Cari Blog Ini

Juraij

ahli ibadah yang diuji


Kiranya ujian untuk Juraij masih belum berhenti. Kali ini, ia harus menghadapi ujian yang lebih besar. Memang ibarat pohon, semakin tinggi menjulang, semakin kencang angin yang menerpanya. Ya, ujian itu sesuai keimanan seseorang.

Wanita jalang ini tidak berhasil menggoda Juraij. Rayuan-rayuan mautnya tidak mampu menggoyahkan keimanan Juraij yang memang telah menghujam dalam di relung qalbu terdalamnya.

Iman seorang mukmin, bagaikan pohon yang kokoh akarnya menghujam dalam ke qalbu pemiliknya. Sangat kuat dan tak mudah goyah. Laksana pohon kurma. Mampu berdiri tegak di tengah teriknya sahara dan badai gurun yang menerpa.

Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan permisalan pohon keimanan ini di dalam ayat-Nya yang artinya, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” [Q.S. Ibrahim:24].

Pohon akan sempurna jika memiliki akar yang kuat menghujam ke dalam tanah. Batangnya besar dan kokoh. Ranting-rantingnya banyak. Dan buah-buahannya selalu ada setiap saat. Demikian pula keadaan pohon keimanan yang ada di qalbu seorang mukmin.

Akarnya adalah ilmu dan keyakinan. Seorang mukmin, ilmu dan keyakinannya sangatlah kokoh menghujam di dalam qalbunya. Akar yang kokoh inilah yang akan membentuk batang yang kokoh pula.

Batangnya adalah keikhlasan. Ilmu yang kokoh akan menguatkan keikhlasan yang dimiliki seseorang. Oleh karena itulah firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam salah satu ayat-Nya yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Q.S. Fathir:28]. Seseorang semakin berilmu, akan semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Dan semakin seseorang takut kepada Allah, ia akan semakin berusaha mendekat kepada-Nya, dan semakin besar pula keikhlasannya.

Batang yang kokoh akan memunculkan ranting-ranting yang banyak. Ranting tersebut adalah amal-amal shalih. Inilah amal shalih yang ia lakukan. Yang selalu terbangun di atas akar ilmu dan batang keikhlasan. Amalannya akan terus semakin bertambah dan beragam, seiring dengan kekuatan ilmu dan keikhlasan yang dimiliknya. Kemudian akan menumbuhkan akhlak mulia dan perangai terpuji. Seorang mukmin, semakin kuat ilmu yang dimilikinya, semakin kuat keikhlasan yang ada di qalbunya, dan semakin banyak amal shalih yang ia lakukan, maka akan semakin nampak pula darinya akhlak dan sifat-sifat terpuji yang selalu menyertai hari-harinya. “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lainnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dan disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Targhib:2660]. Yakni, semakin sempurna keimanan yang dimiliki seseorang, akan semakin sempurna pula akhlak dan perangai terpuji yang dimilikinya. Masya Allah. [Lihat I'lamul Muwaqqi'in:172].

Kembali ke kisah Juraij, wanita jalang ini pun kecewa. Ternyata ia tidak mampu memenuhi sesumbarnya bahwa ia mampu merayu dan berbuat tidak senonoh dengan Juraij. Kebetulan, ketika itu ia bertemu dengan seorang penggembala yang memang sering berteduh di shauma'ah milik Juraij. Ia pun merayunya dan berzina dengan si pengembala.

Ya, wanita jalang ini menyusun makar baru untuk menjatuhkan kedudukan Juraij. Inilah keadaan para pendosa, mereka selalu tidak berputus asa dalam melakukan apa pun yang mereka inginkan. Persis seperti walinya, syaithan yang tidak akan pernah berputus asa dalam menyesatkan anak manusia.

Wanita itu pun mengandung dan melahirkan. Ia berdusta bahwa Juraijlah ayah si bayi. Mendengar pengakuan dustanya, manusia pun geram. Mereka marah atas apa yang dilakukan oleh Juraij. Segera mereka mendatangi Juraij di shauma'ah-nya. Mereka lantas menyuruh Juraij turun dari tempat peribadahannya tersebut. Dengan segera, mereka ratakan bangunan tersebut dengan tanah. Lebih dari itu, mereka pun memukuli sang ahli ibadah, orang yang selama ini mereka hormati. Begitulah sifat manusia. Sangatlah terburu-buru dan betapa mudah terhasut. Lebih mendahulukan buruk sangka daripada mencari kejelasan berita.

Penuh heran atas apa yang ia terima, Juraij berkata, “Ada apa kalian? Mengapa kalian melakukan hal yang demikian?” Juraij tetap tenang dan sabar berusaha menenangkan manusia.

“Engkau berzina dengan wanita jalang ini. Dan ia telah melahirkan seorang anak.”

Juraij pun terkejut bukan main. Ia kemudian sadar bahwa ujian sedang menimpanya. “Di mana anak itu?” katanya.

Manusia lalu membawa si jabang bayi ke hadapan Juraij. “Tolong lepaskan aku. Berilah kesempatan agar aku shalat dahulu.” pinta Juraij dalam keadaan terikat.

