Termasuk shahabat yang memiliki banyak keutamaan. Dari lisan beliau, muncul samudra hikmah yang begitu luas dan dalam. Tak secuil pun harta benda dunia yang mampu menggodanya dari negeri akhirat. Bahkan perniagaan yang sebelumnya beliau geluti, dilepaskan demi mengejar ketertinggalan dalam beroleh hidayah Islam. Siapakah beliau?
Beliaulah ‘Uwaimir bin Qais bin Zaid. Sebagian berpendapat bahwa nama beliau ‘Uwaimir bin Tsa’labah bin Amir bin Zaid bin Qais bin Umayyah. Termasuk dari kaum Anshar dari kabilah Khazraj, beliau dikenal dengan nama kunyah Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, seorang shahabat Nabi yang mulia.
Ibunda beliau adalah Mahabbah binti Waqid bin Amr bin Al Ithnabah bin Amir, di lain pendapat bernama Waqidah bintu Waqid.
Abu Darda termasuk orang Anshar yang paling akhir memeluk Islam. Tepatnya setelah terjadinya perang Badar Kubra. Sebagian berpendapat beliau masuk Islam setelah perang Uhud. Namun, yang kuat adalah pendapat bahwa beliau masuk Islam setelah perang Badar, kemudian mengikuti perang Uhud bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mendapatkan pujian dalam perang tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau pada perang Uhud, “Sebaik-baik penunggang kuda adalah ‘Uwaimir (Abu Darda’).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan beliau dengan Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Abu Darda’ adalah seorang ahli hikmah, berilmu, dan banyak memiliki keutamaan. Keutamaan ini pun diakui oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi tabiin setelahnya.
Abu Idris Al Khaulani dari Yazid bin Umairah berkata, “Tatkala Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu menghadapi kematian, beliau berwasiat, ‘Carilah ilmu kepada empat orang; ‘Uwaimir Abu Darda’, Salman Al Farisi, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Salam’.” [H.R. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani dalam Al Misykah].
Seorang ulama tabiin terkemuka, Masruq rahimahullah pernah mengatakan, “Aku belajar kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku dapatkan bahwa ilmu mereka terkumpul pada 6 orang; Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Muadz, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit.”
Al Qasim bin Abdurrahman bin Abu Bakar, seorang pemuka ulama di kalangan tabiin juga pernah memuji beliau, “Abu Darda’ termasuk orang-orang yang dikaruniai ilmu.”
Beliau dikenal sebagai shahabat yang cerdas. Dalam memberi nasihat, beliau senantiasa mengiringkan antara ucapan dengan perbuatan. Beliau bahkan menjalani hidup sebagai seorang yang wara’, menjauhi kehidupan duniawi, dan lebih mementingkan ibadah. Ya. Beliau adalah seorang shahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi shahabat lainnya, juga generasi Islam selanjutnya.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah memuji beliau, “Sampaikan kepada kami (berita) dari dua orang yang cerdas!” Lalu mereka menjawab, “Wahai Ibnu Umar, siapakah dua orang yang cerdas itu?” Ibnu Umar berkata, “Mu’adz dan Abu Darda’.”
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Abu Darda’ pernah diangkat oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu sebagai hakim di wilayah Damaskus, saat kekhalifahan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Beliau juga termasuk salah satu tokoh ahli qira’ah. Di antara para shahabat, tidak ada yang menghafal Al-Qur’an secara sempurna pada masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. Termasuk di antaranya adalah Abu Darda’, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai beliau.
Beliau meriwayatkan dari Rasulullah, juga menimba hadits dari para shahabat lainnya seperti; Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abu Umamah, Fudhalah bin Ubaid. Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: Bilal anak beliau, Ummu Darda’, Abu Idris Al Khaulani, Suwaid bin Ghaflah, Jubair bin Nufair, Zaid bin Wahab, Alqamah bin Qais, dan yang lainnya.
