Anugerah berupa ilmu dan amal saleh adalah anugerah terindah yang tak ternilai dengan harta duniawi seberapa pun banyaknya. Allah mengaruniakan nikmat besar ini kepada siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dengannya pula Allah memuliakan hamba betapapun statusnya dalam pandangan manusia dan inilah yang Allah janjikan dalam ayat-Nya yang artinya, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berimlu beberapa derajat.” [Q.S. Al Mujadalah: 11]
Tatkala Allah azza wajalla telah berkehendak untuk memilih dan memuliakan hamba-Nya dengan ilmu, maka tidak ada satu pun yang mampu mencegahnya. Tersebutlah seorang mantan budak yang akhirnya menjadi ulama besar di era generasi tabiin. Siapa lagi kalau bukan Atha’ bin Abi Rabah Aslam Al Quraisyi Al Makki rahimahullah yang dilahirkan pada pertengahan masa pemerintahan Utsman. Adapun nama asli ayahnya yang dikenal dengan Abi Rabah adalah Aslam bekas budaknya Habibah bintu Maisarah bin Abi Khutsaim. Atha’ pada awalnya adalah seorang budak yang berkulit hitam, berhidung pesek, dan lumpuh tangannya. Status beliau tatkala masih kecil adalah sebagai hamba sahaya milik seorang wanita di kota Mekah.
Talenta besar yang ada dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu agama pada diri Atha’ telah terlihat tatkala ia masih muda. Kesibukannya sebagai budak tidak melalaikan Atha’ dari kewajibannya mencurahkan waktu untuk belajar ilmu agama. Inilah gerangan yang membuat sang majikan akhirnya membebaskan Atha’ karena melihat semangat dan keseriusannya dalam beragama. Majikannya menaruh harapan besar kepada Atha’ agar kelak menjadi orang yang berguna untuk Islam dan kaum muslimin. Maka semenjak saat itu pula Atha’ memiliki kesempatan lebih maksimal untuk menimba ilmu agama setelah sebelumnya belenggu perbudakan membuat ruang geraknya terbatas.
Benar saja, sebagai wujud rasa syukurnya Atha’pun memanfaatkan peluang ini dengan semaksimal mungkin untuk mengambil ilmu dari para sahabat yang mulia seperti Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hakim bin Hizam, Rafi’ bin Khadij, Zaid bin Arqam, Shafwan bin Umayyah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jabir, Zaid bin Arqam dan sahabat-sahabat yang lain. Sangat banyak sahabat dan ulama tabiin yang bersua dengan Atha’ dan kesempatan ini tidak disia-siakan olehnya untuk meriwayatkan hadis. Oleh karenanya Atha’ pernah menyatakan, “Aku pernah berjumpa dengan dua ratus sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Atha’ rahimahullah dikenal sebagai sosok yang sabar sepanjang perjalanannya meriwayatkan hadis dan menuntut ilmu. Atha’ adalah cermin kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi rintangan menimba ilmu syar’i hingga beliau pun tidak memedulikan di mana tempat tinggalnya selama menuntut ilmu agama. Ibnu Juraij berkisah, “Masjid adalah tempat tidurnya Atha’ selama 20 tahun, berjuang memperdalam ilmu agama dan ia adalah orang yang paling bagus salatnya.”
Setelah sekian tahun lamanya berjuang dan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, maka jadilah Atha’ seorang imam dan mufti di tanah haram. Keilmuan beliau telah diakui dan dipersaksikan oleh ulama-ulama tabiin bahkan sahabat sekalipun. Tatkala ada sebagian penduduk Mekah yang datang menemui Ibnu Abbas untuk bertanya dan meminta fatwa kepadanya, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhupun menyatakan, “Wahai penduduk Mekah, kenapa kalian datang menemuiku untuk bertanya masalah agama padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?!”
Kaum muslimin terutama di Mekah sangat merasakan keberadaan Atha’ sebagai ulama dan mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai problematika yang mereka hadapi. Bahkan banyak ulama yang mencari majelisnya Atha’ untuk meriwayatkan hadis atau bertanya tentang urusan agama. Di antara ulama tabi’in yang pernah tercatat sebagai perawi sekaligus muridnya adalah Mujahid bin Jabr, Abu Ishaq As Sabi’i, Abu Az Zubair, Amr bin Dinar, Az Zuhri, Qatadah, Amr bin Syuaib, Malik bin Dinar, Al A’masy, Ayyub As Sikhtiyani, Manshur bin Al Mu’tamir, Yahya bin Abi Katsir, Abu Hanifah, Al Hakam bin Utaibah, dan masih banyak selainnya.
Meskipun Atha’ telah dikenal sebagai ulama besar dan mufti di tanah haram, namun hal ini tidak membuat beliau menjadi lupa diri apalagi sombong. Justru sebaliknya semakin banyak ilmu yang dimiliki seorang hamba maka akan menumbuhkan sifat tawadhu pada dirinya. Inilah keistimewaan ulama salaf para pendahulu kita yang saleh dari generasi sahabat dan setelahnya. Sungguh kita akan menjumpai mereka sebagai orang-orang yang sangat tawadhu meskipun ilmu mereka telah mencapai level yang sangat tinggi.
