Cari Blog Ini

Ma Hiya As-Salafiyyah? - Siapakah Salaf secara Istilah

Bab Kedua: Siapakah Salaf secara Istilah

Kita telah melalui bahwa salaf secara bahasa adalah siapa saja yang telah mendahuluimu dan berlalu dalam hal umur dan keutamaan. Di sini, kita akan meningkat pada batasan kata ini dari sisi istilah.

Allah jalla wa ‘ala di kitabNya yang mulia,
وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridai mereka dan mereka rida kepada Allah. Dan Allah telah persiapkan untuk mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).

Di dalam dua kitab Shahih[1] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيۡرُ النَّاسِ قَرۡنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمۡ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمۡ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقۡوَامٌ تَسۡبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمۡ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. Kemudian ada kaum-kaum yang datang, kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” Lafal ini milik Al-Bukhari.

Di dalam Shahih Muslim[2] dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia manakah yang paling baik? Nabi menjawab,
الۡقَرۡنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ، ثُمَّ الثَّانِي، ثُمَّ الثَّالِثُ
“Generasi saatku ini, kemudian yang kedua, kemudian yang ketiga.”

Dalam masalah ini ada beberapa hadis. Jadi, ayat di surah At-Taubah yang tersebut di atas dan hadis-hadis yang telah datang menunjukkan atas kebaikan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan bahwa mereka umat terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan termasuk perkara yang tidak ada keraguan dan kebimbangan padanya bahwa merekalah para salaf dan pendahulu kita di dalam hal keutamaan, ilmu, dan iman radhiyallahu ‘anhum.

Namun, di sini ada sebuah pertanyaan yang penting, yaitu:

Apakah batasan waktu yang terdapat dalam hadis Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, dan hadis selain keduanya sudah cukup untuk membatasi makna salaf secara istilah?

Atau dengan makna lain: Apakah setiap yang hidup di masa-masa yang diberkahi itu cukup untuk bisa dikatakan sebagai salaf saleh yang patut dicontoh?

Jawab:

Tentu tidak. Karena keterdahuluan zaman tidak cukup untuk mendefinisikan salaf. Salaf harus disandarkan kepada suatu batasan yang penting, yaitu mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, serta pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Oleh karena itu, kita dapati para imam sunah memberi batasan istilah ini dengan mengatakan: as-salafush shalih. Supaya mengeluarkan para pendahulu yang jelek yang hidup pada masa-masa mereka namun tidak berada di atas pemahaman, metode, dan jalan mereka.

Sebagaimana ada yang mengatakan: Al-waqi’u khairu syahid (kenyataan adalah bukti terbaik). Kaum qadariyyah (pengingkar takdir) muncul di tengah-tengah sahabat. Hadis Ibnu ‘Umar tentang sikap berlepas diri dari mereka sudah sangat terkenal dan ini merupakan hadis pertama di dalam kitab Shahih Muslim.

Demikian pula pemberontakan Khawarij terhadap ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan sahabat selain beliau. Mereka muncul di tengah para sahabat. Ketika itu, ‘Abdullah bin ‘Abbas mendebat mereka dengan perdebatan yang terkenal. Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak[3] dan selain beliau dengan sanad yang sahih.

Di antara yang diucapkan beliau kepada orang-orang Khawarij dalam rangka berdalil atas kesesatan mereka, “Perhatikanlah! Tidak ada satu pun sahabat di antara kalian.”

Dan ini sudah cukup untuk menerangkan kesesatan mereka.

Sehingga, keterdahuluan dalam hal zaman tidak cukup menjadikan seseorang termasuk salaf saleh. Imam Muslim telah mengeluarkan riwayat di mukadimah Shahih[4] dari ‘Ali bin Syaqiq rahimahullah bahwa beliau mengatakan, “Aku mendengar Abdullah bin Al-Mubarak berkata di hadapan manusia: Tinggalkan hadis ‘Amr bin Tsabit karena dia mencela salaf.”

Aku katakan: Salaf dalam pembahasan di sini adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum, bukan yang lain.

Sejumlah ulama telah menerangkan salafiyyah secara istilah. Contohnya:

Imam ahlus sunnah Ahmad bin Hanbal -semoga Allah merahmati dan meridainya- mengatakan dalam sebuah risalah yang terkenal dengan Ushulus Sunnah, “Pondasi sunah menurut kami adalah berpegang teguh dengan jalan yang ditempuh oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meneladani mereka.”

