Kota Bashrah pada era generasi tabiin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenang sebagai salah satu di antara sekian kota terkaya kaum muslimin. Di antara faktor penyebabnya adalah karena melimpahnya harta ghanimah yang mereka dapatkan dari berbagai peperangan. Ditambah lagi penghasilan dari sektor pertambangan semakin membuat kota itu makmur dan maju secara ekonomi. Penduduk Bashrah pun ikut merasakan manfaat kondisi perekonomian kota tersebut. Namun tidak demikian halnya dengan seorang pemuda Bani Tamim. Semua kemudahan duniawi dan kemegahan yang ada di sana tidak membuatnya silau dan lalai dari akhirat. Dia adalah Amir bin Abdi Qais At Tamimi Al Anbari Al Bashri rahimahullah, seorang tokoh tabiin yang sangat zuhud dan berilmu.
GURU-GURUNYA
Amir rahimahullah pernah meriwayatkan dan mengambil ilmu dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Bahkan bermulazamah (menuntut ilmu dalam waktu lama) dengan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Beliau senantiasa bersama gurunya dalam berbagai kondisi demi ilmu agama.
Kesungguhan dalam menuntut ilmu akhirnya membuahkan hasil. Beliau menjadi seorang ulama yang kokoh ilmu dan amalnya. Bahkan sederetan nama ulama pun pernah meriwayatkan dari beliau seperti; Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah, Muhammad bin Sirin rahimahullah, Abu Abdirrahman Al Hubuli rahimahullah, dan yang lainnya.
AHLI IBADAHNYA UMAT INI
Sungguh tidak berlebihan dan mengada-ada apa yang dipredikatkan kepada Amir rahimahullah sebagai ahli ibadahnya umat ini. Al ‘Ijli rahimahullah berkata, “Amir adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan salah satu ahli ibadah dari kalangan tabiin. Ka’ab bin Al Ahbar rahimahullah berkata ketika melihat Amir di Negeri Syam, “Orang ini (Amir) adalah ahli ibadahnya umat ini.” Dan Imam Al Hasan Al Bashri pun pernah mempersaksikan hal di atas karena beliau langsung melihatnya sendiri. Al Hasan rahimahullah menuturkan bahwa Amir mengatakan kepada saudara-saudaranya, “Siapakah yang berkenan aku bacakan (Al Qur’an)?” Orang-orang pun mendatanginya lantas beliau membacakan Al Qur’an kepada mereka, lalu bangkit dan mengerjakan salat hingga tiba waktu salat Zhuhur. Kemudian beliau melakukan salat hingga Ashar. Setelahnya kembali beliau membacakannya kepada mereka sampai Maghrib lalu melakukan salat antara Maghrib dan setelahnya salat Isya. Setelah menjalani semua itu, Amir pun kembali ke rumahnya dan menyantap roti lalu tidur sebentar sebelum mengerjakan salat malam.
Sungguh luar biasa ibadah beliau sehingga bukan sesuatu yang berlebihan jika Ka’ab Al Ahbar menyatakan bahwa beliau adalah ahli ibadahnya umat ini. Begitu antusiasnya Amir dalam menjalankan berbagai ibadah hingga beliau pernah memohon kepada Allah agar syahwatnya terhadap wanita dicabut dan dilindungi dari bisikan setan dalam salat. Tentang hal ini Qatadah menuturkan, “Amir bin Abdi Qais pernah memohon kepada Rabbnya agar mencabut syahwatnya terhadap wanita dalam kalbunya. Maka Allah azza wajalla mengabulkan doanya sehingga ia tidak peduli ketika berjalan apakah yang dia jumpai laki-laki atau perempuan.” Hal ini disebabkan karena Amir merasa sangat takut terhadap fitnah wanita sehingga ia tidak ingin dirinya terjatuh dalam fitnah tersebut.
Pembaca yang budiman, perlu diketahui bahwa Amir bin Abdi Qais meninggalkan wanita bukan karena ingin menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sangat mengetahui Islam tidak mengajarkan kerahiban untuk bisa konsentrasi dalam beribadah sebagaimana hal ini dinafikan dalam Al Qur’an. Ada sebagian ulama tidak menikah karena satu dan lain hal seperti tidak sempat menikah karena tersibukkan dengan jihad atau dakwah dan lain sebagainya.
