Beliau adalah ‘Utbah bin Ghazwan bin Al Harits bin Jabir bin Wahb Al Mazini dan ber-kuniah Abu Abdillah. Ada pula yang menyebutkan kuniah beliau adalah Abu Ghazwan. Beliau adalah sekutu Bani Naufal bin Abdi Manaf di masa jahiliah. Beliau termasuk sejumlah sahabat yang terdahulu berislam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah mengisahkan dalam sebuah pidatonya di kota Bashrah,
وَلَقَدْرَأَيْتُنِي سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، مَا لَنَا طَعَامٌ إِلَّا وَرَقُ الشَّجَرِ حَتَّى قَرِحَتْ أَشْدَاقُنَا
“Sungguh aku mendapati diriku adalah salah satu dari tujuh orang pertama yang berislam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah kami memiliki makanan selain daun-daun pepohonan hingga terluka sudut-sudut mulut kami.”
Lelaki yang berperawakan tinggi nan tampan ini adalah salah satu pemanah yang cakap dan ternama di antara para sahabat.
Saat kaum muslimin mendapatkan tekanan yang hebat dari musyrikin Mekah, ‘Utbah bin Ghazwan termasuk yang berhijrah ke Habasyah pada hijrah yang kedua. Ketika itu beliau berusia empat puluh tahun. Kemudian beliau kembali dari Habasyah sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah dan belum berhijrah ke Madinah. Selang beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Utbah bertolak ke Madinah bersama Al Miqdad bin Amr yang juga salah seorang As Sabiqun Al Awwalun. Dituturkan bahwa Khabbab, bekas budak Utbah, turut pula bersama mereka.
Awalnya, mereka keluar dari Mekah dengan mengikuti rombongan pasukan musyrikin yang tengah bergerak di bawah komando Ikrimah bin Abi Jahl. Hal itu mereka lakukan agar mudah mencapai Madinah. Saat berjumpa dengan pasukan muslimin yang dipimpin oleh Ubaidah bin Al Harits, Utbah dan Al Miqdad bergabung bersama mereka hingga tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Utbah dan Khabbab tinggal di rumah Abdullah bin Salamah Al Ajlani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan1 Utbah dengan Abu Dujanah.
Kemudian ‘Utbah ikut serta dalam perang Badar pada tahun dua Hijriah. Sehingga beliau termasuk Ahli Badar yang Allah berfirman kepada mereka dalam sebuah hadis Qudsi,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Berbuatlah sekehendak kalian. Karena sungguh Aku telah memberi ampunan kepada kalian.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Artinya, kesalahan-kesalahan yang akan mereka lakukan kala itu pasti Allah ampuni dengan sebab kebaikan mereka yang sangat besar, sekaligus kabar gembira bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang akan murtad dari Islam. Utbah pun turut serta dalam seluruh pertempuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Utbah turut andil dalam menaklukkan negeri Irak. Sang Khalifah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengutusnya untuk memerangi Persia yang kafir. Beliau berpesan kepadanya, “Wahai Utbah! Sesungguhnya aku akan mengirimmu untuk memerangi negeri Al Hirah. Semoga Allah mengalahkan mereka. Pergilah dengan keberkahan dari Allah! Dan bertakwalah kepada Allah segenap kemampuanmu! Ingatlah bahwa engkau akan memasuki wilayah musuh. Aku berharap Allah akan menolongmu dan menjagamu dari mereka. Aku telah mengirim pesan kepada Al Ala’ bin Al Hadhrami agar mengirimkan kepadamu Arfajah bin Hartsamah sebagai bantuan. Dia gigih melawan musuh dan sangat pandai bersiasat. Sehingga mintalah pertimbangan kepadanya! Ajaklah manusia kepada jalan Allah! Siapa saja yang memenuhi ajakanmu maka terimalah! Dan barang siapa enggan maka ambillah darinya jizyah yang dia serahkan dalam keadaan rendah dan hina! Jika menolak membayar jizyah maka perangilah tanpa kemurahan! Ajaklah berperang setiap kabilah Arab yang engkau lalui! Imbaulah mereka untuk berjihad! Jalanilah dengan sabar kesukaran dan penderitaan dalam menghadapi musuh! Dan bertakwalah kepada Rabb-mu!”
