Jodoh adalah sebuah misteri. Siapapun tidak ada yang
mengetahui dengan pasti siapa jodohnya di masa yang akan datang. Jodoh adalah
salah satu dari sekian banyak perkara yang Allah subhanahu wa ta'ala
saja yang mengetahuinya. Tidak ada daya dan upaya yang dapat menyampaikan
seseorang pada harapan akan jodohnya kelak kecuali atas kehendak dan
pertolongan Allah.
Meskipun demikian, di dalam perkara ini sebenarnya Allah subhanahu
wa ta'ala telah memberikan sebuah janji dan gambaran tentang keadaan jodoh
seseorang secara keumumannya. Bahwasanya jodoh seseorang tidaklah akan
berbanding jauh dengan keadaan orang tersebut. Artinya, seseorang -in syaa
Allah- akan mendapatkan jodoh yang sepadan kebaikan atau keburukannya
dengan dirinya sendiri. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Al
Quran Surat An Nur: 26
ٱلْخَبِيثَـٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَـٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَـٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَـٰتِ
"Dan orang-orang yang jelek dari kalangan wanita hanya untuk orang-orang yang jelek dari kalangan laki-laki, dan orang-orang yang jelek dari kalangan laki-laki hanya untuk orang-orang yang jelek dari kalangan wanita. (Begitu pula) orang-orang yang baik dari kalangan wanita hanyalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan laki-laki, dan orang-orang yang baik dari kalangan laki-laki hanyalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan wanita."
SubhanAllah... betapa adilnya ketentuan Allah
tersebut. Setiap orang akan mendapatkan hasil dari kebaikan yang dilakukannya
jika ia melakukan kebaikan tadi ikhlas karena Allah semata. Tentunya definisi
baik dan buruk di sini bukanlah dari sisi pandang dan kacamata zhahir
(yang terlihat) manusia. Akan tetapi kebaikan dan keburukan menurut pandangan
Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga kalaulah yang terlihat secara zhahir
adalah sebaliknya, maka mestilah padanya ada sebab mengapa bisa demikian? Atau
mestilah padanya ada sebuah hikmah yang kadang hanya Allah yang mengetahuinya. Yang
terpenting harus kita yakini adalah bahwa janji Allah mesti akan didapatkan
oleh seseorang. Yaitu ketika pada diri orang tersebut tidak ada penghalang yang
dapat menghalanginya untuk mendapatkan janji Allah tersebut. Mengapa demikian?
Karena Allah adalah Dzat yang Maha Menepati Janji.
Jika demikian, tidak ada salahnya jika kita hendak melihat
keutamaan seseorang, maka kita melihat juga siapa jodoh yang Allah takdirkan
menemani hari-harinya. Apalagi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah,
الۡمَرۡءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلۡيَنۡظُرۡ أَحَدُكُمۡ مَنۡ يُخَالِلۡ
"Seseorang itu di atas agama kekasihnya, maka salah seorang dari kalian hendaknya melihat siapa orang yang dia kasihi."
Inilah yang akan kita coba tengok dari kisah niswah pada
kali ini. Kisah sahabiyah yang satu ini mungkin tidak terlalu banyak untuk
diungkapkan. Akan tetapi, jikalau kita mau melihat siapa saja jodohnya dalam
kehidupan dunia ini, maka kita tidak akan meragukan keutamaan dan kebagusan
agamanya. Beliau adalah Asma'
binti Umais radhiyallahu 'anha, seorang sahabiyah yang Allah
takdirkan menjadi istri para fudhalaa (orang-orang yang memiliki
keutamaan dalam agama).
Nama beliau adalah Ummu Abdillah Asma' binti Umais bin Ma'ad
bin Tamim bin Al Harist bin Ka'ab bin Malik bin Qahafah. Beliau termasuk
orang-orang pertama yang menyambut seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk berislam ketika cahaya Islam baru saja menyinari kota Mekkah.
Kala itu Asma' sudah menikah. Siapakah gerangan suami pertama beliau?
Suami pertama Asma' adalah sepupu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ja'far
juga termasuk orang-orang pertama yang bersegera menyambut cahaya Islam yang
datang ke Kota Mekkah. Cukup banyak kisah bertutur tentang suami pertama Asma'
ini. Ia dikenal sebagai seorang laki-laki yang memiliki banyak keutamaan.
Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya yang artinya,
"Engkau seorang yang sangat serupa dengan bentuk tubuhku dan
akhlakku."
Keutamaan Ja'far bin Abi Thalib dapat kita perhatikan ketika
berbagai tekanan dan rintangan diberikan oleh kafir Quraisy kepada siapa saja
yang mengikuti agama Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau termasuk
orang-orang yang tetap tegar dalam keislamannya. Hingga akhirnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan sebagian kaum muslimin untuk berhijrah ke
Negeri Habasyah agar dapat lebih mudah menjalankan agamanya. Ja'far bin Abi
Thalib radhiyallahu 'anhu membawa serta istrinya Asma' berhijrah ke
sana.