Al-’Allamah As-Safarini rahimahullah mengatakan di dalam Lawami’ul Anwar[5], “Yang dimaukan dengan mazhab salaf adalah jalan yang dilalui oleh para sahabat mulia. Juga para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik, pengikut-pengikut mereka, dan para imam-imam agama Islam dari orang-orang yang dipersaksikan kepemimpinan dan keagungan kedudukannya di dalam agama Islam. Manusia mengambil ucapan mereka secara turun-temurun. Salaf bukanlah orang yang dituduh dengan kebidahan atau yang dikenal dengan julukan yang tidak diridai seperti: khawarij, rafidhah, qadariyyah, murjiah, jabriyyah, jahmiyyah, mu’tazilah, karramiyyah, dan yang semisal mereka.” Selesai ucapan beliau rahimahullah.

Syekh kami Al-’Allamah Muhammad Aman -semoga Allah merahmati dan mengampuninya- mengatakan di dalam kitabnya yang agung Ash-Shifatul Ilahiyyah fi Dhau`il Kitab was Sunnah[6], “Ketika dimutlakkan kata salaf, maka yang kami maksudkan hanya dari sisi istilah, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mereka hidup bersama beliau pada masanya, lalu mereka mengambil agama ini dari beliau secara langsung, masih segar dan murni, baik pokok-pokok maupun cabang-cabangnya. Sebagaimana masuk pula dalam istilah ini: orang-orang yang mengikuti para sahabat (tabiin), yang mewarisi ilmu mereka sebelum berlalu masa yang panjang. Juga orang-orang yang termasuk dalam persaksian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan pujian beliau kepada mereka bahwa mereka adalah sebaik-baik manusia… lalu beliau menyebutkan hadis yang telah lalu. Sebagaimana istilah ini juga mencakup tabi’ut tabi’in (pengikut tabiin).

Ini adalah ungkapan yang telah disepakati. Istilah ini lahir dan menjadi terkenal ketika munculnya pertentangan mengenai prinsip-prinsip agama di antara kelompok-kelompok aliran kalamiyyah, lalu semuanya berupaya untuk menyatakan keterkaitannya dengan salaf dan mengumumkan bahwa dia di atas jalannya salaf saleh. Sehingga, harus ada dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang jelas ciri-cirinya dan pasti untuk mengarahkan ke jalan salaf; sehingga perkaranya menjadi tidak rancu bagi setiap orang yang ingin meneladani mereka dan meniti metode mereka.

Beliau mengatakan di tempat lain[7], “Yang menjelaskan pembahasan yang berlalu bahwa makna salafiyyah menjadi istilah yang dimutlakkan kepada generasi awal dan siapa saja yang meneladani mereka dalam mengambil ilmu, cara memahaminya, dan metode dakwah kepadanya. Maka, salafiyyah tidak boleh dibatasi pada rentang waktu tertentu, bahkan wajib untuk dipahami bahwa salafiyyah adalah penamaan yang tetap akan ada terus-menerus sepanjang hayat. Dan sangat butuh untuk membatasi makna al-firqah an-najiyah (golongan yang selamat) pada ulama hadis dan sunah. Merekalah pemilik manhaj ini, yang senantiasa tetap ada sampai hari kiamat. Ini disimpulkan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku dalam keadaan ditolong di atas kebenaran. Siapa saja yang menyelisihi mereka dan yang melecehkan mereka tidak membahayakan mereka.” Selesai ucapan beliau rahimahullah.

Aku katakan: Hadis yang beliau rahimahullah sebutkan adalah hadis muttafaqun ‘alaihi dari hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.

Sehingga, kita mengetahui dari pembahasan yang telah lewat, bahwa makna salaf secara istilah adalah para sahabat, tabiin, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan dan berjalan di atas jalan mereka dan meniti jejak mereka.

[2] (4/nomor 2536 – ‘Abdul Baqi). 
[3] (2/halaman 150), dan diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam Musnad (2/nomor 656/84) dan Al-Baihaqi di dalam Al-Kubra (8/179). Imam Ibnu Katsir menyahihkan sanad Ahmad di dalam Al-Bidayah wan-Nihayah. Silakan lihat Al-Irwa` (8/nomor 2459). 
[4] (1/halaman 16). 
[5] (1/20). 
[6] Halaman 57. 
[7] Halaman 64.