Dengan pertolongan Allah, beliau berhasil menaklukkan Al Ubullah. Lalu Sang Khalifah Umar menginstruksikan kepadanya untuk membangun kota Bashrah di wilayah tersebut, sekaligus mengangkatnya sebagai walikota Bashrah yang pertama. Dengan perintah sang khalifah pula beliau membangun Masjid Besar Bashrah. Beliau mengamanahkan pembuatan sketsa konstruksinya kepada Mihjan bin Al Adra. Masjid tersebut dibangun dengan bermaterial rotan.
Tak lama kemudian, ‘Utbah pergi untuk menunaikan ibadah haji. Dia memerintahkan Mujasyi bin Masud untuk melanjutkan misinya ke arah sungai Efrat dan menginstruksikan Al Mughirah bin Syubah agar menjadi imam salat di Bashrah. Sebelum tiba kembali di Bashrah dari safarnya beliau meninggal. Lalu Umar bin al-Khaththâb radhiyallahu ‘anhu mengukuhkan Al Mughirah sebagai wali Bashrah. ‘Utbah sempat mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dari jabatannya kepada Umar namun ditolak. Sehingga beliau pun berdoa, “Ya Allah! Janganlah Engkau kembalikan aku ke Bashrah!” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Mekah ke Bashrah beliau terjatuh dari tunggangannya dan meninggal di suatu tempat yang bernama Ma’din Bani Sulaim. Hal itu terjadi pada tahun tujuh belas hijriah2.
Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya satu hadis dari ‘Utbah bin Ghazwân. Hadis tersebut memuat pidato sarat hikmah yang beliau sampaikan saat menjabat sebagai wali Bashrah. Berikut arti dari pidato tersebut:
“Sesungguhnnya dunia telah mengumumkan akan kepergiannya dengan segera. Dan tidak akan tersisa darinya kecuali sedikit saja, bagaikan sedikit air minum yang tertinggal di dasar wadahnya yang hendak diteguk oleh pemiliknya. Dan sungguh kalian akan berpindah dari dunia menuju suatu negeri yang tiada akhirnya. Maka berpindahlah dengan sebaik-baik apa yang ada di hadapan kalian sekarang. Benar-benar telah diberitakan kepada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari bibir jahanam kemudian terus jatuh ke bawah selama tujuh puluh tahun belum mendapati dasarnya. Padahal, demi Allah, Jahanam akan terisi penuh. Apakah kalian heran? Dan sungguh telah dikabarkan kepada kami bahwa antara dua daun pintu di antara daun-daun pintu surga berjarak empat puluh tahun dan benar-benar akan datang suatu hari kapan tempat tersebut penuh sesak. Sungguh aku mendapati diriku adalah salah satu dari tujuh orang pertama yang berislam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah kami memiliki makanan selain daun-daun pepohonan hingga terluka sudut-sudut mulut kami. Aku memungut secarik kain lalu aku robek menjadi dua untukku dan untuk Sa’d bin Malik (yakni Sa’d bin Abi Waqqash, pent.). Setengahnya aku gunakan bersarung dan setengah yang lain Sa’d gunakan untuk bersarung. Lalu pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kami kecuali telah mejadi seorang amir di suatu wilayah. Sungguh-sungguh aku berlindung kepada Allah agar aku tidak menganggap diriku besar padahal kecil di sisi Allah.”
Wallâhu a’lamu bish-shawâb. [Ustadz Abu Haidar Harits]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 66 vol.06 1438H-2017M rubrik Figur.
1Di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan setiap orang dari golongan Muhajirin dengan satu orang dari Anshar untuk saling bersolidaritas dan saling mewarisi layaknya kerabat. Mereka berjumlah sembilan puluh orang, separuhnya dari Muhajirin dan separuh dari Anshar. Syariat ini terus berlaku hingga terjadinya perang Badar. Kemudian Allah menghapus hukum ini.
2Sebagian sejarawan Islam berpendapat bahwa ‘Utbah meninggal di Ar Rabadzah tahun tujuh belas hijriah. Sebagian berpendapat beliau meninggal tahun lima belas hijriah dalam usia 57 tahun di Madinah. Ada pula yang berpendapat beliau meninggal tahun beliau pertama kali membangun kota Bashrah. Wallâhu a’lam.