Habasyah adalah sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang
raja Nasrani yang terkenal adil dan bijaksana yaitu Raja Najasy. Sesampainya di
Habasyah pun kafir Quraisy tidak hentinya tetap berusaha menghalangi keberadaan
kaum muslimin di negeri tersebut. Diutuslah Amr bin Ash (yang kala itu belum
masuk Islam) untuk menghasut raja Najasy dan pemerintahannya agar membenci kaum
muslimin. Akibatnya, Raja Najasy memanggil utusan kaum muslimin untuk berdialog
dengannya. Ja'far bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu adalah sosok yang
dipilih kaum muslimin untuk urusan tersebut. Dengan kehendak Allah, kemudian
penjelasan-penjelasan yang disampaikan Ja'far tentang Islam kepada raja Najasy
akhirnya membuat kaum muslimin dimudahkan untuk tinggal dengan tenang di
Habasyah. Alhamdulillah... Sungguh jika kita simak dialog mereka, kita akan
mendapati bahwa suami pertama Asma' binti Umais adalah seorang laki-laki yang
berjiwa pemberani, kokoh dalam memegang kebenaran, serta fasih dalam bahasa,
dan tutur kata.
Tidak cukup sampai di situ, Ja'far bin Abi Thalib ketika
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin
telah berhijrah menuju Madinah, ia pun bersegera membawa Asma' beserta
anak-anak mereka menyusul ke Madinah. Ja'far juga termasuk salah seorang
sahabat yang mempunyai andil besar dalam berbagai peperangan kaum muslimin
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hingga akhirnya dalam
salah satu peperangan yang dikenal dengan nama Perang Mu'tah, peperangan
pertama antara pasukan Romawi dengan kaum muslimin, Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu mendapatkan syahid.
Seakan mendapatkan pertanda jalannya peperangan tersebut,
sebelum memberangkatkan pasukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berpesan agar komando pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu
'anhu, apabila dia gugur maka diambil oleh Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu, jika dia gugur juga maka diambil oleh Abdullah bin Rawahah radhiyallahu
'anhu. Dan benarlah apa yang sabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihu wa
sallam. Peperangan yang sangat dahsyat tersebut membuat 3 komandan pasukan
syahid di medan pertempuran, hingga kemudian akhirnya bendera kaum muslimin
dibawa oleh Khalid
bin Walid yang kala itu telah masuk Islam. Allah kemudian takdirkan mereka
memperoleh kemenangan. Adapun Ja'far bin Abi Thalib, tidak kurang dari 70 luka
ada di tubuhnya ketika jasadnya ditemukan. Semuanya ada di bagian depan dan
tidak ada satu lukapun di bagian punggungnya. Jasadnya dalam keadaan tertebas
kedua lengannya karena berusaha mempertahankan bendera kaum muslimin. Itulah
karenanya ia dijuluki Dzul Janahain (yang memiliki dua sayap), karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akibat
tertebas kedua tangannya dalam peperangan Mu'tah tersebut Allah mengaruniakan
kepada Ja'far dua sayap di surga. SubhanAllah...
Kehilangan suami tercinta dihadapi Asma' bintu Umais dengan
penuh keimanan. Dibesarkannya putra Ja'far dengan sepenuh kemampuannya. Hingga
akhirnya Allah takdirkan datang kepadanya lelaki kedua dalam kehidupannya. Yang
kedua inipun tak kalah keutamaannya. Bahkan beliau adalah seorang sahabat yang
dikatakan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam akan dijadikan sebagai
kekasihnya jika Allah memperkenankan ada kekasih bagi Nabi dari kalangan
sahabatnya. Dia adalah sahabat yang telah disepakati oleh seluruh ulama Ahlu
Sunnah wal Jama'ah sebagai manusia terbaik setelah Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam. Beliau adalah Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha memdampingi suami keduanya ini hingga pada masa-masa sulit, yaitu pada masa diangkatnya beliau radhiyallahu 'anhu sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Beban sebagai seorang khalifah tidaklah ringan. Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha berusaha menjalankan khidmatnya sebagai seorang istri bagi suaminya. Kedekatan dan kasih sayang di antara keduanya nampak terlihat terutama di saat-saat akhir kehidupan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Ketika ditimpa sakit yang sangat berat beliau berpesan agar Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha yang memandikan jasad beliau apabila beliau wafat. Agar Asma' membatalkan puasanya jika memang ditakdirkan kematian terjadi pada hari itu karena ketika Abu Bakar Ash Shiddiq berwasiat demikian Asma' dalam keadaan berpuasa.
Tak lama kemudian wafatlah khalifah pertama kaum muslimin di
hadapannya. Dengan tegar, sekalipun berurai air mata ia berusaha menjalankan
wasiat suaminya. Kemudian sekalipun ia sempat terlupa untuk membatalkan
puasanya, ketika ia teringat di waktu sore ia bersegera membatalkan puasanya
dalam rangka tetap ingin menjalankan ketaatan kepada suaminya. SubhanAllah...