Beliaulah ‘Uwaimir bin Qais bin Zaid. Sebagian berpendapat bahwa nama beliau ‘Uwaimir bin Tsa’labah bin Amir bin Zaid bin Qais bin Umayyah. Termasuk dari kaum Anshar dari kabilah Khazraj, beliau dikenal dengan nama kunyah Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, seorang shahabat Nabi yang mulia.
Ibunda beliau adalah Mahabbah binti Waqid bin Amr bin Al Ithnabah bin Amir, di lain pendapat bernama Waqidah bintu Waqid.
Abu Darda termasuk orang Anshar yang paling akhir memeluk Islam. Tepatnya setelah terjadinya perang Badar Kubra. Sebagian berpendapat beliau masuk Islam setelah perang Uhud. Namun, yang kuat adalah pendapat bahwa beliau masuk Islam setelah perang Badar, kemudian mengikuti perang Uhud bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mendapatkan pujian dalam perang tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau pada perang Uhud, “Sebaik-baik penunggang kuda adalah ‘Uwaimir (Abu Darda’).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan beliau dengan Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Abu Darda’ adalah seorang ahli hikmah, berilmu, dan banyak memiliki keutamaan. Keutamaan ini pun diakui oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi tabiin setelahnya.
Abu Idris Al Khaulani dari Yazid bin Umairah berkata, “Tatkala Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu menghadapi kematian, beliau berwasiat, ‘Carilah ilmu kepada empat orang; ‘Uwaimir Abu Darda’, Salman Al Farisi, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Salam’.” [H.R. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani dalam Al Misykah].
Seorang ulama tabiin terkemuka, Masruq rahimahullah pernah mengatakan, “Aku belajar kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku dapatkan bahwa ilmu mereka terkumpul pada 6 orang; Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Muadz, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit.”
Al Qasim bin Abdurrahman bin Abu Bakar, seorang pemuka ulama di kalangan tabiin juga pernah memuji beliau, “Abu Darda’ termasuk orang-orang yang dikaruniai ilmu.”
Beliau dikenal sebagai shahabat yang cerdas. Dalam memberi nasihat, beliau senantiasa mengiringkan antara ucapan dengan perbuatan. Beliau bahkan menjalani hidup sebagai seorang yang wara’, menjauhi kehidupan duniawi, dan lebih mementingkan ibadah. Ya. Beliau adalah seorang shahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi shahabat lainnya, juga generasi Islam selanjutnya.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah memuji beliau, “Sampaikan kepada kami (berita) dari dua orang yang cerdas!” Lalu mereka menjawab, “Wahai Ibnu Umar, siapakah dua orang yang cerdas itu?” Ibnu Umar berkata, “Mu’adz dan Abu Darda’.”
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Abu Darda’ pernah diangkat oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu sebagai hakim di wilayah Damaskus, saat kekhalifahan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Beliau juga termasuk salah satu tokoh ahli qira’ah. Di antara para shahabat, tidak ada yang menghafal Al-Qur’an secara sempurna pada masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. Termasuk di antaranya adalah Abu Darda’, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai beliau.
Beliau meriwayatkan dari Rasulullah, juga menimba hadits dari para shahabat lainnya seperti; Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abu Umamah, Fudhalah bin Ubaid. Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: Bilal anak beliau, Ummu Darda’, Abu Idris Al Khaulani, Suwaid bin Ghaflah, Jubair bin Nufair, Zaid bin Wahab, Alqamah bin Qais, dan yang lainnya.
WAFAT BELIAU
Pada tahun antara 31 atau 32 hijriyah di Damaskus, dua tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan Utsman, Abu Darda’ dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Di tahun ini pulalah Ka’ab Al Akhbar meninggal. Sebagian pendapat menyatakan bahwa beliau meninggal setelah perang shiffin di tahun 38 atau 39 hijriyah. Semoga Allah meridhai beliau. [Hammam].
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 27 vol.03 1434H-2013M, rubrik Figur.