Cari Blog Ini

ZAINAB BINTU JAHSY RADHIYALLAHU ‘ANHA

Sesungguhnya ayah-ayah kalianlah yang menikahkan kalian. Adapun aku, Allah-lah yang menikahkanku dengan beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari atas langit ketujuh.

Dialah Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy bin Riab bin Ya’mur bin Shabirah bin Murrah bin Katsir bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah, dan ber-kuniah Ummul Hakam. Mulanya ia bernama Barrah, kemudian Rasulullah mengubah namanya dan memberinya nama Zainab. Ia dilahirkan tiga puluh tiga tahun sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dari rahim seorang ibu yang bernama Umaimah binti Abdil Muthalib bin Hasyim yang merupakan bibi Rasulullah. Adapun ayahnya bernama Jahsy adalah teman sejawat Abdul Muththalib, kakek Zainab dari jalur ibu. Tidak disebutkan bahwa kedua orang tua Zainab ini berislam.

Zainab memiliki saudara laki-laki yang bernama Abdullah bin Jahsy dan termasuk para shahabat yang terdahulu berislam. Di antara keutamaan lain Abdullah adalah bahwa dia merupakan shahabat pertama yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amanahi komando satuan pasukan yang beliau kirim, dia termasuk para shahabat yang ikut serta dalam perang Badar, dan dia gugur dalam pertempuran Uhud. Zainab juga memiliki saudara laki-laki yang disebut Abu Ahmad. Abu Ahmad juga termasuk dalam golongan As Sabiqunal Awwalun. Saudara laki-laki Zainab yang lain adalah Ubaidullah. Dia berislam dan berhijrah bersama istrinya yaitu Ummu Habibah ke negeri Habasyah, kemudian meninggal dunia di sana. Namun dikisahkan bahwa Ubaidullah murtad dan memeluk agama nasrani, meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa dia tetap beragama Islam hingga akhir hidupnya. Selain mereka, Zainab memiliki saudari yang bernama Hamnah.

Zainab termasuk golongan yang segera menyatakan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal-awal dakwah Islam. Ia berhijrah dari Makkah ke Madinah setelah Nabi berhijrah ke sana. Saat di Madinah, Rasulullah melamarkan wanita yang rupawan ini untuk diperistri oleh Zaid bin Haritsah, Sang Kekasih Rasulullah, dengan tujuan agar Zaid mengajarinya Al Qur’an dan Sunah. Awalnya Zainab menolak dengan alasan adanya perbedaan status sosial, dia adalah wanita merdeka yang bernasab mulia, sementara Zaid adalah salah seorang maula yakni bekas budak. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat (artinya), “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [Q.S. Al Ahzab: 36] Mendengar firman Allah ini, dengan tanpa ragu Zainab menyatakan menerima pinangan tersebut. Zaid pun menikahinya dengan mahar 10 dinar, 60 dirham, 1 kerudung, 1 jubah, 1 gaun, 50 mud bahan makanan, dan 10 mud kurma. Pernikahan ini menjadi sebuah teladan dalam menghapuskan diskriminasi sosial yang telah mentradisi semenjak sebelum datangnya Islam.

Kurang lebih satu tahun bahtera rumah tangga telah mereka jalani. Namun Allah menakdirkan timbul gesekan yang mengancam keberlangsungan ikatan itu di antara mereka, begitu kuatnya hingga membuat mereka ingin segera mengakhiri perjalanan hidup bersama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan kepada Zaid untuk bersabar dan tidak menceraikannya. Tetapi Zaid merasa tak sanggup lagi hidup bersama dan memilih untuk berpisah dengannya.

Pernikahan Rasulullah dengan Zainab Binti Jahsy


Setelah Zainab ditalak oleh Zaid bin Haritsah dan selesai masa idahnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, “Aku tidak mendapati seorang pun yang lebih aku percaya daripada engkau. Datangilah Zainab dan lamarkanlah dia untukku!” Tanpa berat hati Zaid berangkat melaksanakan titah Nabi agar menyampaikan pesan itu kepada mantan istrinya sendiri. Tapi suasana hati Zaid terhadap Zainab kali ini berbeda. Dia menjadi sangat segan kepadanya, sebab Rasulullahlah yang ingin menikahinya. “Bergembiralah wahai Zainab. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangmu.” ungkap Zaid. Zainab menjawab, “Aku tidak akan memutuskan apa pun sampai aku memohon pilihan yang terbaik kepada Rabb-ku.” Lalu dia menuju tempat salat di rumahnya dan melaksanakan shalat istikharah. Kemudian turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya), “Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah Allah beri nikmat kepadanya dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Terus pertahankanlah istrimu! Dan bertakwalah kepada Allah!’ Sementara engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang akan Allah tampakkan (yaitu bahwa kalau dia menceraikannya engkau akan menikahinya) dan engkau takut kepada manusia dengan menutup-nutupi apa yang ada dalam hatimu), sedang Allahlah yang lebih berhak engkau takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya kepada istrinya (tidak lagi berhasrat kepadanya dan menceraikannya) Kami nikahkan engkau dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikah) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan mereka terhadap istri-istri mereka. Dan ketetapan Allah itu pasti terlaksana.” [Q.S. Al Ahzab: 37]

Dengan ayat yang selalu dibaca oleh kaum muslimin hingga akhir zaman ini, Allah mengesahkan Zainab sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari atas langit yang tujuh. Suatu keistimewaan bagi Zainab yang tak akan mungkin lagi diraih oleh manusia selainnya. Dan dengan itu pula ia bergelar Ummul Mukminin, Ibunda Kaum Mukminin. Diceritakan bahwa tatkala sampai kepadanya berita bahwa ia dinikahkan oleh Allah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersujud syukur dan bernazar untuk berpuasa selama dua bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidangkan daging kambing dan roti untuk walimatul ‘ursnya. Peristiwa itu terjadi di awal bulan Dzulqa’dah tahun lima Hijriah.

