Syarat-syarat tawaf secara mutlak (semua jenis tawaf) adalah:
- niat,
- memulai dari hajar Aswad, disunahkan untuk mengusap dan menciumnya, apabila tidak mampu maka cukup memberi isyarat kepadanya dan mengatakan:بِسۡمِ اللهِ، اللهُ أَكۡبَرُ، اللّٰهُمَّ إِيمَانًا بِكَ، وَتَصۡدِيقًا بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهۡدِكَ، وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وسَلَّمَ“Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Ya Allah, aku melakukan ini dalam rangka beriman kepadaMu, membenarkan kitabMu, menunaikan perjanjian denganMu, dan mengikuti sunah NabiMu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
- menjadikan Kakbah di sebelah kirinya,
- menyempurnakan tujuh putaran,
- suci dari hadas dan najis.
Suci pada seluruh rangkaian ibadah haji selain tawaf adalah sunah tidak wajib. Telah datang dalam hadis:
الطَّوَافُ بِالۡبَيۡتِ صَلَاةٌ إِلَّا أَنَّ اللهَ أَبَاحَ فِيهِ الۡكَلَامَ
“Tawaf di Kakbah adalah salat, hanya saja Allah membolehkan berbicara ketika tawaf.”[1]
Disunahkan untuk:
- idhtiba’ pada tawaf qudum (kedatangan), yaitu menjadikan bagian tengah kain ihram atas berada di bawah pundak kanan dan ujungnya di atas pundak kiri,
- berlari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan pada putaran setelahnya.
Semua tawaf selain tawaf qudum tidak disunahkan berlari kecil dan idhtiba’.
Syarat-syarat sai:
- niat,
- menyempurnakan tujuh lintasan, dan
- memulai dari bukit Shafa.
Seseorang disyariatkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah dan berdoa kepadaNya dalam tawaf, sai, dan seluruh manasik hajinya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالۡبَيۡتِ وَبِالصَّفَا وَالۡمَرۡوَةِ وَرَمۡيُ الۡجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكۡرِ اللهِ
“Tawaf di Ka’bah, sai antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah-jumrah hanyalah disyariatkan untuk melakukan zikir kepada Allah.”[2]
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Ketika Allah membukakan kota Makkah kepada RasulNya, Rasulullah berdiri di hadapan manusia, beliau memuji Allah dan menyanjungNya. Kemudian beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ حَبَسَ عَنۡ مَكَّةَ الۡفِيلَ، وَسَلَّطَ عَلَيۡهَا رَسُولَهُ وَالۡمُؤۡمِنِينَ، وَإِنَّهَا لَمۡ تَحِلَّ لِأَحَدٍ كَانَ قَبۡلِي، وَإِنَّمَا حُلَّتۡ لِي سَاعَةً مِنۡ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا لَنۡ تَحِلَّ لِأَحَدٍ بَعۡدِي، فَلَا يُنَفَّرُ صَيۡدُهَا، وَلَا يُخۡتَلَى شَوۡكُهَا، وَلَا تُحَلُّ سَاقِطَتُهَا إِلَّا لِمُنۡشِدٍ، وَمَنۡ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيۡرِ النَّظَرَيۡنِ. فَقَالَ الۡعَبَّاسُ: إِلَّا الۡإِذۡخِرَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّا نَجۡعَلُهُ فِي قُبُورِنَا وَبُيُوتِنَا. فَقَالَ: إِلَّا الۡإِذۡخِرَ.
“Sesungguhnya Allah telah menahan pasukan gajah dari Makkah dan Allah telah menguasakan Makkah kepada RasulNya dan kaum mukminin. Dan sesungguhnya Makkah tidak halal bagi seseorang pun sebelumku. Dan dihalalkan untukku hanya sesaat pada waktu siang hari. Dan kota Makkah tidak lagi halal bagi seorang pun setelahku. Sehingga binatang buruannya tidak boleh diburu, durinya tidak boleh dicabut, dan barang yang tercecer tidak halal kecuali untuk diumumkan. Siapa saja menjadi keluarga korban yang terbunuh, maka ia memiliki dua pilihan.”
Al-‘Abbas mengatakan: Kecuali Idzkhir, wahai Rasulullah, karena kami menggunakannya di kuburan dan rumah-rumah kami.
Nabi bersabda, “Kecuali Idzkhir.” (Muttafaqun ‘alaih[3]).
Dan beliau bersabda,
الۡمَدِينَةُ حَرَامٌ مَا بَيۡنَ عَيۡرٍ إِلَى ثَوۡرٍ
“Madinah adalah tanah haram antara ‘Air sampai Tsaur.” (HR. Muslim[4]).
Beliau juga bersabda,
خَمۡسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ، يُقۡتَلۡنَ فِي الۡحِلِّ وَالۡحَرَمِ: الۡغُرَابُ، وَالۡحِدَأَةُ، وَالۡعَقۡرَبُ، وَالۡفَأۡرَةُ، وَالۡكَلۡبُ الۡعَقُورُ
“Lima binatang, semuanya fasik, yang boleh dibunuh di tanah halal dan haram: burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing liar yang buas.” (Muttafaqun ‘alaih[5]).
[1] HR. At-Tirmidzi (961) dan selain beliau dari hadis ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Disahihkan oleh Al-‘Allamah Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa` (121).
[2] HR. Imam Ahmad (6/64), Abu Dawud (1888), dan At-Tirmidzi (902) dari hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dan hadis ini telah didaifkan oleh Al-Albani di dalam Dha’iful Jami’ (2056).
[3] HR. Al-Bukhari (2434) dan Muslim (1355).
[4] Nomor 1370 dari hadis ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhari (6755).
[5] HR. Al-Bukhari (1829) dan Muslim (1198) dari hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.