Amir pun pernah berdoa dan memohon kepada Allah azza wajalla agar menghalangi setan dari kalbunya ketika salat. Allah mengabulkan permohonannya sehingga setan tidak mampu mengganggunya ketika salat. Demikianlah niatan yang baik nan tulus telah mendorong Amir memohon kepada Allah subhanahu wa taala agar keinginannya dikabulkan. Kisah ini juga menunjukkan bahwa doa Amir didengar dan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa taala Rabb sekalian alam semesta.
Diriwayatkan dari Abul Husain Al Mujasyi’i ia berkisah bahwa ketika seseorang bertanya kepada Amir bin Abdi Qais, “Apakah engkau mengajak bicara dirimu sendiri dalam salat?” Amir menjawab, “Aku berbicara kepada jiwaku tentang keadaanku yang sedang menghadap Allah subhanahu wa taala.” Jawaban Amir menggambarkan bahwa ia bisa khusyuk dan konsentrasi dalam salatnya. Sehingga pikirannya tidak terus berkelana melayang teringat urusan-urusan duniawi. Suatu ketika Amir singgah di sebuah lembah bersama seorang ahli ibadah Habasyi. Lantas masing-masing keduanya melakukan salat di tempat masing-masing selama empat puluh hari sehingga keduanya tidaklah berkumpul kecuali untuk melaksanakan salat wajib.
Pembaca sekalian, dikenal sebagai ahli ibadah yang sangat menakjubkan pada malam hari tidak membuat Amir kehilangan semangat dan kehabisan tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa taala pada siang harinya. Demikianlah keseharian Amir bin Abdu Qais rahimahullah, di malam hari ia larut dalam munajat kepada Allah subhanahu wa taala dalam Qiyamul Lail (salat malam) sementara siang harinya tersibukkan dengan puasa, jihad, atau ibadah yang lainnya.
Simak persaksian Abu Qilabah berikut ini. Ada seseorang bertemu Amir dalam kondisi ia sedang tersibukkan dalam berbagai ibadah siang malam. Laki-laki itu tampak terkejut lantas bertanya kepada Amir, “Apa-apaan ini? Bukankah Allah subhanahu wa taala berfirman,
وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ أَزۡوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” [Q.S. Ar Ra’d: 38].
“Bukankah Allah subhanahu wa taala juga telah berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنۡسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Q.S. Adz Dzariyat: 56],” Jawab Amir kepada laki-laki tersebut.
Di siang harinya pun, Amir bagaikan singa tatkala ada panggilan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Beliau adalah pribadi yang sangat pemberani dan tidak mengenal rasa takut dalam membela kebenaran. Satu riwayat menyebutkan bahwa Amir pernah memohon kepada Allah subhanahu wa taala agar tidak diberi rasa takut kepada siapapun selain kepada Allah subhanahu wa taala. Doanya dikabulkan sehingga tidak ada yang ia takuti di langit dan bumi ini kecuali Allah subhanahu wa taala.
Abu ‘Imran Al Jauni berkisah, “Pernah ditanyakan kepada Amir bin Abdi Qais, “Sesungguhnya engkau selalu tidur di luar (rumah), apakah engkau tidak takut kepada singa?” Amir menjawab, “Sungguh aku malu kepada Rabbku jika aku punya rasa takut kepada selain-Nya.” Rasa takut benar-benar telah dicabut dari sanubari beliau. Padahal, rasa takut kepada binatang buas adalah rasa takut manusiawi yang sejalan dengan tabiat manusia. Adalah wajar seseorang takut kepada singa atau semisalnya. Karena, secara realita singa bisa membahayakan bahkan membunuh manusia. Hukum rasa takut semacam ini adalah mubah selama tidak menyebabkan pemiliknya meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang diharamkan.
Tahukah Anda, di antara kebiasaan beliau ketika akan berangkat jihad adalah mencari tahu siapa yang akan menyertainya dalam peperangan. Apabila Amir melihat ada kelompok pasukan yang membuatnya kagum, beliau pun meminta dan mempersyaratkan kepada mereka tiga hal untuk menemaninya. Yang pertama Amir meminta agar diizinkan menjadi pelayan untuk memenuhi kebutuhan mereka selama menjalani peperangan. Yang kedua beliau meminta agar menjadi muazin salat dalam safar yang mereka tempuh menuju medan perang. Kemudian yang ketiga adalah beliau mempersyaratkan kepada mereka supaya diberi izin menginfakkan harta kepada mereka sebatas kemampuannya.
Sosok tawadhu yang merefleksikan bahwa beliau bukanlah pribadi yang egois dan mementingkan diri sendiri. Meskipun mendapat predikat sebagai ahli ibadah, namun beliau juga semangat untuk beramal bagi kepentingan kaum muslimin secara umum. Semua ini menepis kesan bahwa beliau sebagai ahli ibadah hanya tersibukkan dengan ibadah yang manfaatnya terbatas hanya untuk dirinya sendiri. Meskipun ibadah memang menjadi rutinitasnya sehari-hari.
Adakalanya di siang hari Amir tersibukkan dengan ibadah salat sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa Amir tersibukkan dengan salat semenjak terbitnya matahari sampai Asar. Amir pun selesai dari salatnya dalam kondisi kedua kakinya membengkak lalu ia berkata kepada dirinya, “Wahai jiwa yang selalu memerintahkan kepada keburukan tidaklah engkau diciptakan melainkan untuk melakukan ibadah.”
UJIAN HIDUPNYA
Menjadi sunnatullah bahwa cobaan dan ujian pasti akan dihadapi setiap manusia apalagi seorang pejuang dan penyeru kebenaran. Cobaan ini bermula pada suatu hari ketika beliau berjalan menyusuri sebuah tanah lapang di Bashrah. Tiba-tiba beliau menyaksikan seorang ahlu dzimmi (orang kafir yang tidak memerangi Islam) sedang dianiaya sehingga beliau pun tidak tinggal diam dan melempar surbannya seraya menyatakan, “Aku tidak bisa melihat jaminan Allah (keamanan) terhadap ahlu dzimmi ini dilanggar sementara nyawaku masih dikandung badan.” Setelah diklarifikasi ternyata ahlu dzimmi itu sebagai pihak yang benar lantas Amir segera meminta pelaku kezaliman itu untuk melepaskan dan membiarkannya pergi.
Setelah peristiwa itu Amir mendapatkan tuduhan dan hasutan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan karena perbuatannya. Peristiwa inilah yang menyebabkan Amir diasingkan ke Negeri Syam atas perintah Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Namun demikian Amir tiada pernah menaruh dendam terhadap orang-orang yang punya andil atas pengasingan dirinya ke Syam. Bahkan beliau justru mendoakan kebaikan untuk mereka tatkala diberangkatkan menuju tempat pengasingan. Beliau mengatakan kepada saudara dan handai tolan yang mengiringi kepergiannya, “Sesungguhnya aku hendak berdoa maka aminilah doaku, ‘Ya Allah siapa saja yang memfitnahku, berdusta atas namaku, mengeluarkanku dari kotaku ini, dan memisahkanku dari saudara-saudaraku, maka perbanyaklah hartanya, sehatkanlah tubuhnya, dan perpanjanglah umurnya.”
AKHIR KEHIDUPANNYA
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Amir menangis tatkala akan meninggal dunia sehingga ada yang bertanya kepadanya, “Apa gerangan yang membuat Anda menangis?” Amir berkata, “Aku menangis bukan karena takut akan kematian dan tidak pula karena ambisi terhadap dunia. Namun aku menangis karena harus berpisah dengan hausnya menahan dahaga (karena puasa) di waktu tengah hari yang panas dan meninggalkan qiyamul lail.” Amir meninggal pada masa pemerintahan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Semoga Allah melimpahkan rahmat serta ampunan-Nya untuk beliau dan kita semua, Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 44 vol.04 2016 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.