Pernikahan yang sangat istimewa. Namun orang-orang munafik justru memandangnya sebagai kesempatan untuk menikam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Muhammad mengharamkan seseorang menikahi mantan istri anaknya, sementara dia menikahi mantan istri anaknya sendiri.” kritik mereka. Kala itu Zaid memang dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad karena Nabi Muhammad pernah mengangkatnya sebagai anak. Lalu Allah membantah mereka dalam firman-Nya (artinya), “Muhammad itu sekali-kali bukanlah ayah dari salah seorang dari kalian, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup para nabi.” [Q.S. Al Ahzab: 40]. Dalam ayat yang lain Allah juga melarang dinisbahkan seorang anak kepada selain orang tua kandungnya. Demikianlah keadaan kaum munafikin, mereka tak mungkin sanggup untuk terus menutup-nutupi kebusukan keyakinan mereka yang sebenarnya. Kian hari penyakit-penyakit hati mereka kian tersingkap dan terbongkar serta tersaksikan oleh kaum mukminin yang jujur. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kemunafikan.

Kedudukan Zainab dan Keutamaannya


Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan lebih dari satu ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan Zainab Binti Jahsy dalam beberapa peristiwa yang berbeda. Hal itu menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah. Di antaranya adalah ayat 37 dari Surat Al Ahzab tentang pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah lalu. Yang lainnya adalah ayat 53 dari Surat Al Ahzab yang dikenal dengan Ayat Hijab, yang turun saat ada beberapa tamu undangan menghadiri walimah pernikahannya dengan Nabi lantas berlama-lama dan tidak kunjung pergi. Sebagaimana beberapa ayat pertama dari Surat At Tahrim turun lantaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya meminum madu demi menjaga perasaan sebagian istri-istri beliau, setelah sebelumnya beliau duduk lama bersama Zainab di rumahnya karena dia menyuguhkan kepada beliau madu, minuman yang amat beliau gemari.

Zainab adalah sosok yang mendapatkan posisi tinggi di mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Tak satu pun dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamaiku dalam memperoleh baiknya kedudukan di sisi beliau selain Zainab binti Jahsy. Aku tidak pernah melihat seorang wanita pun yang lebih baik keberagamaannya, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur ucapannya, lebih gemar menyambung tali silaturahmi, lebih banyak sedekahnya, dan lebih besar pengorbanan dirinya dalam amalan yang mendekatkan kepada Allah selain Zainab.” Diriwayatkan bahwa Nabi Muhamamad shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan Zainab sebagai wanita yang awwahah, yakni sangat khusyuk dan gemar berdoa dengan penuh permohonan dan kerendahan hati.

Zainab adalah seorang wanita yang dikenal sangat suka bersedekah lagi zuhud terhadap dunia. Suatu ketika ia mendapatkan kiriman uang senilai 12 ribu dirham dari Sang Khalifah Umar bin Al Khaththab di masa pemerintahannya. Setelah uang itu sampai kepadanya, ia terkejut dan khawatir tergoda dengan harta dan dunia. Lalu ia pun segera membagi-bagikan seluruhnya kepada kerabat-kerabatnya dan orang-orang yang membutuhkan. Kemudian ia berdoa agar tidak lagi menjumpai pemberian dari Umar setelah tahun itu. Ia pun wafat tak lama setelah itu. Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau sempat berkata kepada istri-istrinya yang artinya, “Yang paling cepat menyusulku (meninggal setelahku) di antara kalian adalah yang memiliki tangan terpanjang di antara kalian.” Setelah Rasulullah wafat mereka kerap menjulur-julurkan tangan dan mengukur siapakah yang memiliki tangan paling panjang. Tatkala Zainab meninggal lebih dulu pada tahun dua puluh hijriah sementara tangannya bukanlah yang terpanjang, mereka menyadari bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah istri beliau yang paling banyak bersedekah dan beramal dengan tangannya. Bahkan menjelang meninggal Zainab berpesan, “Aku telah memiliki kain yang bisa digunakan untuk kafanku. Jika Umar mengirimkan untukku kain kafan maka sedekahkanlah salah satunya. Bila kalian telah menguburkanku, jika kalian bisa menyedekahkan sarungku maka lakukanlah.” Zainab tidak meninggalkan sepeser uang pun. Ia menyedekahkan semua yang bisa ia sedekahkan, selain rumahnya yang kemudian diganti rugi dengan lima puluh ribu dirham oleh Al Walid bin Abdil Malik, khalifah keenam Daulah Umawiyyah, dalam proyek perluasan Masjid Nabawi. Zainab juga disebut-sebut sebagai pengayom orang-orang miskin.

Zainab meninggal di Madinah, dan penyelenggaraan salat jenazahnya dipimpin oleh Sang Khalifah kala itu, yaitu Umar bin Al Khaththab. Kemudian pelaksanaan pemakamannya dilakukan oleh empat orang mahramnya. Mereka adalah Muhammad bin Abdillah bin Jahsy, Usamah bin Zaid, Abdullah bin Abi Ahmad bin Jahsy, dan Muhammad bin Thalhah bin Ubaidillah putra saudari Zainab yang bernama Hamnah. Wallahu a’lamu bish-shawab. [Ustadz Abu Haidar Harits]

Sumber: Majalah Tashfiyah vol.06 1438H-2017M edisi 70 rubrik Figur.