Emansipasi wanita di era ini seringkali digembar-gemborkan sebagai tanda kemajuan sebuah masyarakat. Kalaulah emansipasi ini sejalan dengan batasan syariat yang telah ditetapkan Allah, tentu baik dan akan berakibat baik pula. Namun, bila makna emansipasi identik dengan ketidakterimaan atas hukum Allah dan berkiblat pada kebebasan secara mutlak bagi kaum hawa, tentu ini adalah suatu bencana.
Bagi pejuang emansipasi, banyak hukum syariat yang “menurut mereka” adalah sebuah pengebirian kebebasan wanita. Larangan untuk banyak keluar rumah tanpa mahram, menutup diri dengan jilbab yang syari, persaksian dua orang wanita setara dengan seorang pria, dan sebagainya adalah tali kekang yang perlu dihilangkan.
Jangan salah sangka, dalam Islam wanita memiliki kedudukan mulia. Betapa banyak figur wanita yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya karena ketinggian kedudukan dan kemuliaan mereka. Namun, mereka bukanlah mulia karena emansipasi yang didengungkan orang-orang sekarang ini, namun mereka mulia karena kokohnya mereka dalam memegang prinsip agama mereka. Pada kesempatan ini kita akan menyebutkan sosok wanita shahabiyah yang menjadi figur teladan baik bagi kaum wanita demikian kaum lelaki.
Dialah Ummu Abdillah Asma binti Umais bin Ma’di bin Al Haris bin Taim bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah bin Amir bin Rabi’ah bin Amir bin Mu’awiyah bin Zaid bin Malik bin Basyar bin Wahabillah bin Syahran bin Afras bin Khalaf bin Khats’am bin Anmar Al Khats’amiyyah. Ibu beliau adalah Hindun bin Auf bin Zuhair bin Al Haris. Beliau adalah seorang wanita yang cerdas dan penyabar. Saudari beliau seibu, Maimunah binti Harits adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saudari beliau seibu lainnya adalah Salma binti Umais sebagai istri Hamzah bin Abdul Muththalib dan Ummu Fadl Lubabah yang menjadi istri Al Abbas bin Abdul Muththalib. Mereka adalah para wanita seibu yang memiliki suami-suami dari manusia-manusia pilihan. Tepatnya beliau adalah satu dari sembilan orang wanita yang seibu.
Beliau adalah wanita Quraisy yang masuk Islam di awal-awal waktu, tepatnya sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah di rumah Al Arqam. Sebagaimana kaum muslimin lainnya, Asma tak terlepas pula dengan gangguan musyrikin Quraisy hingga hal ini mendorongnya dan beberapa orang untuk berhijrah ke Negeri Habasyah. Tentu dengan seijin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berhijrah bersama suaminya Ja’far bin Abi Thalib yang merupakan juru bicara kaum muslimin di negeri itu. Karenanya, Asma’ termasuk muhajirin pertama. Pahit getir dalam menjalani hidup di negeri pengasingan tentulah dirasakan olehnya. Senikmat-nikmatnya tempat perantauan, lebih enak hidup di negeri sendiri. Begitu rindunya Asma terhadap tanah Arab dan penduduknya, terlebih di sana ada manusia terbaik yang senantiasa menasehati, membimbing, dan mengarahkan manusia kepada kenikmatan yang hakiki. Tentulah hidup dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kerinduan semua insan yang beriman.
Di tahun ketujuh Hijriyyah, masa penantian tibalah sudah. Setelah menjalani keterasingan di Negeri Habasyah, inilah saatnya untuk bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhijrah ke Negeri Madinah, dan membangun masyarakat Islam yang diimpikan. Beliaupun datang bersama dengan suami dan rombongan muhajirin Habasyah ke Negeri Madinah tepat dengan kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dengan gembira, “Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakan diriku, kedatangan Ja’far atau kemenangan Khaibar.” Dengan tibanya beliau di Negeri Madinah untuk berhijrah, maka beliau adalah salah seorang yang mengalami dua kali hijrah. Sebuah keutamaan yang agung.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Asma’ bintu Umais menikah dengan Ja’far bin Abi Thalib. Bersama Ja’far bin Abi Thalib –sang pemilik dua sayap, demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggelari beliau- beliau berhijrah ke Negeri Habasyah selama beberapa tahun lamanya. Dari perkawinannya dengan Ja’far lahirlah Abdullah, Muhammad dan Aunan. Lalu keduanya berhijrah ke Negeri Madinah. Pernikahan ini berakhir dengan wafatnya Ja’far dalam perang Mu’tah di negeri Syam.
Setelah meninggalnya Ja’far, beliaupun menikah dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Pernikahan ini terjadi setelah meninggalnya Ummu Rumman, istri beliau. Dari pernikahan ini lahirlah Muhammad bin Abi Bakar. Pernikahan ini berlangsung hingga meninggalnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Beliau sendirilah yang memandikan jenazah suaminya sesuai yang diwasiatkan oleh Abu Bakar sendiri.
Sepeninggal Abu Bakar, Asma’ bintu Umais menikah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Selain Ali adalah saudara dari suami beliau yang pertama (Ja’far) beliau tentu adalah juga sebagai paman bagi anak-anak beliau dari Ja’far. Selain itu Asma sendiri adalah seorang wanita yang dekat hubungannya dengan Fatimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah kepergian Fatimah inilah Ali bin Abi Thalib meminang Asma’. Dari pernikahan ini lahirlah Yahya bin Ali bin Abi Thalib dan Aun bin Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib begitu memuji Asma’ atas sikap beliau hingga beliau mengatakan tentangnya, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umais.” Demikianlah Asma’ di mata suami-suami beliau.
Dalam hal keilmuan, Asma tercatat telah meriwayatkan enam puluh hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak di antara laki-laki pilihan yang menimba ilmu dan hadis dari beliau. Di antara yang menimba ilmu dari beliau adalah Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu yang bertanya tentang tafsir mimpi dan beberapa perkara kepada beliau. Demikian juga Abu Musa Al Asy’ari, anak-anak beliau semisal Muhammad bin Abi Bakar, Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, cucu beliau Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Ummu Aun bintu Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib, keponakan beliau Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Syadaad, juga tabiin terkemuka semisal Said bin Musayyib, dan Urwah bin Zubair.
Asma’ menutup kehidupan setelah kematian putranya yang sangat beliau cintai, Muhammad bin Abi Bakar. Karena kematian Muhammad inilah yang menyebabkan Asma’ senantiasa dirundung kesedihan yang mendalam. Hingga hal tersebut memengaruhi kesehatan beliau dan menjadi penyebab kematian beliau. Radhiyallahu anha. [Ustadz Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 62 Vol.06 1437H-2016M rubrik Figur.