Abdul Aziz bin Rufai’ berkisah, “Atha’ pernah ditanya tentang suatu permasalahan.” Maka beliau pun menjawab, “Aku tidak mengetahui jawabannya.” Maka ada seseorang berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menjawab dengan pendapatmu sendiri.” Ia menjawab, “Sungguh aku malu kepada Allah untuk beragama di atas bumi ini dengan pendapatku sendiri.” Tentang sifat tawadhunya ini, Ibnu Abi Laila juga menuturkan, “Aku pernah datang menemui Atha’ lantas ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka para sahabatnya Atha’ merasa heran dengan peristiwa tersebut dan bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa engkau bertanya kepada orang itu.” Atha’ pun menjawab, “Apa yang kalian permasalahkan? Orang ini lebih berilmu dariku.”
Figur pemberani dalam menyuarakan kebenaran dan tulus dalam memberikan nasihat juga menjadi satu karakteristik Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah dalam berinteraksi dengan penguasa kaum muslimin. Al Ashmai berkisah, “Suatu hari Atha’ bin Abi Rabah masuk menemui Khalifah Abdul Malik yang sedang duduk di atas tempat istirahatnya, sementara di sekitarnya ada para pembesar kerajaan. Peristiwa ini terjadi di Mekah ketika sang Abdul Malik menunaikan ibadah haji di masa pemerintahannya.
Tatkala Abdul Malik melihat kedatangan Atha’, sang khalifah bergegas bangkit dan mengucapkan salam serta menyambut kehadirannya dengan hangat. Lantas Atha’ duduk di hadapan Abdul Malik dan sang Khalifah bertanya kepadanya, “Wahai Abu Muhammad (kunyahnya Atha’) apakah gerangan kebutuhanmu?” Atha’ menjawab, “Wahai Amirul Mukminin! Bertakwalah dengan menjauhi larangan Allah dan larangan Rasul-Nya. Jalanilah kepemimpinan dengan bijaksana dan bertakwalah kepada Allah terhadap urusan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar. Karena sungguh atas jasa merekalah Anda bisa duduk di atas singgasana ini. Bertakwalah kepada Allah terhadap urusan kaum muslimin yang menjaga tapal perbatasan karena mereka adalah bentengnya kaum muslimin. Perhatikanlah urusan-urusan kaum muslimin karena kelak Anda seorang diri akan ditanya tentang mereka. Dan bertakwalah kepada Allah dalam menyikapi siapa saja yang berada di depan pintu rumahmu (orang-orang yang membutuhkan bantuanmu) jangan Anda melalaikan mereka dan jangan menutup pintu untuk menghindar dari mereka.”
Khalifah Abdul Malik menyatakan, “Aku akan lakukan semua nasihatmu.” Maka Atha’ segera bangkit untuk pergi namun Khalifah Abdul Malik segera memegang tangannya seraya mengatakan, “Wahai Abu Muhammad! Sungguh dari tadi engkau hanya memintakan urusan orang lain kepadaku dan kami akan memenuhi permintaan mereka itu. Sekarang sebutkanlah apa yang menjadi kebutuhanmu?” Maka Atha’ menjawab, “Saya tidak mempunyai hajat kepada makhluk.” Lantas Atha’ keluar, maka Abdul Malik mengatakan, “Sungguh ini adalah kemuliaan, sungguh ini adalah kehormatan.”
Allah azza wajalla memberikan karunia umur yang panjang kepada Atha’ sehingga usianya mencapai lebih dari 80 tahun. Demikianlah Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah yang telah menghabiskan masa muda hingga lanjut usia dengan ilmu dan amal. Beliau adalah orang yang begitu zuhud terhadap dunia padahal jikalau mau, bisa saja Atha’ mencari dan mengumpulkan harta dunia. Umar bin Dzar menuturkan, “Aku belum pernah melihat orang seperti Atha’. Aku belum pernah melihatnya mengenakan gamis sama sekali dan aku belum pernah melihatnya memakai pakaian yang harganya senilai lima dirham.”
Masa tua telah tiba dan fisik pun melemah, namun tidak demikian dengan semangat ibadahnya. Ibnu Juraij mengatakan, “Aku menemani Atha’ selama delapan belas tahun dan fisiknya melemah setelah menginjak usia tua. Namun ia masih mampu berdiri melakukan salat dengan khusyuk dan membaca dua ratus ayat dari surat Al Baqarah tanpa bergerak sama sekali.” Atha meninggal dunia pada tahun 115 H dengan usia 88 tahun dan dimakamkan di kota tempat tinggalnya. Semoga Allah subhanahu wa taala mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya serta memberikan sebaik-baik balasan untuk beliau. Allahu A’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 46 vol 04 2017 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.