Cari Blog Ini

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Ketiga (3)

وَدَلِيلُ الأَنۡبِيَاءِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذۡ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ أَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَـٰهَيۡنِ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبۡحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ قُلۡتُهُ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُ ۚ تَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِي وَلَا أَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الۡغُيُوبِ﴾ [المائدة: ١١٦].
Dalil bahwa ada orang yang menyembah para nabi dan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan ingatlah, ketika Allah mengatakan, Wahai ‘Isa bin Maryam apakah engkau mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua sesembahan selain Allah? ‘Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak pantas bagiku untuk mengatakan perkataan yang tidak benar. Jika aku telah mengatakannya, maka sungguh Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diriMu. Sesungguhnya Engkau adalah maha mengetahui hal-hal yang ghaib.” (QS. Al-Maidah: 13)[1].
وَدَلِيلُ الصَّالِحِينَ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ﴾ الآية [الإسراء: ٥٧].
Dalil bahwa ada orang yang menyembah orang-orang shalih dan perbuatan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan azabNya.” (QS. Al-Isra`: 57)[2]

[1] وَقَوۡلُهُ: (وَدَلِيلُ الۡأَنۡبِيَاءِ... إلخ) هٰذَا فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ عِبَادَةَ الۡأَنۡبِيَاءِ شِرۡكٌ مِثۡلُ عِبَادَةِ الۡأَصۡنَامِ. 
فَفِيهِ رَدٌّ عَلَى مَنۡ فَرَّقَ فِي ذٰلِكَ مِنۡ عُبَّادِ الۡقُبُورِ. 
Ucapan beliau, “Dan dalil para nabi… dst.” Pada ucapan beliau terdapat dalil bahwa peribadahan kepada para nabi adalah kesyirikan sebagaimana beribadah kepada berhala. Di dalam ucapan beliau juga terdapat bantahan terhadap orang yang membeda-bedakan dalam perkara ini dari kalangan para pemuja kuburan. 
فَهٰذَا فِيهِ رَدٌّ عَلَى هٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يَقُولُونَ: إِنَّ الشِّرۡكَ عِبَادَةُ الۡأَصۡنَامِ، وَلَا يُسَوَّى عِنۡدَهُمۡ بَيۡنَ مَنۡ عَبَدَ الۡأَصۡنَامَ وَبَيۡنَ مَنۡ عَبَدَ وَلِيًّا أَوۡ رَجُلًا صَالِحًا، وَيُنۡكِرُونَ التَّسۡوِيَّةَ بَيۡنَ هٰؤُلَاءِ، وَيَزۡعُمُونَ أَنَّ الشِّرۡكَ مَقۡصُورٌ عَلَى عِبَادَةِ الۡأَصۡنَامِ فَقَطۡ، وَهٰذَا مِنَ الۡمُغَالَطَةِ الۡوَاضِحَةِ مِنۡ نَاحِيَتَيۡنِ: 
النَّاحِيَةُ الۡأُولَى: أَنَّ اللهَ –جَلَّ وَعَلَا- فِي الۡقُرۡآنِ أَنۡكَرَ عَلَى الۡجَمِيعِ، وَأَمَرَ بِقِتَالِ الۡجَمِيعِ. 
النَّاحِيَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمۡ يُفَرِّقۡ بَيۡنَ عَابِدِ صَنَمٍ وَعَابِدِ مَلَكٍ أَوۡ رَجُلٍ صَالِحٍ. 
Ucapan beliau membantah orang-orang yang mengatakan bahwa syirik adalah menyembah berhala. Menurut mereka tidak bisa disamakan antara orang yang menyembah berhala dengan orang yang menyembah wali atau orang shalih. Mereka juga mengingkari penyamarataan tersebut. Mereka menyangka bahwa syirik itu terbatas pada menyembah berhala saja. Tentu, ini adalah kekeliruan yang nyata dari dua sisi: 
  • Sisi pertama: bahwa Allah jalla wa ‘ala mengingkari seluruh jenis kesyirikan tersebut di dalam Al-Qur`an dan memerintahkan untuk memerangi seluruhnya. 
