Dua nukilan yang penting dalam masalah ini:
1. Al-Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan di dalam kitab beliau yang agung, Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah, dalam rangka membantah ucapan sebagian mereka di dalam bab ru`yah (melihat Allah), yaitu “Sesungguhnya kami tidak mau menerima atsar (riwayat) ini dan tidak mau menjadikannya sebagai argumen.”
Lalu beliau membantahnya dengan ucapan:
Aku katakan: Baik, berarti kalian tidak mau menerima pula kitab Allah. Apa pendapat kalian jika kalian tidak mau menerimanya? Apakah kalian ragu bahwa itu juga diriwayatkan dari salaf dan tersebar di tengah-tengah mereka? Mereka saling mewariskannya dari orang-orang yang paling alim dan fakih, generasi demi generasi. Mereka menjawab: Iya (kami menerimanya).
Kami katakan: Maka, cukuplah bagi kita pengakuan kalian terhadapnya. Itu sebagai bukti untuk kalian terhadap pernyataan kami bahwa ru`yah (melihat Allah) merupakan hal yang masyhur dan teriwayatkan. Para ulama dan fukaha saling meriwayatkan. Maka, kalian datangkanlah semisal itu dari mereka sebagai bukti atas pernyataan kalian yang mana kalian telah mendustakan semua riwayat. Niscaya kalian tidak akan mampu mendatangkan walaupun satu kabar atau satu riwayat pun. Kalian pun telah mengetahui, insya Allah, bahwa sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, hukum-hukum mereka, dan ketetapan-ketetapan mereka, tidak bisa sampai kecuali melalui atsar (riwayat) dan sanad-sanad ini sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang ada padanya. Dan atsar (riwayat) adalah sebab yang mengantarkan kepada sunah dan jalan yang dilalui oleh kaum muslimin. Dan riwayat hadis adalah pemimpin dalam agama mereka setelah kitab Allah azza wajalla. Dari riwayat itu, mereka mencari ilmu. Dengan riwayat itu, mereka menetapkan hukum. Dengan riwayat itu, mereka menegakkan peribadahan. Dengan riwayat itu, mereka bertopang. Dan dengan riwayat itu, mereka berhias. Orang-orang awal mewariskan riwayat kepada orang-orang belakangan. Orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir dalam rangka berargumen dengannya dan berharap pahala dengan menyampaikannya kepada orang yang mendengarnya. Mereka menamakannya: sunah, atsar, fikih, dan ilmu. Mereka mencarinya dengan menempuh ke timur dan barat bumi ini. Mereka menghalalkan dengannya apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan. Mereka membedakan dengannya antara yang hak dan yang batil, antara sunah dan bidah. Mereka mengambilnya sebagai dalil untuk menafsirkan Alquran, makna-maknanya, dan hukum-hukumnya. Mereka juga mengenali dengannya kesesatan orang yang telah tersesat dari petunjuk. Siapa saja yang membencinya, maka ia hanyalah membenci riwayat salaf dan petunjuk mereka, serta menginginkan untuk menyelisihi mereka. Tujuannya adalah agar dia bisa menjadikan agamanya sebagai hawa nafsunya dan agar menafsirkan kitab Allah dengan pendapatnya yang menyelisihi yang Allah maksudkan.
Jika kalian termasuk kaum mukminin dan di atas jalan salaf mereka, maka carilah ilmu dari riwayat-riwayat mereka. Dan carilah petunjuk dari jalan mereka. Ridailah riwayat ini sebagai pemimpin sebagaimana kaum (salaf) telah meridai riwayat ini sebagai pemimpin bagi diri mereka. Sungguh, engkau tidaklah lebih mengetahui kitab Allah daripada mereka, tidak pula engkau sebanding dengan mereka. Dan tidak mungkin bisa mencontoh mereka kecuali dengan mengikuti atsar ini sesuai yang telah diriwayatkan. Maka, siapa saja yang tidak mau menerimanya, maka berarti ia ingin mengikuti selain jalan kaum mukminin. Allah taala berfirman,
وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا
“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 115).
2. Al-Imam Ibnu Qudamah berkata di dalam kitab Dzamm At-Ta`wil:
Maka, telah pasti kewajiban mengikuti salaf—semoga Allah merahmati mereka—berdasarkan Alquran, sunah, kesepakatan, dan ibrah (pelajaran) yang menunjukkannya. Karena salaf pasti ada yang benar dan ada yang salah. Jika mereka benar, maka wajib mengikuti mereka karena mengikuti kebenaran adalah wajib dan mengikuti kesalahan dalam hal keyakinan adalah haram. Dan karena apabila mereka benar, berarti mereka di atas jalan yang lurus dan menyelisihi mereka berarti mengikuti jalan setan yang menunjukkan jalan ke neraka. Allah telah memerintahkan untuk mengikuti jalan-Nya dan melarang dari mengikuti jalan selainnya. Allah berfirman,
وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153).
Dan jika ada orang yang menyatakan bahwa mereka (para salaf) itu adalah orang-orang yang keliru, maka ia telah mencela hak Islam seluruhnya. Karena jika mereka bisa salah dalam hal ini, maka mereka juga bisa salah dalam hal lainnya dari ajaran Islam seluruhnya. Dan selayaknya tidak menukilkan kabar-kabar yang mereka nukilkan dan tidak boleh menetapkan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka riwayatkan. Akibatnya, riwayat menjadi batal dan syariat menjadi sirna. Maka, tidak boleh bagi seorang muslim pun untuk mengucapkan ini dan tidak boleh meyakininya.
Sebagaimana yang telah aku katakan: Dalil-dalil sangat banyak.