Ya, shalat memang obat. Obat dari segala permasalahan yang menimpa. Di dalam shalat, kita mendapatkan ketenangan qalbu dan ketentraman jiwa. Gundah gulana, kesempitan di dada pun hilang seiring tenggelamnya kita dalam shalat. Solusi dan jalan keluar pun sering kita dapatkan setelah kita menunaikan shalat. Semuanya, benar-benar akan kita dapatkan jika kita masuk dalam shalat sembari mentadaburi gerakan dan bacaannya. Yaitu shalat dengan khusyu'.

Allah subhanahu wa ta'ala sendiri telah memerintahkan kaum muslimin agar mereka berlindung kepada-Nya, meminta bantuan kepada-Nya dengan perantara shalat. Allah menegaskan dalam salah satu ayat-Nya yang artinya, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” [Q.S Al Baqarah:45].

Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mendapat kesulitan, beliau juga bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam shalat. Sebagaimana dituturkan oleh shahabat Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu 'anhu:
كَانَ النَّبِيٌّ ﷺ إِذَا حَزَبَهُ أَمۡرٌ صَلَّى
“Dahulu, jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dibuat sibuk dan sedih dengan suatu perkara, maka beliau segera melakukan shalat.” [H.R Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami' no: 8832].

Juraij pun shalat. Sangat khusyu' mengadukan apa yang terjadi kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Penuh harap akan jalan keluar dari apa yang menimpanya. Seusai shalat, segera Juraij mendatangi si jabang bayi. Dengan tenang ia pegang perutnya. “Siapakah ayahmu Nak?” tanya Juraij kepada si bayi.

Subhanallah, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segalanya mudah bagi-Nya. Bayi kecil yang jamaknya belum mampu berbicara, kini dengan tegas ia berucap, “Ayahku adalah si penggembala itu.”

Kisah ini adalah salah satu dari sekian banyak kisah yang diceritakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kisah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang asing dan keluar dari kebiasaan. Tugas kita sebagai seorang mukmin yang yakin bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta'ala, adalah meyakini kebenarannya. Segala berita dan kabar dari belau, baik berita itu mampu untuk kita cerna dengan akal pendek kita ataupun tidak. Baik cerita itu berkaitan dengan masa lampau ataupun masa yang akan datang. Semuanya hakiki dan benar-benar telah dan akan terjadi. Bagaimana mungkin kita mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara Allah subhanahu wa ta'ala yang menegaskan bahwa, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [Q.S. An Najm:3-4].

Dahulu, shahabat Abdullah bin 'Amr bin 'Ash radhiyallahu 'anhuma selalu mencatat apa pun yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini diketahui oleh beberapa orang Quraisy. Maka mereka menyalahkan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin 'Amr. “Apakah kamu mencatat semua yang dikatakan Rasulullah sementara beliau itu seorang manusia yang biasa berbicara dalam keadaan ridha dan marah?!” kata mereka. Mendengar hal tersebut, Abdullah pun berhenti dan tidak mencatat lagi. Lalu, ia pun memberitahukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam perihal apa yang mereka katakan. Maka, sembari menunjuk pada bibirnya yang mulia, beliau bersabda yang artinya, “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya melainkan sesuatu yang benar.” [H.R Ahmad, Abu Dawud, Al Hakim dan Ad Darimi. Dan dishahihkan oleh Al Albani rahimahullah dalam Ash Shahihah no: 1532]. Hadits ini juga menunjukkan bahwa apa pun yang diucapkan lisan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam adalah suatu kebenaran, yang jelas kebenarannya sehingga wajib untuk kita benarkan dan kita imani.

Mendengar ucapan si kecil, manusia pun merasa bersalah. Segera mereka mendatangi Juraij. Mereka menciumnya dan mengusap-usap tubuhnya. “Maukah kami bangunkan untukmu shauma'ah dari emas?” tawar mereka kepada Juraij.

“Tidak, bangunlah kembali shauma'ah-ku dari tanah seperti semula” katanya.

Maka manusia pun membangun kembali shauma'ah-nya seperti sedia kala.

Hal ini menunjukkan ketawadu'an Juraij. Ia tidak ingin shauma'ah-nya dibuat sedemikian mewah. Ia mencukupkan diri dengan shauma'ah lama yang ia miliki. Tentu, memiliki bangunan yang serba biasa, namun penuh dengan ibadah lebih baik ketimbang bangunan yang begitu mewah akan tetapi kosong dari ritual peribadahan.

Betapa seringnya kita mendapati masjid yang begitu besar dan mewah, akan tetapi ketika shalat berjama'ah, hanyalah diisi oleh segelintir manusia. Subhanallah.

Inilah mayoritas keadaan kaum muslimin di masa ini. Mereka lebih bersemangat untuk mempercantik masjid yang ada di kompleks perumahannya, akan tetapi malas untuk mengisinya dengan pelbagai bentuk ibadah yang Allah syariatkan.

Fenomena ini merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah semakin dekat. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa, “Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga manusia saling membanggakan dengan masjid-masjid (yang mereka punya).” [H.R Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, dan lainnya. Dishahihkan Al Albani rahimahullah dalam Al Misykah: no:719].

Demikianlah kisah Juraij. Sebuah pelajaran bahwa ujian adalah kemestian. Siapa yang bersabar, ia akan menjadi pemenangnya, selamat, bahagia di dunia dan akhirat. Allahu a'lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 3 volume 01/ 1433 Hijriyah/ 2012 Masehi rubrik Umat Terdahulu. Pemateri: Ustadz Abu Hisyam Sufyan.