  • Sisi kedua: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membeda-bedakan antara penyembah berhala dan penyembah malaikat atau orang shalih. 
[2] (وَدَلِيلُ الصَّالِحِينَ) يَعۡنِي: أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ عَبَدَ الصَّالِحِينَ مِنَ الۡبَشَرِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ﴾ [الإسراء: ٥٧]. 
“Dan dalil orang-orang shalih” yakni bahwa di sana ada yang menyembah orang-orang shalih dari kalangan manusia adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah).” (QS. Al-Isra`: 57). 
قِيلَ: نَزَلَتۡ هٰذِهِ الۡآيَةُ فِيمَنۡ يَعۡبُدُ الۡمَسِيحَ وَأُمَّهُ وَعُزَيۡرًا، فَأَخۡبَرَ –سُبۡحَانَهُ- أَنَّ الۡمَسِيحَ وَأُمَّهُ مَرۡيَمَ، وَعُزَيۡرًا كُلَّهُمۡ عِبَادٌ لِلهِ، يَتَقَرَّبُونَ إِلَى اللهِ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ، فَهُمۡ عِبَادٌ مَحۡتَاجُّونَ إِلَى اللهِ مَفۡتَقِرُونَ إِلَيۡهِ يَدۡعُونَهُ وَيَتَوَسَّلُونَ إِلَيۡهِ بِالطَّاعَةِ ﴿يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ﴾ [الإسراء: ٥٧]، يَعۡنِي: الۡقُرۡبَ مِنۡهُ –سُبۡحَانَهُ- بِطَاعَتِهِ وَعِبَادَتِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمۡ لَا يَصۡلُحُونَ لِلۡعِبَادَةِ لِأَنَّهُمۡ بَشَرٌ مُحۡتَاجُّونَ، فُقَرَاءُ، يَدۡعُونَ اللهَ، وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ، وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ، وَمَنۡ كَانَ كَذٰلِكَ لَا يَصۡلُحُ أَنۡ يُعۡبَدَ مَعَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 
Ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai orang yang menyembah ‘Isa Al-Masih dan ibunya, serta ‘Uzair. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa ‘Isa Al-Masih, ibu beliau Maryam, dan ‘Uzair seluruhnya adalah hamba-hamba milik Allah. Mereka mendekatkan diri kepada Allah, mengharap rahmatNya, dan takut dari azabNya. Jadi, mereka adalah hamba-hamba yang butuh kepada Allah, faqir kepadaNya. Mereka berdoa kepadaNya dan bertawasul kepadaNya dengan mengerjakan ketaatan. “mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Isra`: 57). Yakni: kedekatan denganNya subhanahu wa ta’ala dengan menaatiNya dan beribadah kepadaNya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak boleh untuk diibadahi karena mereka adalah manusia yang butuh dan faqir, mereka berdoa kepada Allah, mengharap rahmatNya, dan takut dari azabNya. Barangsiapa yang demikian keadaaannya, maka dia tidak boleh diibadahi bersama Allah subhanahu wa ta’ala
وَالۡقَوۡلُ الثَّانِي: أَنَّهَا نَزَلَتۡ فِي أُنَاسٍ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ كَانُوا يَعۡبُدُونَ نَفَرًا مِنَ الۡجِنِّ، فَأَسۡلَمَ الۡجِنُّ وَلَمۡ يَعۡلَمۡ هٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يَعۡبُدُونَهُمۡ بِإِسۡلَامِهِمۡ، وَصَارُوا يَتَقَرَّبُونَ إِلَى اللهِ بَالطَّاعَةِ وَالضَّرَاعَةِ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ، فَهُمۡ عِبَادٌ مُحۡتَاجُّونَ فُقَرَاءُ لَا يَصۡلُحُونَ لِلۡعِبَادَةِ. 