Dari suami keduanya ini Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha juga
mendapatkan seorang putra.
Pesona dan daya tarik diri Asma' sebagai seorang muslimah
tidaklah pudar. Sepeninggal suami keduanya, Allah subhanahu wa ta'ala
kembali menakdirkan datang lelaki ketiga dalam kehidupannya. Beliau adalah
sahabat yang dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
dirinya bahwa kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa 'alaihimas salam. Dia adalah Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ali menikahi Asma' sepeninggal
istrinya Fathimah
binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keberadaan Asma' di sisi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu pun meninggalkan kesan-kesan yang baik bagi suaminya. Asma' berhasil
menumbuhkan kekaguman suaminya atas keamanahan dan kepandaiannya mengurus rumah
tangga dan anak-anaknya. Sebuah atsar teriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu bahwa beliau pernah berkata, "Tidak ada seorang yang aku percaya
dari kalangan wanita kecuali Asma' binti Umais." Juga sebuah atsar yang
menceritakan bagaimana Asma' berusaha melerai perdebatan di antara putra-putra
suaminya terdahulu. Ketika putra Ja'far dan Abu Bakar Ash Shiddiq berdebat
tentang siapa yang lebih mulia di antara bapak-bapak mereka, maka berkata Asma'
untuk menenangkan mereka, "Tidaklah aku melihat seorang pemuda dari
kalangan Arab yang lebih baik daripada Ja'far dan tidaklah aku melihat
seseorang dari kalangan tengah baya yang lebih baik daripada Abu Bakar." SubhanAllah...
ternyata -dengan izin Allah- perkataannya mampu membuat kedua putranya tersenyum
dan kembali bergandengan tangan. Ali bin Abi Thalib yang ketika itu melihat hal
tersebut memujinya seraya berkata sambil sedikit merajuk, "Engkau tidak menyisakan
sedikitpun untuk kami wahai Asma'!" Maka mendengar tanggapan suaminya
tersebut Asma' tidak kalah cerdiknya. Ia menimpali, "Sesungguhnya engkau
yang ketiga, tidak kurang kebaikannya daripada mereka." Maka Ali tersenyum
ridha akan jawaban istrinya tersebut dan berkata, "Jikalau engkau
mengatakan selain apa yang engkau katakan, sungguh aku akan memarahimu." SubhanAllah...
sungguh sebuah jawaban yang menggambarkan kecerdikan dan kebagusan akhlak
seorang istri kepada seorang suami.
Beban Asma' ketika bersuamikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhu tidak kalah beratnya. Terlebih suami ketiga Asma' ini, Allah
takdirkan mendapat amanah sebagai khalifah ke empat kaum muslimin. Pada masa
pemerintahannya, mereka dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang sangat
menguji keimanan. Asma' harus kembali kehilangan suami tercinta, bahkan
kehilangan salah seorang putranya yaitu Muhammad bin Abu Bakar. Namun Asma'
berusaha melewati masa-masa sulit tersebut dengan kekuatan iman. Ia berusaha
menahan gejolak hatinya untuk tetap sabar dan tidak melanggar apa-apa yang
Allah larang. Sampai-sampai kedua puting susunya mengeluarkan darah akibat
emosi yang berusaha ditahannya. SubhanAllah...
Demikianlah sosok Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha.
Seorang sahabiyah dengan kebaikan keimanan dan agama. Tidaklah Allah
menyandingkannya dengan orang-orang yang memiliki banyak keutamaan, kecuali
pada dirinya juga tersimpan keutamaan yang besar pula. Apalagi kebaikannya
diakui oleh para suaminya. Menjadi seorang istri yang mendampingi suami yang
memiliki peran-peran besar dalam dakwah dan agama bukanlah perkara yang mudah.
Istri dengan tugas demikian dituntut menjadi orang yang paham akan kesulitan,
kebutuhan, dan keadaan suami. Menjadi tempat bermusyawarah, yang dapat
menenangkan hati dan pikiran, yang pandai dalam mengurus keadaan rumah beserta
anak-anaknya. Sehingga tidak menjadikan beban yang justru memperberat langkah
suaminya. Sungguh bukan tugas yang ringan. Akan tetapi ketika semuanya
dijalankan semata dengan mengharap keridaan Allah subhanahu wa ta'ala,
janji Allah akan terbukti, yang baik akan mendapatkan yang baik pula. Hilang
yang pertama, bukan tidak mungkin Allah gantikan dengan yang baik lainnya.
Sekarang... tinggal bagaimana kita? Apakah kita cukup baik untuk mendapatkan
janji Allah tersebut? Allahu A'lam, hanya Allah yang mengetahuinya.
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk senantiasa memperbaiki keimanan
dan peribadatan kita kepada-Nya. Amin...
Sumber: Majalah Qudwah edisi 43 vol.04 2016 rubrik Niswah.
Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.