الۡحَدِيثُ الثَّانِي وَالثَّلَاثُونَ
٣٢ – عَنۡ أُمِّ سَلَمَةَ زَوۡجِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَتۡ: جَاءَتۡ أُمُّ سُلَيۡمٍ –امۡرَأَةُ أَبِي طَلۡحَةَ- إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهَ لَا يَسۡتَحۡيِي مِنَ الۡحَقِّ هَلۡ عَلَى الۡمَرۡأَةِ مِنۡ غُسۡلٍ إِذَا هِيَ احۡتَلَمَتۡ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (نَعَمۡ، إِذَا هِيَ رَأَتِ الۡمَاءَ)[1].
32. Dari Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Ummu Sulaim istri Abu Thalhah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi apabila ia bermimpi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, jika ia melihat cairan (mani).”
الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِيُّ:
جَاءَتۡ أُمُّ سُلَيۡمٍ الۡأَنۡصَارِيَّةُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ لِتَسۡأَلَهُ.
وَلَمَّا كَانَ سُؤَالُهَا مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالۡفُرُوجِ، وَهِيَ مِمَّا يُسۡتَحۡيَا مِنۡ ذِكۡرِهِ عَادَةً قَدَّمَتۡ بَيۡنَ يَدَيۡ سُؤَالِهَا تَمۡهِيدًا لِإِلۡقَاءِ سُؤَالِهَا حَتَّى يَخِفَّ مَوۡقِعُهُ عَلَى السَّامِعِينَ، فَقَالَتۡ: إِنَّ اللهَ جَلَّ وَعَلَا وَهُوَ الۡحَيِيُّ، لَا يَمۡتَنِعُ مِنۡ ذِكۡرِ الۡحَقِّ الَّذِي يُسۡتَحۡيَا مِنۡ ذِكۡرِهِ مِنۡ أَجۡلِ الۡحَيَاءِ، مَا دَامَ فِي ذِكۡرِهِ فَائِدَةٌ.
فَلَمَّا ذَكَرَتۡ أُمُّ سُلَيۡمٍ هٰذِهِ الۡمُقَدِّمَةَ الَّتِي لَطِفَتۡ بِهَا سُؤَالَهَا، دَخَلَتۡ فِي صَمِيمِ الۡمَوۡضُوعِ، فَقَالَتۡ: هَلۡ عَلَى الۡمَرۡأَةِ غُسۡلٌ إِذَا هِيَ تُخَيَّلَتۡ فِي الۡمَنَامِ أَنَّهَا تُجَامِعُ؟
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: نَعَمۡ، عَلَيۡهَا الۡغُسۡلُ، إِذَا هِيَ رَأَتۡ نُزُولَ مَاءِ الشَّهۡوَةِ.
Makna secara umum:
Ummu Sulaim Al-Anshariyyah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya kepada beliau. Ternyata pertanyaan Ummu Sulaim mengenai perkara yang berkaitan dengan kemaluan dan ini secara adat termasuk perkara yang malu untuk disebutkan. Maka Ummu Sulaim pun mengawali sebelum pertanyaan itu dengan sebuah pengantar untuk menyampaikan pertanyaannya sehingga penyebutannya lebih ringan bagi para pendengar. Ummu Sulaim berkata: Sesungguhnya Allah jalla wa ‘ala, Dia adalah Maha Pemalu, tidak mencegah dari menyebutkan kebenaran yang tabu untuk disebutkan karena malu, selama ada faidah dalam penyebutan hal itu.
Setelah Ummu Sulaim menyebutkan pendahuluan yang memperhalus pertanyaannya, beliau masuk ke inti permasalahan. Beliau bertanya: Apakah wanita wajib mandi apabila dikhayalkan ia berhubungan suami istri dalam tidurnya? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, dia wajib mandi jika dia melihat keluarnya mani.”
مَا يُؤۡخَذُ مِنَ الۡحَدِيثِ:
١ – أَنَّ الۡمَرۡأَةَ عَلَيۡهَا الۡغُسۡلُ حِينَ تَحۡتَلِمُ، إِذَا أَنۡزَلَتۡ وَرَأَتِ الۡمَاءَ.
