Nama beliau adalah Khanuh bin Yarid bin Mahlayil bin Qainan bin Anwasy bin Syits bin Adam kakek moyang manusia 'alaihis salam.
Ketika wafat, Adam berwasiat kepada putranya Syits. Syits sendiri adalah seorang nabi. Nama beliau berarti hadiah dari Allah subhanahu wa taala. Dinamakan demikian karena beliau terlahir setelah kematian Habil. Keturunan Adam semuanya dari Nabi Syits ini. Sementara anak Adam yang lain meninggal dan punah.
Nabi Idris 'alaihis salam adalah seorang yang sangat jujur, ikhlas berdakwah kepada Allah subhanahu wa taala. Sehingga Allah subhanahu wa taala memuji beliau dalam ayat-Nya yang artinya; "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." [Q.S. Maryam:56-57]. Beliau adalah Nabi ketiga setelah Adam dan Syits. Beliau mendapati masa hidup Adam selama 308 tahun.
Beliau mengumpulkan antara sifat-sifat mulia yaitu kejujuran, ilmu yang luas, keyakinan kokoh, amal shalih, juga Allah subhanahu wa taala pilih beliau sebagai pengemban wahyu dan risalah-Nya. Oleh sebab itu, Allah subhanahu wa taala mengangkat penyebutan nama beliau di alam ini, serta mengangkat kedudukan beliau bersama makhluk yang didekatkan kepada Allah subhanahu wa taala. Maka beliau tinggi dalam penyebutan sekaligus kedudukan.
Allah subhanahu wa taala juga menyifati beliau dengan kesabaran. Allah subhanahu wa taala berfirman yang artinya; "Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar." [Q.S. Al Anbiya':85]. Ayat ini menunjukkan bahwa mereka mampu mewujudkan kesabaran dengan sebenarnya. Kesabaran yang mencakup tiga jenis sabar dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, dan sabar menghadapi takdir Allah subhanahu wa taala yang tidak menyenangkan. Seorang hamba tidaklah mencapai predikat sabar yang sesungguhnya sampai memenuhi tiga macam sabar ini.
Di ayat berikutnya, Allah subhanahu wa taala mensifati mereka dengan keshalihan. Yaitu keshalihan qalbu dengan makrifat (pengetahuan) kepada Allah subhanahu wa taala dan kecintaan-Nya, bertaubat dan kembali kepada-Nya setiap waktu. Mencakup pula keshalihan lisan dengan selalu basah berdzikir kepada-Nya, serta keshalihan seluruh badan. Seandainya karunia itu hanya berupa penyebutan yang baik di alam semesta, juga lisan kejujuran, tentu cukuplah hal ini sebagai kemuliaan dan keutamaan.
Nabi Idris 'alaihis salam memang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah subhanahu wa taala. Beliau juga banyak beramal shalih untuk memperbanyak pahala. Sehingga beliau memohon untuk dipanjangkan umurnya.
Di antara yang disebutkan tentang beliau adalah bahwa Allah subhanahu wa taala mewahyukan kepada beliau 'alaihis salam; "Sesungguhnya Aku akan mengangkat derajatmu setiap hari seperti amalan seluruh anak Adam." Diterangkan oleh para ulama bahwa maksudnya adalah seluruh anak Adam pada masa itu. Maka Idris berharap untuk terus bertambah amalannya. Suatu saat datanglah teman karibnya (khalil) dari kalangan malaikat. Idris mengatakan kepadanya; "Sungguh Allah telah berfirman kepadaku demikian dan demikian, maka bicaralah kepada malaikat maut agar mengakhirkan ajalku. Supaya amalanku selalu bertambah."
Malaikat itu pun membawa beliau di antara sayapnya, terbang ke langit. Sesampai di langit keempat bertemulah dengan malaikat maut dalam keadaan bertelekan. Maka malaikat tersebut berbicara dengan malaikat maut sesuai yang dimaukan Nabi Idris 'alaihis salam. Malaikat maut bertanya; "Di mana Idris?" "Ini dia di atas punggungku." Jawabnya. Malaikat maut pun menyahut "Subhanallah!!, Aku diutus untuk mencabut ruh Idris di langit keempat. Aku pun bertanya, 'Ya Allah, bagaimana aku mencabut nyawanya di langit keempat, sedangkan ia berada di bumi?" Maka ruh Idris dicabutlah saat itu juga. Inilah maksud firman Allah subhanahu wa taala yang artinya, "Dan Kami mengangkatmu di tempat yang tinggi." [Q.S. Maryam:57].
Demikianlah pendapat sebagian ulama bahwa Nabi Idris 'alaihis salam adalah nabi ketiga. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa beliau termasuk Nabi Bani Israil. Yang berarti keturunan Nabi Ibrahim, karena Israil adalah Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Imam Al Bukhari menyebutkan dari Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Ilyas adalah Idris. Berdalil dengan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu tentang kisah Isra' bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati Idris, Nabi Idris mengatakan, "Selamat datang kepada saudara shalih dan Nabi shalih." Nabi Idris tidak mengatakan sebagaimana Adam dan Ibrahim, "Selamat datang kepada Nabi Shalih dan Anak Shalih." Riwayat ini menunjukkan bahwa seandainya Idris masuk dalam nasab moyang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu akan mengatakan sebagaimana perkataan Adam dan Ibrahim.
Namun, Ibnu Katsir menyanggah pendalilan ini. Bahwa perkataan Idris dalam kisah isra' tersebut tidak menunjukkan beliau termasuk moyang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena ada kemungkinan periwayat hadits tidak hafal lafazh hadits secara persis. Atau bisa jadi Nabi Idris mengatakan hal itu karena tawadhu' dan rendah hati. Sehingga tidak menyebutkan diri beliau sebagai moyang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak sebagaimana Adam yang memang moyang seluruh manusia, maupun Ibrahim yang beliau adalah khalilur Rahman serta termasuk yang paling mulia setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa taala yang Maha Mengetahui tentang sebenarnya dari semua ini. Karena kisah-kisah seputar beliau adalah israiliyat yang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan begitu saja. Yang jelas beriman terhadap para nabi dan rasul adalah salah satu rukun iman. Kita wajib mengimani nama mereka yang Allah sebutkan dalam Al Quran. Beriman dengan para nabi dan rasul secara global. Jumlah para rasul 313 orang, sementara jumlah para nabi sangat banyak, Allah subhanahu wa taala yang Maha Mengetahui. Juga, mengimani bahwa Allah subhanahu wa taala telah mengutus mereka, mereka pun telah menyampaikan seluruh risalah yang diemban sesuai perintah Allah subhanahu wa taala. Mereka juga telah menjelaskan agama dengan sejelas-jelasnya, sehingga tidak halal menyelisihi mereka. Rasul yang pertama Nuh, dan ditutup dengan junjungan kita nabi besar, pemimpin para rasul, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan beliaulah Allah subhanahu wa taala menyempurnakan syariat-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada mereka semua. Wallahu A'lam.
Referensi:
- Qashsahul Anbiya'
- Tafsir Ibni Katsir
- Tafsir As Sa'diy
- Syarh Al Aqidah At Thahawiyyah.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 20 vol. 2 1435 H/ 2014 M rubrik Anbiya'. Pemateri: Ustadz Abu Muhammad Farhan.