Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ubaidillah Al-Baghdadi Al-Hanbali rahimahullah dengan kunyah Abul Faraj. Beliau adalah seorang Imam dan Hafizh di masanya dengan sekian banyak kelebihan. Bahkan secara nasab beliau tergolong orang yang mulia karena nasabanya sampai kepada sahabat Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Nasab beliau secara lengkap adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdillah bin Hammadi bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far bin Abdillah bin Al-Qasim bin An-Nadhr bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abdillah bin Al-Faqih Abdirrahman bin Al-Faqih Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq Al-Qurasyi At-Taimi Al-Bakri Al-Baghdadi Al Hanbali. Sebutan Ibnu Al-Jauzi (anak kelapa) ini dinisbatkan kepada salah satu kakeknya yang bernama Ja’far. Karena ia adalah satu-satunya pemilik pohon kelapa di Wasith.
Beliau dilahirkan pada tahun 510 H atau bertepatan dengan 1116 M semasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Tempat kelahiran beliau adalah Darbu Habib yang terletak di Kota Baghdad. Ayahanda Ibnu Jauzi meninggal ketika beliau masuk berusia tiga tahun sehingga beliau diasuh oleh bibinya. Dibawalah beliau kepada Al-Hafizh Ibnu Nashir dan banyak mengambil faedah ilmu darinya. Adapun terkait dengan ilmu Al-Quran dan adab, beliau menimba ilmu kepada Bisth Al-Khayyath. Beliau juga belajar ilmu fikih kepada Ibnul Jawaliqi dan ulama yang lainnya. Beliau mulai mendengar dan belajar ilmu hadis pada usia enam belas tahun. Bahkan dalam usianya yang masih tujuh belas tahun beliau sudah mulai menulis kitab.
Guru-guru beliau cukup banyak, di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Husain bin Muhammad Al-Bari’, Ali bin Abdul Wahid Ad-Dinawari, Ahmad bin Ahmad Al-Mutawakkili, Ismail bin Abu Shalih Al-Muadzin, Al-Faqih Abul Hasan bin Az-Zaghuni, Hibatullah bin Ath-Thabari Al-Hariri, Abu Ghalib bin Al-Banna’, Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Mazrafi, Abu Ghalib Muhammad bin Al-Hasan Al-Mawardi dan masih banyak yang lainnya. Beliau menjadi seorang ulama yang sangat mumpuni dan lihai dalam menyampaikan nasihat. Dan hal itu telah nampak semenjak beliau masih kecil. Sehingga berbagai majelis beliau dihadiri oleh para raja, menteri, khalifah, dan ulama besar di zamannya.
Majelis beliau tidak pernah kurang dari ribuan hadirin. Bahkan dikisahkan bahwa hadirin di majelisnya pernah mencapai seratus ribu orang. Para hadirin terkesima, ada juga yang menangis karena mendengar apa yang beliau sampaikan. Bahkan ada seorang hadirin yang meninggal dunia di majelis beliau karena nasihat beliau yang begitu menyentuh jiwa dan hati. Hal ini mengingatkan kita kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada di antara penjelasan manusia itu yang bisa menyihir pendengarnya. Ini lah salah satu keistimewaan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Ibnul Jauzi.
Adapun para ulama yang meriwayatkan dan menimba ilmu dari beliau juga banyak. Di antaranya adalah putra beliau Al-Allamah Muhyiddin Yusuf dan juga putra beliau yang lainnya yaitu Ali An-Nasikh. Cucu beliau Syamsudin Yusuf bin Quzghuli Al-Hanafi pemilik kitab Miratuz Zaman. Demikian halnya ulama-ulama terkenal saat itu seperti Al-Hafizh Abdul Ghani, Syaikh Muwaffaquddin Ibnu Qudamah, Ibnu Dubaitsi, Ibnu Najjar, Ibnu Khalil, Adh-Dhiya, An Najib Al-Harrani dan masih banyak yang lainnya.
Ibnul Jauzi adalah seorang ulama yang sangat mumpuni dalam menyampaikan nasihat. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala, “Ibnul Jauzi adalah seorang pemimpin dalam memberikan nasihat. Ia mampu menyampaikan syair dan prosa yang sangat indah secara tiba-tiba (tanpa persiapan) dengan panjang lebar. Apa yang beliau sampaikan begitu mengagumkan, menyenangkan, luar biasa, dan tidak ada yang semisal dengan beliau sebelum atau sesudahnya. Dialah pembawa bendera nasihat, menguasai berbagai bidang ilmu. Ia memiliki penampilan yang bagus dan suara yang indah. Kata-katanya menyentuh jiwa manusia dan mempunyai reputasi yang baik. Ia adalah lautan dalam bidang ilmu tafsir. Sangat berilmu dalam bidang ilmu sejarah. Memiliki penyampaian yang baik, pengetahuan berbagai bidang ilmu. Seorang yang fakih dan berilmu tentang permasalahan ijma’ (kesepakatan) dan perselisihan ulama.”