Pendapat kedua bahwa ayat ini turun mengenai orang dari kaum musyrikin yang menyembah sekelompok jin. Lalu jin itu masuk Islam namun orang-orang yang menyembah mereka tadi tidak mengetahui dengan keislaman mereka. Jin-jin tersebut mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan dan ketundukan diri, mengharap rahmatNya, dan takut dari azabNya. Jadi, mereka adalah hamba-hamba yang butuh dan faqir. Tidak boleh untuk diibadahi. 
وَأَيًّا كَانَ الۡمُرَادُ بِالۡآيَةِ الۡكَرِيمَةِ؛ فَإِنَّهَا تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ عِبَادَةُ الصَّالِحِينَ، سَوَاءً كَانُوا مِنَ الۡأَنۡبِيَاءِ وَالصِّدِّيقِينَ، أَوۡ مِنَ الۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، فَلَا تَجُوزُ عِبَادَتُهُمۡ، لِأَنَّ الۡكُلَّ عِبَادٌ لِلهِ فُقَرَاءُ إِلَيۡهِ، فَكَيۡفَ يُعۡبَدُونَ مَعَ اللهِ –جَلَّ وَعَلَا-؟! 
Pendapat mana saja yang diinginkan dari ayat yang mulia ini tetap menunjukkan bahwa tidak boleh ibadah kepada orang-orang shalih. Sama saja apakah mereka itu para nabi, shiddiqin, atau dari kalangan para wali dan orang-orang shalih. Tidak boleh beribadah kepada mereka. Karena seluruhnya adalah hamba Allah yang faqir kepadaNya. Lantas bagaimana bisa mereka diibadahi bersama Allah jalla wa ‘ala?! 
وَالۡوَسِيلَةُ مَعۡنَاهَا: الطَّاعَةُ وَالۡقُرۡبُ، فَهِيَ فِي اللُّغَةِ: الشَّيۡءُ الَّذِي يُوَصِّلُ إِلَى الۡمَقۡصُودِ. فَالَّذِي يُوَصِّلُ إِلَى رِضَا اللهِ وَجَنَّتِهِ هُوَ الۡوَسِيلَةُ إِلَى اللهِ، هٰذِهِ هِيَ الۡوَسِيلَةُ الۡمَشۡرُوعَةُ فِي قَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَابۡتَغُوٓا إِلَيۡهِ الۡوَسِيلَةَ﴾ [المائدة: ٣٥]. 
Wasilah maknanya adalah ketaatan dan kedekatan. Wasilah secara bahasa adalah sesuatu yang menyampaikan kepada tujuan. Sehingga setiap yang menyampaikan kepada ridha Allah dan surgaNya, maka ia adalah wasilah kepada Allah. Inilah wasilah yang disyariatkan dalam firmanNya ta’ala yang artinya, “dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 35). 
أَمَّا الۡمُحَرِّفُونَ الۡمُخَرِّفُونَ فَيَقُولُونَ: الۡوَسِيلَةُ: أَنۡ تَجۡعَلَ بَيۡنَكَ وَبَيۡنَ اللهِ وَاسِطَةً مِنَ الۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَالۡأَمۡوَاتِ، تَجۡعَلَهُمۡ وَاسِطَةً بَيۡنَكَ وَبَيۡنَ اللهِ لِيُقَرِّبُوكَ إِلَى اللهِ ﴿مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلۡفَىٰٓ﴾ [الزمر: ٣]، فَمَعۡنَى الۡوَسِيلَةِ عِنۡدَ هٰؤُلَاءِ الۡمُخَرِّفِينَ: أَنۡ تَجۡعَلَ بَيۡنَكَ وَبَيۡنَ اللهِ وَاسِطَةً تُعَرِّفُ اللهَ بِكَ وَتَنۡقِلُ لَهُ حَاجَاتِكَ وَتُخۡبِرُهُ عَنۡكَ، كَأَنَّ اللهَ –جَلَّ وَعَلَا- لَا يَعۡلَمُ، أَوۡ كَأَنَّ اللهَ –جَلَّ وَعَلَا-بَخِيلٌ لَا يُعۡطِي إِلَّا بَعۡدَمَا يلحّ عَلَيۡهِ بِالۡوَسَائِطِ –تَعَالَى اللهُ عَمَّا يَقُولُونَ-. 
Adapun orang yang menyimpang dan ahli khurafat, mereka mengatakan bahwa wasilah yaitu kita menjadikan antara engkau dengan Allah suatu perantara dari para wali, orang-orang shalih, dan orang-orang yang telah mati. Kita menjadikan mereka sebagai perantara antara engkau dengan Allah supaya mereka dapat mendekatkan engkau kepada Allah. “Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3). Jadi, makna wasilah menurut ahli khurafat adalah engkau menjadikan antara engkau dengan Allah suatu perantara yang dapat mengenalkan engkau kepada Allah dan menyampaikan dan mengabarkan kebutuhanmu kepadaNya. Seakan-akan Allah jalla wa ‘ala itu tidak mengetahui atau seakan-akan Allah jalla wa ‘ala itu pelit tidak mau memberi kecuali setelah mendekat kepadaNya melalui perantara. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan. 
وَلِهٰذَا يُشَبِّهُونَ عَلَى النَّاسِ وَيَقُولُونَ: اللهُ –جَلَّ وَعَلَا- يَقُولُ: ﴿ أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ﴾ [الإسراء: ٥٧] فَدَلَّ عَلَى أَنَّ اتِّخَاذَ الۡوَسَائِطِ مِنَ الۡخَلۡقِ إِلَى اللهِ أَمۡرٌ مَشۡرُوعٌ؛ لِأَنَّ اللهَ أَثۡنَى عَلَى أَهۡلِهِ، وَفِي الۡآيَةِ الۡأُخۡرَى: ﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللهَ وَٱبۡتَغُوٓا۟ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَـٰهِدُوا۟ فِى سَبِيلِهِۦ﴾ [المائدة: ٣٥]. 
Berdasar pemahaman ini, mereka menyerupakan Allah dengan manusia dan mengatakan: Allah jalla wa ‘ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Isra`: 57). Kata mereka, ayat ini menunjukkan bahwa menjadikan wasilah dari kalangan makhluk untuk menyampaikan kepada Allah adalah perkara yang disyariatkan karena Allah memuji pelakunya. Juga pada ayat yang lainnya, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan carilah wasilah kepadaNya serta berjihadlah di jalanNya.” (QS. Al-Maidah: 35). 
قَالُوا: إِنَّ اللهَ أَمَرَنَا أَنۡ نَتَّخِذَ الۡوَسِيلَةَ إِلَيۡهِ، وَالۡوَسِيلَةُ مَعۡنَاهَا: الۡوَاسِطَةُ، هٰكَذَا يُحَرِّفُونَ الۡكَلِمَ عَنۡ مَوَاضِعِهِ، فَالۡوَسِيلَةُ الۡمَشۡرُوعَةُ فِي الۡقُرۡآنِ وَفِي السُّنَّةِ هِيَ: الطَّاعَةُ الَّتِي تُقَرِّبُ إِلَى اللهِ، وَالتَّوَسُّلُ إِلَيۡهِ بِأَسۡمَائِهِ وَصِفَاتِهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى. هٰذِهِ هِيَ الۡوَسِيلَةُ الۡمَشۡرُوعَةُ. 
أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالۡمَخۡلُوقِينَ إِلَى اللهِ فَهُوَ وَسِيلَةٌ مَمۡنُوعَةٌ، وَوَسِيلَةٌ شِرۡكِيَّةٌ، وَهِيَ الَّتِي اتۡخَذَهَا الۡمُشۡرِكُونَ مِنۡ قَبۡلِ: ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللهِ﴾ [يونس: ١٨]، ﴿وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللهِ زُلۡفَىٰٓ﴾ [الزمر: ٣]، هٰذَا هُوَ شِرۡكُ الۡأَوَّلِينَ وَالۡآخِرِينَ سَوَاءً بِسَوَاءٍ، وَإِنۡ سَمُّوهُ وَسِيلَةً فَهُوَ الشِّرۡكُ بِعَيۡنِهِ، وَلَيۡسَ هُوَ الۡوَسِيلَةَ الَّتِي شَرَعَهَا اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، لِأَنَّ اللهَ لَمۡ يَجۡعَلِ الشِّرۡكَ وَسِيلَةً إِلَيۡهِ أَبَدًا، وَإِنَّمَا الشِّرۡكُ مُبۡعِدٌ عَنِ اللهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ﴾ [المائدة: ٧٢]. فَكَيۡفَ يُجۡعَلُ الشِّرۡكُ وَسِيلَةً إِلَى اللهِ؟!! تَعَالَى اللهُ عَمَّا يَقُولُونَ. 
