu Lahab. Orang yang seharusnya dia bantu, dia bela, dan dia lindungi justru dihinakan dan didustakan.
Pembaca yang tercinta, Abu Lahab merupakan salah satu dari empat bersaudara. Mereka putra-putra dari kakek Nabi, Abdul Muthalib; Hamzah radhiyallahu ‘anhu, Al Abbas radhiyallahu ‘anhu, Abu Thalib, dan ia sendiri.
Keempat paman Nabi ini, semuanya menjumpai masa-masa Islam. Dua di antaranya, Hamzah dan Al Abbas pada akhirnya mendapat hidayah Allah. Hamzah masuk Islam pada tahun ke-6 (kenabian). Sedangkan Al Abbas masuk Islam setelah sempat menjadi tawanan dalam perang Badar Kubra pada tahun ke-2 (hijriah).
Abu Thalib terhalang dari hidayah dan meninggal sebagai penyembah berhala. Walaupun begitu pembelaannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah berarti. Sepeninggal kakek Abdul Muthalib, Abu Thaliblah yang berkhidmat dalam memelihara dan menjaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika diutus menjadi Nabi, maka Allah lindungi utusan-Nya dari jamahan orang-orang kafir Quraisy dengan keberadaan sang paman yang memang amat disegani di mata kaumnya ini. Nabi dapat bertahan kurang lebih 13 tahun berdakwah di Makkah dengan sebab perlindungan Abu Thalib.
Adapun Abu Lahab, celaka dan celaka nasibnya. Kebenaran yang dibawa Nabi didustakannya. Tali kekerabatan antara dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dipelihara, justru putus berserakan.
Oleh sebab itu, Allah mengecam keras tindakan Abu Lahab dan menetapkan untuk dirinya kerugian, kecelakaan, dan kesengsaraan yang tidak bakal berakhir.
Allah berfirman:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ ١
“Rugi dan celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh merugi dirinya.” Sedikit pun ia tidak akan beruntung.
مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ ٢
“Harta dan segala jerih payahnya tidaklah berguna untuknya.” Apa yang dimiliki tidak membantunya menjadi hamba Allah yang shalih, justru membuatnya bertindak semena-mena. Sedang hasil usahanya, tidak mampu menahan jatuhnya hukuman dan sanksi ilahi.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ ٣
“Dia akan masuk ke dalam neraka yang apinya bergejolak.” Api itu akan membakarnya dari segala sisi.
وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ ٤ فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ ٥
“Begitu pula istrinya, si pengusung kayu-kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” [Q.S. Al-Lahab:1-5]
Wanita ini juga turut serta memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyakitinya. Bahu-membahu bersama suaminya, mengerahkan segala usaha untuk menghalang-halangi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan sengitnya melancarkan permusuhan dan menebar kebencian di tengah manusia terhadap diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersama suami mengumpul-ngumpulkan dosa, seakan sedang menghimpun bahan bakar sebanyak-banyaknya, namun untuk membakar diri sendiri. Untuk membawa kayu bakar tersebut, ia telah siapkan pula tali-tali pengikat yang melingkar pada lehernya.
Pembaca yang saya cintai, ayat ini benar-benar bukti dari sekian banyak bukti akan kebenaran Rasul dan risalahnya. Kenapa? Sebab dalam surat ini, di samping terdapat doa kejelekan untuk Abu Lahab, juga berisi berita yang disampaikan dengan pasti bahwa keduanya akan disiksa dalam neraka yang apinya bergejolak sementara keduanya masih bernafas di dunia.
Tersirat dari berita ini, Abu Lahab dan istrinya tidak ada harapan lagi untuk menerima taufik menuju agama Islam. Alias pasti mati dalam keadaan kafir. Dan benarlah! Terjadilah seperti yang Allah beritakan. Maha Suci Allah, Yang Maha Tahu akan urusan gaib dan yang disaksikan bola mata. Abu Lahab pun benar-benar mati dalam keadaan kafir.
Saudara pembaca yang semoga mendapat taufik. Dari awal hingga akhir surat ini, Allah menyebutkan tentang nasib Abu Lahab. Dan memang ayat ini Allah turunkan dengan sebab ucapan Abu Lahab. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Al Bukhari, bahwa pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bat-ha. Lantas beliau naik bukit dan berseru dengan lantangnya, “Ya Shabahah.”
Seruan ini sangat akrab di kalangan Arab sebagai panggilan di pagi buta untuk bersiap-siap melanjutkan pertempuran, menyerang musuh, atau bersiaga menghadapi serangan mereka. Yang dituju dari seruan ini adalah seluruh penduduk kampung.
Panggilan serius dan tidak bisa disepelekan. Karena itulah, demi mendengar hal itu, penduduk Makkah dari kalangan Quraisy berduyun dan berkumpul mengitari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku kabarkan kepada kalian bahwa musuh telah bersiaga menyerang kalian pagi ini atau di senja hari, apakah kalian akan membenarkan ucapanku?”
“Tentu!” jawab mereka tanpa ragu.