Sederet gelar dan predikat disandangkan oleh para ulama kepada beliau. Di antaranya adalah Adz-Dzahabi, beliau mengatakan dalam biografinya, “Abul Farj Ibnul Jauzi Asy-Syaikh Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Mufassir Syaikhul Islam Mafkharul ‘Iraq[1].” Ibnu Ma’tuq menyatakan, “Ibnul Jauzi adalah seorang ulama yang mempunyai kecakapan dalam berbagai cabang ilmu. Sangat pandai dalam bidang prosa dan puisi melebih sastrawan dan ulama besar di masanya. Aku pikir tidak ada seorang yang bisa menandinginya di zaman tersebut.”
Karya tulis beliau juga sangat banyak dan bahkan bisa dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin hingga saat ini. Di antaranya adalah sebagai berikut Zadul Masir, Tadzkiratul Arib, Al-Wujuh wan Nadzair, Funun Al-Afnan, Jami’ul Masani, Uyunul Hikayat, At-Tahqiq fi Masailil Khilaf, Musykilus Shihah, Al-Maudhu’at, Adh-Dhu’afa, Shifatus Shafwah, Akhbarul Akhyar, Dzamul Hawa, Talbisul Iblis, Mutsirul Azmis Sakin, Al-Maq’ad Al-Muqim, Shaidul Khatir, Manafi’u Ath-Thib, An-Nasikh wal Mansukh, Manqib Abu Bakr, dan masih banyak yang lainnya.
Sejak usia muda memang Ibnul Jauzi telah dikenal sebagai pribadi yang taat beragama dan zuhud. Tidak suka membuang-buang waktu dan menyia-nyiakannya untuk berbagai perkara yang tidak bermanfaat. Beliau lebih suka menyendiri untuk membaca buku atau membuat karya tulis. Beliau tidaklah keluar melainkan untuk hal-hal yang penting seperti salat berjama’ah, berdakwah atau yang lainnya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau yang telah menghabiskan masa mudanya untuk menuntut ilmu, membuat karya tulis, dan menyampaikan nasihat kepada manusia.
Beliau mengatakan dalam Shaidul Khatir, “Barang siapa menginfakkan masa mudanya untuk menuntut ilmu, maka di masa tuanya nanti dia akan memuji hasil dari apa yang telah ia tanam. Dia juga akan menikmati hasil karya yang telah dia himpun. Dia tidak akan memandang sama sekali hilangnya kelezatan fisik yang dia rasakan bila dibandingkan kelezatan ilmu yang berhasil dia raih. Bersamaan dengan ini, dia juga merasakan kelezatan saat mencari ilmu agama.”
Beliau berkata, “Dan sungguh aku telah merenungi diriku dengan membandingkannya kepada keluargaku yang telah menghabiskan umur mereka untuk mencari dunia. Sementara aku menghabiskan masa kecil dan mudaku untuk menuntut ilmu. Maka aku melihat diriku tidak merasa kehilangan apa yang telah mereka raih, kecuali sesuatu yang seandainya aku meraihnya justru aku akan menyesalinya. Kemudian aku merenungi kondisiku maka ternyata kehidupanku di dunia lebih baik daripada kehidupan mereka. Kedudukanku di tengah-tengah manusia lebih tinggi daripada kedudukan merka. Ilmu yang aku raih juga tidak ternilai harganya.”
Hingga beliau mengatakan, “Sungguh berbagai kesulitan yang aku rasakan dalam kenikmatan mencari ilmu agama, bagiku lebih manis rasanya daripada madu. Semua itu karena ilmu yang aku cari dan (pahala) yang aku harapkan.” Subhanallah, demikianlah perjuangan dan pengorbanan beliau dalam menuntut ilmu agama. Sungguh tidak mengherankan jika beliau sangat mumpuni dalam berbagai cabang ilmu, dan hasil karya beliau pun sangat banyak.
Ibnul Jauzi rahimahullah meningal pada malam Jum’at antara waktu Maghrib dan Isya’ pada tanggal 13 Ramadhan 597 H. Saat itu beliau telah menginjak usia 87 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di samping kuburan ayahnya dan berdekatan dengan makam Imam Ahmad. Allahu A’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 29 vol. 03 1436 H/ 2015 M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah.
[1] Al Allamah adalah yang dalam ilmunya, Al Hafizh maksudnya lebih banyak pengetahuannya tentang hadis, perawi, dan keadaannya daripada yang tidak dia ketahui, Al Mufassir adalah ahli tafsir, Mafkharul ‘Iraq berarti kebanggaan Iraq.