Tanya: Rosulullah pernah melarang menuliskan hadits karena khawatir rancu dengan Al Qur`an, kita bahkan menulis dan menterjemahkan dalam berbagai bahasa. Apa ini bukan bid'ah? Karena tidak ada dalam syar'i. Wassalamu 'alaikum. (08122123***)
Jawab: Anda benar bahwa Rosulullah pernah melarang menuliskan hadits karena khawatir rancu dengan Al Qur`an seperti termuat dalam Shahih Muslim (4/no: 3004). Namun setelah kekhawatiran beliau hilang, maka beliau mengizinkan untuk menuliskan hadits (Taqyiidul 'Ilmi: 49-64 dari Minhaj Istidlal: 1/62) dan tidak akan luput bagi siapa saja yang mentelaah bahwa larangan penulisan hadits itu dalam bentuk pembukuan / pengumpulan secara resmi seperti Al Qur`an. Adapun penulisan hadits yang dilakukan oleh perorangan maka telah ada pada masa itu (setelah kekhawatiran beliau (Rosul) hilang) [Syarh Ushulus Sittah: 34]. Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat dari Abdullah bin Amr bin 'Ash, ia berkata, "Aku menulis semua yang kudengar dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar aku dapat menghafalnya, lalu orang-orang Quraisy mencegahku dengan mengatakan, 'Engkau tulis semua yang kau dengar dari Rosulullah sedang dia itu seorang manusia, berbicara dalam keadaan emosi dan juga ridho?!', maka aku pun berhenti menulis dan kuceritakan hal itu pada Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, 'Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya tidak ada yang keluar dariku kecuali hak.'" (HR Abu Dawud 4/60-61 no. 3646, bab Fi Kitabil 'Ilmi). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini mempunyai jalan-jalan lain dari Abdullah bin Amr yang saling menguatkan." [Fathul Baari 1/207]. Hadits ini dikeluarkan pula oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya 1/104-105 dan beliau menshohihkannya dan disepakati oleh Imam Adz Dzahaby. Abu Hurairoh rodhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak ada dari kalangan sahabat Nabi yang lebih banyak dariku haditsnya (dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) selain Abdullah bin Amr karena sesungguhnya ia menulis sedang aku tidak." (HR Bukhori 1/206 Kitabul 'Ilmi no. 113). Jadi penulisan hadits itu sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan ini menunjukkan kegigihan mereka dalam menjaga hadits.
Adapun periode tabi'in yang menunjukkan kegigihan mereka dalam menjaga hadits, yang paling besarnya adalah pengumpulan / pembukuan hadits-hadits yaitu pada masa Umar ibnu Abdul Aziz dimana beliau memerintahkan para ulama pada masa itu seperti Abu Bakr ibnu Hazm, Ibnu Syihab Az Zuhry, dan yang lainnya untuk mengumpulkannya. Kemudian periode ahlul ilmi setelahnya (yang dikenal dengan masa tashnif) mereka menulis hadits-hadits dalam bentuk jawami' dan masanid, seperti Al Muwaththa` karya Imam Malik, Shohih Bukhori dan Muslim, juga Al Musnad karya Imam Ahmad, dan seterusnya. [Manhaj Istidlal 1/98-99]. Ini semua dilakukan dalam rangka menjaga keutuhan hadits-hadits. Wal hasil tidaklah ini termasuk perkara bid'ah. Wal ilmu indallah.
Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-17 Tahun ke-2 / 19 Maret 2004 M / 27 Muharrom 1425 H.