“(Ketahuilah), sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang mengingatkan kalian akan siksaan yang sangat dahsyat di hari akhirat (bagi yang tidak beriman)!”
Dengan spontan Abu Lahab menyeletuk, “Sialan! Untuk sekedar urusan inikah kamu kumpulkan kami di sini?!”
“Cih! Celaka kamu!” lanjutnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kedua telapak tangan Abu Lahab nampak beradu. Seakan menyimbolkan rasa jengkel, murka, dan hati yang gemas. Sambil meluapkan rasa kesal ia berkata, “Ah, celaka kamu sepanjang hari-harimu! Apakah kamu kumpulkan kami.hanya untuk urusan begini.”
Itulah kelakuan dan ucapan Abu Lahab yang mempunyai nama asli Abdul Uzza. Orang-orang menjulukinya dengan Abu Lahab konon disebabkan wajahnya yang klimis.
Sebagai sisipan pelajaran bagi pembaca budiman, nama Abdul Uzza adalah nama yang dilarang dalam Islam dan tentulah dimurkai oleh Allah. Alasannya, nama ini menyiratkan penghambaan diri (‘abd) kepada selain Allah, yaitu kepada salah satu berhala mereka Al Uzza. Sama halnya dengan Abu Thalib yang punya nama asli Abdu Manaf.
Ternyata bukan hanya nama mereka berdua yang Allah murkai. Takdir Allah menetapkan bahwa diri mereka pun akhirnya menjadi orang yang dimurkai dikarenakan tidak mau masuk Islam dan tidak mau menjadi hamba Allah yang sesungguhnya, beribadah hanya kepada-Nya dan tidak berbuat syirik sedikit pun. Berbeda nasib mereka dengan dua paman nabi yang lain yang nama mereka adalah nama Islam, dan tidak ada unsur kesyirikan.
Imam Ahmad menyebutkan kisah dari Rabi’ah bin Abbad. Dahulu (di masa-masa awal kenabian) dia termasuk orang musyrik, lalu (di kemudian hari) masuk Islam. Rabi’ah berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah di masa jahiliah. Saat itu beliau berlalu di pasar Dzil Majaz. Beliau mengajak manusia untuk masuk Islam dan berseru, “Wahai manusia, ucapkanlah oleh kalian kalimat Laa ilaha illa Allah, pasti kalian akan beruntung!” Banyak manusia berkumpul mengerumuni beliau.
Aku melihat dia dikuntit oleh seorang lelaki yang berwajah klimis dan bermata juling. Rambutnya cukup gondrong hingga terjulur pada dua bahunya. Lelaki tadi mengatakan, “(Berhati-hatilah) darinya, dia murtad lagi penipu.”
Lelaki itu seakan sangat lengket dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemana pun beliau berjalan, dia selalu membuntuti. Aku bertanya-tanya siapa gerangan lelaki misterius itu. Ternyata dia adalah paman Rasulullah, Abu Lahab.”
Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Rabi’ah (yang menuturkan kisah ini dalam riwayat Ahmad) berkata, “Aku bersama ayahku menyaksikan Nabi tatkala beliau menghampiri semua kabilah. Aku perhatikan, ternyata di belakangnya ada seorang lelaki bermata juling, mukanya cukup cerah, rambutnya panjang sebahu.”
Rasulullah berdiri di kiblat dan berseru, “Wahai Bani Fulan, aku adalah utusan Allah untuk kalian. Aku mengajak kalian, beribadahlah kalian hanya kepada Allah! Tinggalkan segala macam dan segala bentuk kesyirikan! Berimanlah kepadaku! Dan biarkan aku berdakwah sehingga aku bisa menjalankan tugasku sebagai utusan-Nya.”
Selesai menyampaikan dakwah, giliran Abu Lahab angkat bicara dari balik punggung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Oi Bani Fulan kalian dengar bukan ucapannya?! Orang ini hanya ingin agar kalian meninggalkan Latta, ‘Uzza, dan agar jin-jin dari Bani Malik bin Uqaisy tidak sudi membela kalian. Setelah itu, kita disuruh memeluk ajarannya yang tidak lain kecuali ajaran mengada-ada dan menyesatkan. Jangan kalian gubris, jangan pula terbujuk dari seruannya!”
Bayangkanlah saudaraku! Seorang Rasul yang jujur. Dibenarkan semua ucapannya. Ketika berdakwah mengajak mereka kepada kebaikan, setiap kali menyeru mereka agar menghambakan diri kepada Ar Rahman dan berpaling dari menyembah syaithan, langsung dimentahkan sejadi-jadinya oleh pamannya sendiri. Subhanallah, sebuah ujian yang sangat dirasa berat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentunya. Oleh sebab itulah, Allah turunkan ayat ini. Berita azab bagi Abu Lahab, rahmat bagi umat, penghibur hati bagi Nabi, shalawatu Rabbi wa salamuhu ‘alaihi.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 12 vol 1 1434 H/ 2013 M rubrik Asbabun Nuzul. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini.