Cari Blog Ini

Tafsir Al-Quran Al ‘Azhim

Di kurun ke-7 hijriyah, kaum muslimin patut bersuka cita dengan munculnya sebuah kitab tafsir yang begitu agung nilainya. Dengan metodologi penafsiran yang akurat yang mengacu kepada dalil, menjadikan kitab ini sebagai salah satu rujukan yang diturunkan untuk mereka. Sebuah karunia yang mulia di atas anugerah yang besar.

Inilah kitab tafsir yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka. Seorang ulama yang sangat masyhur di tengah-tengah umat. Beliaulah Ibnu Katsir. Sosok ulama yang telah meninggalkan karya yang sangat bermanfaat. Sebuah sumbang sih besar, bentuk tanggung jawab ilmiah yang harus disampaikan kepada umat. Beliau telah menunaikan amanah ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalasi beliau dengan pahala yang berlipat.

Nama kitab tafsir ini adalah “Tafsir Al Quran Al Azhim.” Ditulis oleh Abul Fidâ’ Imaduddin Isma’il bin Syaikh Abi Hafsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dha`i bin Katsir bin Zarâ` Al Qurasyi Al Bashri Al-Damasyqi Al Faqih Asy Syafii. Beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir. Oleh karenanya, kitab ini pun lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir.

Metode penulisan dalam kitab tafsir ini telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar dan tolok ukur dalam pembelajaran. Yaitu metode memahami dalil dengan dalil yang lain, atau hadits, atau penjelasan pada salafush shalih, terutama shahabat dan murid-murid mereka. Karena para shahabat menyaksikan turunnya Al Quran, bahkan dibimbing langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga pemahaman dan pengamalan mereka tentu yang paling benar.

Ibnu Katsir sendiri telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya. Tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat. Bahkan hampir seluruh hadits periwayatan Imam Ahmad yang terdapat dalam kitab Al-Musnad tercantum dalam kitab tafsir ini. Sungguh, suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan, disampaikan oleh Imam As Suyuthi mengenai tafsir Ibnu Katsir, “lam yu’allaf ‘ala namthihi mitsluhu”, “belum ditulis dengan metode ini yang sekelas dengannya.”

Tafsir Ibnu Katsir bukan hanya ilmiah, namun juga kaya dengan referensi yang sulit didapatkan dalam kitab lain. Bahkan, beberapa jenis referensi sekarang sudah tidak ada atau sangat sulit dicari. Ibnu Katsir mengambil referensi untuk karyanya ini dari berbagai disiplin ilmu. Baik itu tafsir, ilmu ushul tafsir, hadits, ilmu ushul hadits, lughah, fiqih, ushul fiqih, sirah, bahkan geografi. Beliau juga menyebutkan beberapa aturan bahasa, I’rab, nahwu, dan aspek balaghah (keindahan dan ketinggian bahasa Arab). Sehingga, hal ini membantu dan memudahkan pembaca untuk memahami ayat dengan benar.

Metode Ibnu Katsir dalam menafsiri Al Quran merupakan sekian dari metodologi ideal yang banyak digunakan dalam bidang tafsir. Menurut beliau, metodologi yang tepat dalam menafsirkan Al Quran adalah:
  1. Tafsir ayat dengan ayat. Misalnya ayat Al Quran yang terpisah, beda surat, namun berbicara tentang topik yang sama. Demikian pula ayat yang besifat umum pembicaraannya, kemudian pada ayat lain disebut secara terperinci. Atau ayat yang hukumnya terhapus dengan ayat yang lainnya (nasikh dan mansukh). Inilah jalan pertama yang ditempuh oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat.
  2. Menafsirkan ayat dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu yang menjelaskan ayat yang bersifat umum. As Sunnah sendiri adalah wahyu Allah yang merupakan sumber hukum dalam Islam. Oleh karenanya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan hasil pemahaman dari Al Quran.” Makanya, dalam kitab tafsir ini kita akan banyak menjumpai nukilan-nukilan beliau tentang tafsir ayat dengan menyebutkan banyak hadits beserta sanadnya (rantai riwayatnya). Beliau juga menyebutkan derajat suatu hadits dan merajihkan atau melemahkan atsar-atsar tersebut. Karena, selain terkenal sebagai ulama ahli tafsir, beliau juga terkenal mumpuni dalam hal hadits.
  3. Fatwa para shahabat. Bila dalam Al Quran dan As sunnah tidak ditemukan dalil dan pembahasannya, maka dapat dicari dari ucapan dan pendapat para shahabat. Hal ini dikarenakan Al Quran dan As Sunnah turun kepada mereka, mereka juga mengetahui sebab turunnya surat dan ayat, kapan diturunkan, kepada siapa ditujukan. Oleh karenanya, para shahabat lebih mengetahui makna dan tafsir Al Quran.
  4. Referensi dari generasi Tabi’in. Hal ini ditempuh apabila tidak ditemukan tafsir dalam Al Quran, As Sunnah, dan pendapat shahabat. Karena, para tabiin adalah murid langsung shahabat. Sehingga kapasitas keilmuan mereka pun tidak disangsikan. Oleh sebab itulah banyak ulama yang merujuk kepada penafsiran mereka. Misalnya Mujahid bin Jabr rahimahullah. Beliau adalah murid ahli tafsir shahabat, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkali-kali menkhatamkan tafsir Al Quran di hadapan gurunya, Ibnu Abbas. Karenanya, Imam Sufyan bin Said Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Apabila datang penafsiran dari Mujahid maka cukup bagimu.”

Adapun metode tafsir yang hanya berdasar kepada akal semata, kita tidak akan menemukannya dalam kitab tafsir ini. Sebab, dalam memahami agama, seseorang dituntut untuk merujuk kepada dalil yang bersumber dari wahyu.

ISRAILIYAT


Israiliyat adalah berita yang dinukil dari Bani Israil. Ibnu Katsir membagi berita israiliyat menjadi tiga jenis:

Pertama, berita yang bersumber dari riwayat yang shahih. Maka kita pun harus meyakininya. Yaitu riwayat yang bersumber dari Al Quran ataupun hadits yang shahih.

Kedua, riwayat yang bertentangan dengan Islam. Bila ada, maka kita wajib menolaknya. Karena berarti riwayat ini adalah dusta.

Ketiga, riwayat yang tidak disebutkan dalam syariat, tentang benar atau tidaknya. Jenis ketiga ini menuntut sikap untuk tidak sepenuhnya percaya, tidak pula mendustakannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Kabarkanlah tentang Bani Israil, dan tidak berdosa bagi kalian.” [H.R. Ahmad dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ash Shahihah]. Dan hadits lain, “Janganlah kalian membenarkan mereka, jangan pula mendustakan mereka.” [H.R. Abu Dawud dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ash Shahihah].

Oleh karenanya, kita dapati dalam kitab tafsir beliau terdapat riwayat Israiliyat, beserta penjelasan beliau terhadap riwayat tersebut dan maknanya. Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 4 vol.01 1434H/2013M rubrik Maktabah. Pemateri: Ustadz Abu Abdirrahman Hammam.