Bab Istinja` dan Adab Buang Hajat
Disunnahkan jika masuk WC agar mendahulukan kaki kiri, kemudian mengucapkan,
بِسۡمِ اللهِ أَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Dengan nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”[1] Jika keluar dari WC, mendahulukan kaki kanan lalu mengucapkan,
غُفۡرَانَكَ، الۡحَمۡدُ للهِ الَّذِي أَذۡهَبَ عَنِّي الۡأَذَى وَعَافَانِي
“Aku memohon ampunanMu ya Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan yang telah menyehatkanku.”
Dan bertumpu ketika duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, dan menutup diri dengan dinding atau selainnya, atau menjauh jika berada di tempat terbuka.
Tidak halal buang hajat di jalan, di tempat yang biasa buat duduk orang-orang, di bawah pohon yang berbuah, atau di tempat yang dapat menyebabkan orang-orang terganggu. Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika dia menunaikan hajatnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian masuk WC, maka jangan menghadap kiblat ketika kencing atau buang air besar, dan jangan pula membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur atau barat.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).
Jika sudah selesai menunaikan hajatnya, lalu dia bercebok (istijmar) dengan tiga batu atau semacamnya sehingga dapat membersihkan kemaluannya, kemudian cebok dengan air. Cukup untuk bercebok dengan salah satunya. Tidak boleh istijmar menggunakan kotoran hewan dan tulang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hal itu. Demikian pula tidak boleh istijmar dengan sesuatu yang memiliki kemuliaan.
Pada saat mencuci najis pada badan, pakaian, tempat, atau selainnya, cukup untuk menghilangkan zat najis itu dari tempatnya. Karena Allah tidak mensyaratkan untuk mencuci najis berkali-kali kecuali pada najis anjing. Allah mensyaratkan padanya tujuh kali cucian, salah satunya menggunakan tanah.
Dan benda-benda yang najis adalah kencing dan kotoran manusia, dan darah. Kecuali darah yang sedikit, hal itu dimaafkan. Contoh darah yang najis adalah darah yang mengalir pada hewan-hewan yang dimakan, selain darah yang tersisa di daging dan urat, darah yang tersisa ini suci.
Termasuk najis adalah kencing dan kotoran hewan yang haram dimakan, semua binatang buas adalah najis, demikian pula bangkai-bangkai, kecuali mayat manusia, bangkai yang tidak memiliki darah mengalir, ikan, belalang, karena bangkai-bangkai tersebut suci. Allah ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah.” (QS. Al-Maa`idah: 3). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجَسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا
“Seorang mu`min itu tidak najis baik ketika hidup maupun sudah mati.” Beliau bersabda,
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang. Adapun dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Adapun kotoran dan kencing hewan yang dimakan, maka itu suci.
Mani manusia adalah suci. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci mani yang masih basah dan mengeriknya apabila sudah kering. Kencing anak kecil laki-laki yang belum makan makanan tambahan cukup untuk diperciki, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
“Yang terkena kencing anak kecil perempuan dicuci dan yang terkena kencing anak kecil laki-laki diperciki.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i).
Jika zat najisnya sudah hilang, berarti sudah suci. Adapun sisa warna dan bau tidak mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khaulah binti Yasar tentang darah haidh,
يَكْفِيكِ الْمَاءُ، وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Air cukup bagimu, adapun bekas haidhnya tidak mengapa.”
[1] HR. Al-Bukhari (142) dan Muslim (375) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tanpa basmalah. Bacaan basmalah datang dengan sanad yang shahih di atas syarat Muslim riwayat Al-’Umari dari hadits Anas, sebagaimana di dalam Fathul Baari (1/244).
[2] HR. Al-Bukhari (394) dan Muslim (264) dari hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu.