Berani berkata benar, berani mempertahankannya, dan berani menghadapi segala risiko yang menghadang, adalah sifat kesatria. Para pejuang yang gagah adalah pemberani dalam memeluk kebenaran. Lantang mengikrarkannya, tidak gentar terhadap musuh sekuat apapun. Mereka pun tidak akan goyah dengan tawaran dunia, ataupun rayuan cinta semu. Apalagi sekadar celaan atau gunjingan yang tidak langsung didengar.
Berani adalah sifat mulia lagi terpuji. Tentu maksudnya adalah berani yang terukur dengan barometer syariat. Berani yang terikat dengan kebenaran, bukan yang lainnya. Bukanlah berani, mereka yang lancang melanggar hukum Allah. Tidaklah disebut berani, mereka yang nekad menerjang batasan Allah. Karena hakikat keberanian mereka itu akan memgakibatkan kehancuran dan penyesalan yang tiada berakhir. Kalaupun hal itu disebut berani, maka berani yang tidak terpuji.
Berapa banyak manusia pemberani, namun pada perkara yang menyebabkan murka Allah. Salah kaprah dalam memaknai arti berani, latah dalam upaya membuktikan jati diri. Hanya untuk dikatakan berani oleh komunitasnya yang terbatas, akhirnya rela mengambil risiko kematian yang naas. Ngebut di jalan, menenggak narkoba, dan semacamnya. Ya, berani tanpa bimbingan syar’i hanya akan menjerumuskan pada kebinasaan diri.
Beranipun tidak identik dengan selalu garang. Berani pada tempatnya, santun dalam waktunya adalah sebuah hikmah bijak nan indah. Kenyataannya, tidak jarang orang yang sok berani atau tepatnya memaksakan diri untuk berani, kemudian kehilangan sifat lembutnya sama sekali. Mereka menerjemahkan berani sebagai sikap kaku tanpa kompromi. Sehingga keadaan seperti ini membentuk tabiat dan watak yang keras. Akhirnya, keluarga yang berhak mendapatkan kelembutan justru merasakan sikap arogan. Orang-orang lemah yang seharusnya mendapatkan pengayoman, justru seolah merasakan penindasan. Sekali lagi, berani harus terbingkai dalam tuntunan ilmu syar’i.
Keteladanan salaf dalam hal keberanian sangat melimpah. Bahkan seluruh kehidupan mereka penuh dengan nilai-nilai keberanian. Bisa jadi fisik mungkin lemah, namun jiwa mereka kuat. Kemampuan bisa jadi terbatas, namun mereka selalu bersandar kepada Dzat yang maha mampu atas segalanya. Itulah ilmu yang membuahkan iman. Keyakinan kokoh yang membuat tegap dan teguh dalam menghadang berbagai rintangan yang ingin menggeser keimanan. Inilah berani yang sesungguhnya.
Karena iman inilah, keberanian bukan hanya pada sebagian mereka. Bahkan hampir merata pada semua kalangan. Muda tua, laki-laki maupun wanita. Dalam lipatan kitab para ulama, termaktub biografi sosok wanita pemberani. Namanya begitu harum, terabadikan dalam berbagai karya fenomenal para ulama. Dalam kitab-kitab yang tersusun rapi, terjaga, dan tersimpan di perpustakaan kaum muslimin. Beliau adalah Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha, saudari manusia kedua dalam Islam ini setelah nabinya, Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Fathimah bintu Al Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza Al Quraisyiah Al Adawiyah adalah nama lengkap beliau. Sebagian mengatakan bahwa nama beliau adalah Umayyah. Ada yang mengatakan bernama Ramlah. Namun, yang paling masyhur adalah Fathimah. Adapun kuniyah beliau adalah Ummu Jamil. Beliau dipersunting oleh seorang shahabat yang mulia, yaitu Said bin Zaid Al Qurasyi radhiyallahu ‘anhu. Dari pernikahan ini, terlahirlah seorang putra bernama Abdurrahman.
Sungguh rumah tangga penuh berkah. Betapa tidak, sang nakhoda adalah seorang shahabat agung yang termasuk sepuluh pemetik janji surga dari lisan mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak masih hidup. Seiya sekata dalam iman, merajut bahagia dalam kedamaian. Terbukti, beliau dan suami tercinta termasuk yang awal masuk Islam. Saat Islam dan pemeluknya mendapat berbagai tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin. Namun, lihatlah keberanian yang berbalut iman! Semuanya terasa manis dan indah dalam keyakinan janji ilahi. Ya, inilah keimanan. Saudara! Cerminkanlah pada diri kita! Seberapa kesabaran kita saat didera ujian?! Kurang lebih seperti itulah kadar keimanan kita.
