Generasi mayoritas para sahabat telah berlalu, namun kebid'ahan masih menyisakan babak yang baru. Bid'ah yang muncul di kurun kedua ini adalah bid'ah Al Irja` yang kemudian para pelakunya lebih dikenal dengan kelompok Murji`ah. Mayoritas kalangan para tabi'in dan sebagian kecil dari kalangan para sahabat yang masih ada menjumpai mereka.
Al Murji`ah adalah isim fa'il (dalam bahasa Arab) dari kata "arja`a" yang bermakna "akhara" (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat ancaman (wa'iid).
Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji`ah adalah karena prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat dan maksiat keimanan mereka sama, wal 'iyadzubillah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq halaman 202, Syarh Aqidah Al Wasithiyyah 365).
Tentu saja pemahaman dan cara berpikir mereka keliru, menyelisihi nash-nash Kitab dan Sunnah yang sarat dengan penyebutan bahwa iman meliputi ucapan, keyakinan, dan amalan atau disimpelkan oleh istilah para ulama iman adalah ucapan dan amalan bertambah dan berkurang, lagi pula faham mereka tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seluruh para sahabat. Berkata Al Imam Asy Syafi'i rahimahullah: "Adalah ijma' (kesepakatan) dari kalangan para sahabat dan tabi'in setelahnya serta orang-orang yang telah kami jumpai, semua mengatakan "Iman adalah ucapan, amalan, dan niat" (Majmu'ul Fatawa: 7/209 dari Taisirul Wushul: 76-77).
Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 9/237, "Ahlul fiqh dan hadits bersepakat bahwa iman adalah ucapan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali dengan niat, serta iman bertambah dan berkurang." (Dari Taisirul Wushul: 77).
Al Imam Al Barbahary berkata, "Siapa yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari faham Irja` (Murji`ah) secara total, awalnya dan akhirnya." (Syarhus Sunnah no. 159 halaman 128-129).
Kelompok Murji`ah tak jauh beda dengan ahlul bid'ah lainnya, yang pasti ciri khasnya berpecah belah. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka." (QS Al An'aam: 159).
Setidaknya ada dua aliran besar yang mengibarkan faham Murji`ah, satu di antaranya disebut dengan Murji`ah Qodariyyah yang dikampanyekan oleh tokoh-tokoh kondangnya seperti Abu Syamr, Muhammad ibnu Syabib, Ghailan, dan Shalih Qubbah. Kelompok ini adalah kelompok yang paling kufur di antara aliran yang berhaluan Murji`ah karena menyatukan antara dua kesesatan yakni Qodar dan Irja`.
Aliran lainnya terpecah menjadi lima, lain ladang lain belalang, lain pimpinan lain pula pemahaman, di antara lima aliran itu adalah:
- Kelompok Yunusiyyah, pimpinan Yunus bin 'Aun yang menyatakan bahwa iman ada di dalam hati dan lisan, yakni ma'rifat kepada Allah. Kelompok ini berpendapat bahwa sifat atau ciri-ciri keimanan, tidaklah dikatakan iman tidak pula dikatakan sebagian daripada iman.
- Kelompok Ghosaniyyah, pimpinan Ghosan Al Murji` yang berpendapat bahwa iman adalah ikrar atau kecintaan kepada Allah, mengagungkanNya serta meninggalkan bersikap sombong terhadapNya. Menurutnya pula iman akan bertambah dan tidak akan berkurang.
- At Tumaniyyah, pengikut Abu Mu'adz At Tumani yang menyatakan bahwa iman itu yang memelihara dari kekufuran, iman adalah sebuah nama bagi sifat-sifat atau ciri keimanan dimana siapa yang meninggalkan salah satu ciri darinya, maka telah kafir.
- Ats Tsaubaniyyah, kelompok ini dipimpin oleh Abu Tsauban Al Murji`, pemahamannya adalah bahwa iman itu ikrar, ma'rifat kepada Allah dan RosulNya dan kepada setiap apa yang dituntut oleh akal untuk mengerjakannya, bila akal tidak menuntut untuk mengerjakan maka ma'rifat dengannya bukan bagian dari iman.
- Kelompok Al Mirisiyyah, kelompok yang berhaluan Murji`ah dari negeri Baghdad pengikut Bisyr bin Ghiyats Al Mirisi, yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Dia juga mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan lisan. (Lihat Al Farqu bainal Firaq 202-207).
Para pembaca, wali-wali Allah yang tampil sebagai pembela agamaNya tidak akan pernah surut dan lenyap, meski gempuran para wali syaithan datang bertubi-tubi dengan beragam senjata kesesatan dan kebid'ahan. Allah berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS Al Hijr: 9).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ
"Akan tetap ada sekelompok dari umatku mereka nampak di atas kebenaran." (HR Muslim dari Tsauban).
Para tabi'in dan sebagian sahabat yang masih ada, mereka membantah habis syubhat-syubhat yang dibawa kaum Murji`ah. Ancaman regenerasi bid'ah ini sangat serius, terlebih di saat para pengusungnya berganti busana sehingga tak mudah untuk dikenali, tetapi perubahan busana ataupun nama tidak akan merubah hakikatnya.
Bid'ah-bid'ah yang telah lewat penyebutannya ternyata berbuntut, hingga setelah bid'ah Murji`ah, lahirlah bid'ah I'tizal. Bermula dari sebuah majlis ilmu yang dipimpin oleh Imam Al Hasan bin Yasar Al Bashri, didapati adanya dua orang yang membawa pemahaman menyimpang. Kedua orang itu adalah Washil bin 'Atha` Al Bashri yang memproklamirkan faham baru, bahwa adanya satu kedudukan di antara dua kedudukan (al manzilah baina manzilatain), menurutnya orang yang fasiq menempati kedudukan tersendiri, bukan mu`min bukan pula seorang yang kafir. Adapun keduanya adalah Amr bin Ubaid Al Bashri, ia berhaluan faham Qodariyyah, masing-masing menyimpang dari nash dan menuju akal.
Mereka berdua kemudian diusir dari majlisnya Hasan Al Bashri, akhirnya merekapun memisahkan diri bersama kebid'ahannya dari jalan Al Haq. Washil bin Atha` lalu menjadi pimpinan utama bid'ah I'tizal ini, dari peristiwa-peristiwa inilah maka lahir sebutan Mu'tazilah bagi gerakan Washil bin Atha` dan para pengikutnya. (Al Farqu bainal Firaq 20-21, lihat juga halaman 118-120).
Bid'ah ini terus merangsek dan berkembang di kalangan para adzkiyaa`, cendekiawan, dan ilmuwan, sampai akhirnya muncul sekumpulan kaum yang pinter namun keblinger, mereka mengelukan bahwa akal mempunyai peran yang independen di samping wahyu bahkan akal dinomorwahidkan di atas segalanya. Bila dibahasakan keadaan mereka di saat sekarang, mereka itu adalah kaum rasionalis sebuah pergeseran nama dari yang dulunya, yakni Mu'tazilah.
Kaum itu menyatakan pelaku dosa besar, ia bukan seorang mu`min -persis seperti ucapan Khawarij- namun bukan pula kafir, -mirip dengan ucapan Murji`ah- akan tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain (di satu kedudukan di antara dua kedudukan), ibarat seorang yang mengadakan satu perjalanan dari kotanya menuju kota lainnya, maka ia berada di tengah jalan yang bukan di kotanya bukan juga di kota yang ia tuju tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain.
Bersambung...
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-34 Tahun ke-2 / 16 Juli 2004 M / 28 Jumadil Ula 1425 H.