Cari Blog Ini

Ar Rabi’ Bin Khutsaim

Murid Kesayangan Ibnu Mas’ud


Ulama besar tabi’in ini merupakan salah seorang muridnya shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Bahkan beliau disebut-sebut sebagai murid Abdullah bin Mas’ud yang paling banyak meneladani sifat dan akhlaknya. Beliau termasuk murid kesayangan Abdullah bin Mas’ud karena nampak adanya kekuatan ibadah dan kezuhudan yang sangat tinggi pada muridnya tersebut.

Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila Ar-Rabi’ bin Khutsaim masuk menemui Ibnu Mas’ud, maka tidak seorang pun diizinkan untuk masuk, sebelum Ar-Rabi’ menyelesaikan keperluannya.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Wahai Abu Yazid, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, tentulah beliau mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku selalu teringat kepada mukhbitin (orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).”

Adz-Dzahabi mengomentari ucapan ini, “Sungguh pengakuan dari Abdullah bin Mas’ud ini merupakan sebuah keutamaan tersendiri bagi Ar-Rabi’.”

Ar-Rabi’ juga memiliki ketakwaan dan kesederhanaan yang jarang bisa dilakukan oleh ulama di masanya. Bahkan, ia terkenal sebagai salah satu dari delapan ulama yang sangat zuhud di masanya. Ulama yang bernama lengkap Ar-Rabi’ bin Khutsaim bin ‘Aidz ini berasal dari kabilah Mudhar dan kuniahnya adalah Abu Yazid. Secara silsilah, nasabnya bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakeknya, yaitu Ilyas bin Mudhar. Memang sejak kecil beliau tumbuh dan terkondisi dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala Sebuah keutamaan yang jarang dijumpai. Beliau pun menjadi seorang imam dan suri teladan dalam ketekunan ibadah dan kezuhudan. Kisah berikut ini menjadi salah satu bukti besarnya semangat Ar-Rabi’ bin Khutsaim dalam beribadah.

Pernah suatu ketika Ar-Rabi’ mendengar azan Zhuhur dikumandangkan. Waktu itu beliau dalam keadaan sakit cukup parah. Maka ia mengatakan kepada putranya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Maka putranya meminta bantuan tamu yang berkunjung saat itu untuk memapahnya ke masjid. Melihat hal itu, maka murid-murid Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Anda memiliki keringanan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah.” Ia pun menjawab, “Memang benar, namun aku mendengar seruan hayya ‘alas shalah (marilah menuju shalat). Barang siapa mendengar seruan tersebut maka hendaknya mendatanginya jika mampu meski harus dengan merangkak.”

Ar-Rabi’ bin Khutsaim menjumpai zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun belum pernah berjumpa secara langsung. Beliau pernah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub Al-Anshari, dan Amr bin Maimun. Beliau termasuk perawi yang sedikit meriwayatkan hadits, namun memiliki kedudukan yang mulia dalam pandangan para ulama. Banyak para ulama besar yang meriwayatkan dari beliau semisal Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Hilal bin Yasaf dan yang lainnya.

Nasihat dan petuah dari Ar-Rabi’ sangat dinanti-nanti oleh siapa saja yang berkunjung ke rumahnya. Mundzir Ats-Tsauri menuturkan bahwa setiap kali ada seseorang bertanya kepada Ar-Rabi’, maka di antara nasihat yang ia sampaikan adalah, “Kalian tidak mengikuti kebenaran dengan sebenar-benarnya. Kalian tidak pula lari dari keburukan dengan sebenar-benarnya. Tidak semua yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian ketahui. Tidak juga kalian mengetahui semua (ayat Al-Qur’an) yang kalian baca. Semua rahasia kalian yang tersembunyi di mata manusia adalah sesuatu yang nampak bagi Allah. Maka carilah obat penyembuh untuk rahasia-rahasia tersebut, dan tidak ada obat penyembuhnya melainkan bertaubat dan tidak mengulanginya.”

Hilal bin Yasaf pernah menuturkan bahwa ia kedatangan seorang tamu yang bernama Mundzir Ats-Tsauri, “Maukah aku antar engkau kepada seorang syaikh untuk bisa menambah keimanan meskipun hanya sesaat?” Ia pun menjawab, “Baiklah kalau begitu. Demi Allah, tidak ada yang mendorongku untuk datang ke Kufah melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu. Namun aku dengar beliau sedang sakit sehingga tidak bisa keluar rumah dan menerima tamu.” Hilal menjawab, “Memang demikianlah orang-orang Kufah mengenalnya, meskipun sedang sakit maka hal itu tidak mengubahnya sedikit pun.” Mundzir kembali bertanya, “Kita tahu bahwa syaikh itu mempunyai perasaan yang halus, apakah kita mendahului pembicaraan atau kita diam saja menunggunya bicara?” Hilal berkata, “Andaikan engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun, niscaya ia tidak akan berbicara sepatah kata pun kecuali jika engkau memulai pembicaraan. Karena ia menjadikan ucapannya sebagai dzikir dan diamnya untuk berpikir.” Mundzir berkata, “Jika demikian, marilah kita mendatanginya dengan barakah Allah.” Maka pergilah keduanya menemuinya Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Setibanya di hadapannya, keduanya mengucapkan salam dan bertanya tentang keadaannya. Ia pun menjawab, “Dalam keadaan lemah, bergelimang dosa, memakan rejeki-Nya, dan menanti ajalnya.” Tatkala mereka tengah berbincang-bincang, Ar-Rabi’ berkata kepada keluarganya, “Buatkanlah roti untukku.” Selama ini beliau hampir-hampir tidak pernah meminta sesuatu kepada keluarganya. Maka dibuatlah roti untuk beliau dan setelah selesai roti pun siap dihidangkan. Saat putranya membawa roti tersebut kepada Ar-Rabi’, tiba-tiba terdengar ada seseorang mengetuk pintu rumah. Setelah dibukakan, ternyata dia adalah seorang budak yang gila. Ar-Rabi’ pun mengisyaratkan supaya roti itu diberikan kepada peminta-minta tersebut. Orang itu langsung memakannya dengan lahap dan air liur pun mengalir dari mulutnya. Nampak adanya kekecewaan pada raut muka wajah putranya. Dia berkata, “Semoga Allah merahmati ayah, ibu telah bersusah payah membuat roti itu untuk ayah. Namun roti itu justru diberikan kepada orang yang tidak tahu apa yang dia makan.” Ar-Rabi’ menjawab, “Wahai putraku, jika dia tidak tahu apa yang dimakan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” Kemudian beliau membaca ayat
لَن تَنَالُوا۟ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىۡءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Kalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [Q.S. Ali Imran: 92]