Pergi meninggalkan tanah kelahiran, menuju tempat asing jauh dari sanak keluarga, pekerjaan pun belum pasti, apalagi penghidupan yang layak. Itulah gambaran hijrah waktu itu. Beranikah Anda menerima tantangan ini? Bagi kita mungkin akan berfikir seribu kali untuk melakukannya. Bagaimana anak istri? Mau makan apa, nanti tinggal di mana? Dan berbagai pertimbangan dunia. Pertimbangan yang sejatinya menunjukkan kelemahan iman terhadap janji Allah dan Rasul-Nya. Namun lihat para shahabat! Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkannya. Termasuk yang awal berhijrah adalah Fathimah dan suaminya. Padahal mereka juga punya sanak keluarga, mereka juga butuh makan dan tempat tinggal. Ya, keimananlah yang membuat mereka berani mempertaruhkan berbagai kemungkinan. Keimanan membuat mereka berani melawan berbagai risiko yang menghadang.
Anda pasti kenal Umar. Siapakah yang tidak mengenal sosok pemberani ini?! Dalam cuplikan kisah menakjubkan berikut, kita akan melihat bahwa Fathimah pun mampu melawan keberanian Umar. Karena keberanian Fathimah adalah keberanian dalam iman. Kisah itu dituturkan sendiri oleh Umar. Beliau mengatakan, “Tiga hari setelah masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib, aku keluar rumah. Di jalan aku bertemu dengan seorang dari kabilah Makhzumi yang telah masuk Islam.” Orang itu satu kabilah dengan Umar. Umar melanjutkan, “Aku pun menegur orang tersebut. ‘Engkau telah keluar dari agama nenek moyang, dan mengikuti agama Muhammad?!’ Ia menjawab, ‘Apa yang telah aku lakukan ini, dilakukan pula oleh orang yang lebih besar haknya atasmu dari padaku.’ ‘Siapa dia?’ ‘Saudarimu dan suaminya.’ Demi mendengar hal itu, aku segera menuju rumah Fathimah. Sesampai di sana, ternyata pintu rumah dalam keadaan terkunci. Dari luar, aku mendengar sesuatu. Setelah pintu dibuka, aku masuk dan langsung bertanya, ‘Apa yang aku dengar tadi?’ Fathimah menjawab, ‘Engkau tidak mendengar sesuatupun.’ Aku memaksa bertanya lagi, namun Fathimah masih menutupi. Maka suara semakin meninggi. Maka aku pegang kepala Fathimah, kemudian aku pukul hingga berdarah.”
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa Umar memegang dan memukul kepala iparnya, yaitu Said bin Zaid. Kemudian Fathimah bangkit dari belakang dan memegang Umar. Fathimah mengatakan, “Awas! Hal ini akan menjadi sebab kehinaanmu!” Umar kembali berkisah, “Aku pun merasa malu melihat darah itu.” Umar menyesal telah melukai saudara sendiri. Umar meminta lembaran yang sebelumnya dibaca Fathimah dan suaminya. Tertulis di sana surat Al Haqqah ayat 30 sampai 52. Maka itulah saat keimanan muncul dalam hati Umar.
Subhanallah, keberanian Fathimah adalah di antara sebab masuk Islamnya Umar. Dengan gagah, Fathimah tetap kokoh mempertahankan imannya. Bahkan dengan keberaniannya Fathimah mengingatkan Umar. Suaranya keras dan lantang, tangannya pun tidak tinggal diam. Tidak peduli dengan Umar yang sejak lama terkenal dengan sikap kerasnya. Memang dengan iman, yang lemah akan menjadi kuat. Yang sedih akan berbahagia. Yang tertindas pun menjadi mulia.
Diriwayatkan bahwa Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha pernah menyampaikan sebuah hadis yang beliau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Senantiasa umatku akan berada dalam kebaikan selama tidak tampak pada mereka cinta dunia pada ulama yang fasik, para pembaca Al Quran yang hakikatnya jahil, serta para penguasa yang lalim. Apabila hal ini muncul, aku khawatir Allah akan meratakan azab-Nya.”
Keberanian Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha adalah keteladanan dalam membela dan mewujudkan kebenaran. Tidak surut mundur walau berbagai halang rintang menghadang. Terbukti bahwa sifat lemah pada wanita bukanlah bermakna rela terhina. Keberadaan wanita di dalam rumah bukanlah maksudnya terkungkung dalam kebatilan. Namun, mereka harus memiliki jiwa pemberani dalam meraih kebenaran. Ya, berani yang terbimbing dengan ilmu dan iman. Allahu A’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 52 vol.05 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Ustadz Abu Muhammad Farhan.