٢ – أَنَّ الۡمَرۡأَةَ تُنۡزِلُ كَمَا يُنۡزِلُ الرَّجُلُ، وَمِنۡ ذَاكَ يَكُونُ الشِّبۡهُ فِي الۡوَلَدِ، كَمَا أَشَارَ إِلَى هٰذَا بَقِيَّةُ الۡحَدِيثِ.
٣ – إِثۡبَاتُ صِفَةِ الۡحَيَاءِ لِلهِ جَلَّ وَعَلَا، إِثۡبَاتًا يَلِيقُ بِجَلَالِهِ، عَلَى أَنَّهُ لَا يَمۡتَنِعُ تَعَالَى مِنۡ قَوۡلِ الۡحَقِّ لِأَجۡلِ الۡحَيَاءِ. قَالَ ابۡنُ الۡقَيِّمِ فِي الۡبَدَائِعِ: إِنَّ صِفَاتِ السَّلۡبِ الۡمَحۡضَ لَا تَدۡخُلُ فِي أَوۡصَافِهِ تَعَالَى، إِلَّا إِذَا تَضَمَّنَتۡ ثُبُوتًا، وَكَذٰلِكَ الۡإِخۡبَارُ عَنۡهُ بِالسَّلۡبِ، كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَا تَأۡخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوۡمٌ﴾ [البقرة: ٢٥٥] فَإِنَّهُ يَتَضَمَّنُ كَمَالَ حَيَاتِهِ وَقَيُّومِيَّتِهِ. اهـ.
٤ – أَنَّ الۡحَيَاءَ لَا يَنۡبَغِي أَنۡ يَمۡنَعَ مِنۡ تَعَلُّمِ الۡعِلۡمِ، حَتَّى فِي الۡمَسَائِلِ الَّتِي يُسۡتَحۡيَا مِنۡهَا.
٥ – أَنَّ مِنَ الۡأَدَبِ وَحُسۡنِ الۡمُخَاطَبَةِ، أَنۡ يُقَدَّمَ أَمَامَ الۡكَلَامِ الَّذِي يُسۡتَحۡيَا مِنۡهُ مُقَدِّمَةٌ تُنَاسِبُ الۡمَقَامَ، تَمۡهِيدًا لِلۡكَلَامِ لِيَخِفَّ وَقۡعُهُ، وَلِئَلَّا يُنۡسَبُ صَابِحُهُ إِلَى الۡجَفَاءِ.
Faidah hadits:
- Wanita wajib mandi ketika bermimpi, jika keluar mani dan melihat cairan mani.
- Wanita juga mengeluarkan mani seperti laki-laki. Dari mani inilah terjadi kemiripan anak sebagaimana ditunjukkan kelanjutan hadits ini.
- Penetapan sifat malu bagi Allah jalla wa ‘ala. Penetapan yang pantas dengan keagunganNya. Yaitu, bahwa Allah ta’ala tidak melarang untuk menyebutkan kebenaran karena rasa malu. Ibnul Qayyim berkata di dalam Al-Bada`i’: Sesungguhnya sifat yang dinafikan dari Allah semata tidak masuk ke dalam sifat-sifat Allah ta’ala, kecuali apabila mengandung penetapan. Demikian pula pengabaran tentang sifat Allah dengan penafian, seperti firman Allah ta’ala yang artinya, “tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. Al-Baqarah: 255). Ayat ini mengandung penetapan sifat kesempurnaan hidup dan berdiri sendiri bagi Allah.
- Rasa malu tidak sepantasnya menghalangi dari mempelajari ilmu, sampai pun dalam permasalahan yang malu untuk disebutkan.
- Termasuk adab dan keindahan dalam percakapan adalah memberi pendahuluan di awal pembicaraan yang memunculkan rasa malu dengan sebuah pengantar yang sesuai. Dalam rangka mempermudah pembicaraan dan memperingan penyampaian. Dan supaya si pembicara ini tidak disifati dengan sifat kaku.
[1] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (١٣٠) فِي الۡعِلۡمِ، وَ(٢٨٢) فِي الۡغُسۡلِ، وَمُسۡلِمٌ (٣١٣) فِي الۡحَيۡضِ، وَرَوَاهُ أَيۡضًا أَبُو دَاوُدَ (٢٣٧) فِي الطَّهَارَةِ، وَابۡنُ مَاجَهۡ (٦٠١) فِي الطَّهَارَةِ، وَأَحۡمَدُ فِي (الۡمُسۡنَدِ) (٦/٣٠٢).