شُرُوطُ التَّمۡيِيزِ
قَالَ: وَلَا يَكُونُ إِلَّا نَكِرَةً، وَلَا يَكُونُ إِلَّا بَعۡدَ تَمَامِ الۡكَلَامِ.
Tamyiz hanya bisa berupa nakirah dan terletak setelah sempurnanya pembicaraan.
أَقُولُ: يُشۡتَرَطُ فِي التَّمۡيِيزِ أَنۡ يَكُونَ نَكِرَةً، كَمَا فِي جَمِيعِ الۡأَمۡثِلَةِ الۡمُتَقَدِّمَةِ. فَلَا يَجُوزُ أَبَدًا أَنۡ يَكُونَ مَعۡرِفَةً، خِلَافًا لِلۡكُوفِيِّينَ، وَلَا حُجَّةَ لَهُمۡ فِي قَوۡلِ الشَّاعِرِ:
رَأَيۡتُكَ لَمَّا أَنۡ عَرَفۡتَ وُجُوهَنَا صَدَدۡتَ وَطِبۡتَ النَّفۡسَ يَا قَيۡسُ عَنۡ عَمۡرِو
لِأَنَّ (أَلۡ) فِي (النَّفۡسِ) لَيۡسَتۡ مَعۡرِفَةً وَإِنَّمَا هِيَ زَائِدَةً؛ لِضَرُورَةِ الشِّعۡرِ، وَلَوۡ حُذِفَتۡ لَانۡكَسَرَ الۡوَزۡنَ.
Tamyiz disyaratkan harus berupa nakirah sebagaimana pada contoh-contoh yang telah lalu. Sehingga, tamyiz selamanya tidak boleh berupa isim ma’rifah. Hal ini menyelisihi ahli nahwu Kufah. Namun, tidak ada alasan bagi mereka dalam ucapan penyair: رَأَيۡتُكَ لَمَّا أَنۡ عَرَفۡتَ وُجُوهَنَا صَدَدۡتَ وَطِبۡتَ النَّفۡسَ يَا قَيۡسُ عَنۡ عَمۡرِو (Aku telah melihat engkau wahai Qais, ketika engkau mengenali wajah-wajah kami, engkau berpaling dan engkau rida (dengan terbunuhnya) ‘Amr). Karena “al” di kata an-nafs bukanlah menunjukkan ma’rifah, namun ia hanya merupakan tambahan karena kebutuhan syair. Karena kalau “al” dibuang akan rusak susunan syair tersebut.
وَلَا يَكُونُ التَّمۡيِيزُ إِلَّا بَعۡدَ تَمَامِ الۡكَلَامِ، أَيۡ: بَعۡدَ جُمۡلَةٍ تَامَّةٍ، فِعۡلِيَّةً كَانَتۡ كَالۡأَمۡثِلَةِ الۡمُتَقَدِّمَةِ، أَوِ اسۡمِيَّةً نَحۡوُ: (عِنۡدِي عِشۡرُونَ دِرۡهَمًا) وَ(زَيۡدٌ مُتَصَبِّبٌ عَرَقًا) فَـ(دِرۡهَمًا) تَمۡيِيزُ مُفۡرَدٍ مَنۡصُوبٌ مُبَيِّنٌ لِلۡإِبۡهَامِ الۡحَاصِلِ فِي ذَاتِ (عِشۡرُونَ)، وَ(عَرَقًا) تَمۡيِيزُ نَسۡبَةٍ مَنۡصُوبٌ مُبَيِّنٌ لِإِبۡهَامِ نِسۡبَةِ التَّصَبُّبِ إِلَى (زَيۡدٌ)، وَكُلٌّ مِنۡهُمَا جَاءَ بَعۡدَ جُمۡلَةٍ تَامَّةٍ، مُرَكَّبَةً مِنۡ مُبۡتَدَإٍ وَخَبَرٍ.
Tamyiz hanya bisa terletak setelah sempurnanya pembicaraan, yakni setelah kalimat sempurna, baik fi’liyyah seperti contoh-contoh yang telah lewat, atau ismiyyah seperti: عِنۡدِي عِشۡرُونَ دِرۡهَمًا (Aku memiliki dua puluh dirham) dan زَيۡدٌ مُتَصَبِّبٌ عَرَقًا (Zaid bercucuran keringatnya). دِرۡهَمًا adalah tamyiz mufrad yang dinashab yang menjelaskan kesamaran yang muncul dari عِشۡرُونَ. Sedangkan عَرَقًا adalah tamyiz nisbah yang dinashab yang menjelaskan kesamaran penyandaran perihal bercucuran kepada Zaid. Dan setiap dari keduanya terletak setelah kalimat yang sempurna yang tersusun dari mubtada` dan khabar.
فَائِدَةٌ: عُلِمَ مِمَّا تَقَدَّمَ أَنَّ الۡحَالَ وَالتَّمۡيِيزَ اتَّفَقَا فِي أُمُورٍ وَاخۡتَلَفَا فِي أُمُورٍ.
فَمَا اتَّفَقَا فِيهِ: أَنَّهُمَا اسۡمَانِ، نَكِرَتَانِ، مَنۡصُوبَانِ، فَضۡلَتَانِ، مُفَسِّرَانِ.
وَمِمَّا اخۡتَلَفَا فِيهِ: أَنَّ الۡحَالَ يَكُونُ صَرِيحًا وَمُؤَوَّلًا بِالصَّرِيحِ، بِخِلَافِ التَّمۡيِيزِ فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا صَرِيحًا.
وَأَنَّ الۡحَالَ يُفَسِّرُ هَيۡئَةَ الذَاتِ، وَالتَّمۡيِيزَ يُفَسِّرُ الذَاتَ نَفۡسَهَا، وَغَيۡرُ ذٰلِكَ.
Faedah: Diketahui dari pembahasan yang telah lalu, bahwa hal dan tamyiz mempunyai kesamaan dalam beberapa perkara dan pebedaan dalam beberapa perkara.
Persamaannya adalah bahwa keduanya isim, nakirah, dinashab, tambahan, dan menjelaskan.
Perbedaannya di antaranya adalah bahwa hal bisa berupa isim sharih dan dita`wil kepada isim sharih, sedangkan tamyiz hanya bisa berupa isim sharih. Hal menjelaskan keadaan zat, sedangkan tamyiz menjelaskan zat itu sendiri. Dan ada perbedaan selain itu.
Lihat pula:
- Pembahasan Syarat-syarat Tamyiz dari kitab At-Tuhfatus Saniyyah
- Pembahasan selanjutnya: Mustatsna
- Pembahasan sebelumnya: Tamyiz (2)