Mereka mengatakan: Allah memerintahkan kita agar kita menjadikan wasilah kepadaNya, sedangkan wasilah artinya perantara. Seperti inilah mereka mengubah-ubah perkataan dari tempat-tempatnya. Wasilah yang disyariatkan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan bertawasul dengan nama-nama dan sifat-sifatNya subhanahu wa ta’ala. Inilah wasilah yang disyariatkan. Adapun bertawasul kepada Allah dengan makhluk-makhluk, maka ini adalah wasilah yang dilarang dan wasilah syirik. Dan inilah perbuatan orang-orang musyrikin dahulu, “Mereka beribadah kepada selain Allah yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak pula dapat memberi manfaat. Mereka mengatakan bahwa sesembahan itu adalah pemberi syafaat untuk kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali berkata: Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Ini adalah kesyirikan orang-orang dahulu dan sekarang. Sama persis. Meskipun mereka menamainya dengan wasilah, namun hakikatnya itulah kesyirikan dan bukan wasilah yang Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan. Karena Allah tidak menjadikan kesyirikan sebagai jalan yang mendekatkan kepadaNya selama-lamanya. Bahkan ia menjauhkan dari Allah subhanahu wa ta’ala. “Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan surga atasnya dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah: 72). Sehingga bagaimana bisa kesyirikan dijadikan sebagai perantara kepadaNya?!! Maha tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan. 
الشَّاهِدُ مِنَ الۡآيَةِ: أَنَّ فِيهَا دَلِيلًا عَلَى أَنَّ هُنَاكَ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ مَنۡ يَعۡبُدُ الصَّالِحِينَ، لِأَنَّ اللهَ بَيَّنَ ذٰلِكَ، وَبَيَّنَ أَنَّ هٰؤُلَاءِ الَّذِينَ تَعَبَّدُونَهُمۡ هُمۡ عِبَادٌ فُقَرَاءُ ﴿يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الۡوَسِيلَةَ﴾ يَعۡنِي: يَتَقَرَّبُونَ إِلَيۡهِ بِالطَّاعَةِ ﴿أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ﴾يَتَسَابَقُونَ إِلَى اللهِ –جَلَّ وَعَلَا- بِالۡعِبَادَةِ لِفَقۡرِهِمۡ إِلَى اللهِ وَحَاجَتِهِمۡ ﴿وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ﴾ وَمَنۡ كَانَ كَذٰلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَصۡلُحُ أَنۡ يَكُونَ إِلَهًا يُدۡعَى وَيُعۡبَدُ مَعَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. 
Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa di ayat tersebut ada dalil bahwa di sana ada orang-orang musyrik yang menyembah orang-orang shalih. Karena Allah menjelaskan hal tersebut dan Dia juga menjelaskan bahwa yang mereka jadikan sesembahan itu adalah hamba-hamba yang faqir. “Mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka” yakni: mereka mendekatkan kepadaNya dengan melakukan ketaatan. “Siapa di antara mereka yang lebih dekat” mereka berlomba-lomba menuju Allah jalla wa ‘ala dengan ibadah. Karena kefakiran dan kebutuhan mereka kepada Allah. “Mereka mengharap rahmatNya dan takut dari azabNya” sehingga barangsiapa yang keadaannya seperti ini, maka ia tidak boleh untuk menjadi sesembahan yang diseru dan diibadahi bersama Allah ‘azza wa jalla.