Ibrahim At-Taimi berkisah bahwa salah seorang teman Ar-Rabi’ menyatakan, “Selama dua puluh tahun aku belum pernah melihat Ar-Rabi’ mengucapkan suatu perkataan melainkan perkataan yang naik (ke atas langit).” Maksudnya adalah beliau tidak membicarakan kecuali perkataan yang baik karena itulah yang akan naik ke atas langit dan diberi balasan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal-amal shalih dinaikkannya.” [Q.S. Fathir: 10]. Ibrahim At-Taimi rahimahullah juga mengatakan, “Sahabat Ar-Rabi’ yang pernah menemaninya selama satu tahun belum pernah mendengar kata-kata tercela yang keluar dari lisannya.”

Khauf (rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala) yang ada pada diri beliau sangat tinggi, Abu Wa`il berkisah, “Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan bersama Abdullah bin Mas’ud dan termasuk di antaranya Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Saat itu kami melewati seorang pandai besi, maka Abdullah bin Mas’ud bangkit dan memandang besinya yang berada dalam kobaran api. Tatkala Ar-Rabi’ mengarahkan pandangannya kepada kobaran api tersebut, tiba-tiba ia sempoyongan dan terjatuh. Kemudian Abdullah terus melanjutkan perjalanannya sampai akhirnya kami melewati sebuah dapur api di tepi sungai Eufrat. Melihat api berkobar dengan sangat dahsyat, Abdullah pun membaca firman Allah:
إِذَا رَأَتۡهُم مِّن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ سَمِعُوا۟ لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا ۝١٢ وَإِذَآ أُلۡقُوا۟ مِنۡهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُّقَرَّنِينَ دَعَوۡا۟ هُنَالِكَ ثُبُورًا
“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” [Q.S. Al-Furqan: 12-13].

Mendengar ayat tersebut, Ar-Rabi’ pun pingsan sehingga kami terpaksa membawanya pulang ke keluarganya. Maka Abdullah bin Mas’ud senantiasa menjaganya sampai tiba waktu Zhuhur namun belum juga sadar. Beliau tetap menunggu sampai tiba waktu Ashar namun Ar-Rabi’ masih tak sadarkan diri. Setelah masuk waktu Maghrib, baru ia sadar dan Abdullah pun segera kembali pulang ke rumah.”

Di masa beliau terjadi suatu ujian yang besar dengan terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Hubairah bin Khuzaimah berkisah, “Aku adalah orang yang pertama kali menemui Ar-Rabi’ bin Khutsaim dengan membawa berita tentang terbunuhnya Husain bin Ali. ‘Wahai Abu Yazid, Ibnu Fathimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan ibunya.’ Maka beliau bertanya, ‘Apakah orang-orang itu membunuhnya? Apakah mereka membunuhnya?’ Lantas beliau membaca firman Allah:
قُلِ ٱللَّهُمَّ فَاطِرَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ عَـٰلِمَ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ أَنتَ تَحۡكُمُ بَيۡنَ عِبَادِكَ فِى مَا كَانُوا۟ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ
“Katakanlah, ‘Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui hal gaib dan yang tampak, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya.’” [Q.S. Az-Zumar: 46].

Tatkala Ar-Rabi’ sakit, beberapa shahabatnya menyarankan supaya berobat ke tabib, namun ia menolak. Alqamah bin Martsad bercerita, “Puncak kezuhudan ada pada delapan orang tabi’in. Adapun Ar-Rabi’ bin Khutsaim maka ketika terserang penyakit yang membuatnya lumpuh lalu dikatakan kepadanya, ‘Seandainya engkau mau berobat niscaya sembuh penyakitmu.’ Ar-Rabi’ berkata, ‘Sungguh aku menyadari bahwa obat itu berkhasiat untuk menyembuhkan. Namun aku teringat kaum ‘Ad, Tsamud, penduduk Rass dan banyak lagi generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Di tengah-tengah mereka terdapat berbagai penyakit dan mereka pun punya tabib-tabib. Namun demikian tidak ada orang yang mengobati maupun yang diobati bisa bertahan (dari siksa Allah subhanahu wa ta’ala).’”

Sungguh dalam kondisi sakit pun Ar-Rabi’ bin Khutsaim menghabiskan waktu-waktunya dalam ketaatan sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikannya yang telah menjadi suri teladan ibadah dan sikap zuhud terhadap dunia. Amin, ya mujibas sa`ilin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 16 volume 2 1435 H/ 2014 M rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.