Tidak diragukan lagi bahwa khutbah Jum'at tidaklah sama dengan khutbah-khutbah lainnya, di mana khutbah Jum'at tidak boleh lepas dari stipulasinya, baik itu syarat sahnya ataukah sunnah-sunnahnya. Satu contoh yang paling mudah dan diketahui secara umum misalnya, khutbah pada sholat Jum'at ada dua kali khutbah dan didahulukan sebelum sholat. Jika khutbahnya diakhirkan atau khutbahnya hanya satu kali atau bahkan tidak ada khutbah sama sekali, maka menjadi tidak sah. Nah, berkenaan dengan panjang pendeknya, lama dan sebentarnya khutbah, ini juga adalah perkara yang disinggung dalam khutbah Jum'at meskipun tidak termasuk syarat sahnya. Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Ammaar bin Yasir, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطۡبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنۡ فِقۡهِهِ
"Sesungguhnya panjang / lama sholatnya seseorang dan pendek khutbahnya adalah tanda kefaqihannya."Oleh karena itu, lebih utama bagi seorang khotib memendekkan khutbahnya, dan tentu saja hal ini memberikan beberapa manfaat. Di antara manfaat itu adalah pertama: tidak mendatangkan kejenuhan bagi mustami'in, sebab bila khutbah panjang, apalagi dengan penyampaian yang tidak menyentuh hati dan lain sebagainya, akan menimbulkan kelelahan dan kejenuhan. Kedua: dengan khutbah yang pendek, pendengar lebih mampu menyerap apa yang disampaikan, berbeda jika khutbahnya panjang bisa menyebabkan ingat awalnya lupa akhirnya, ingat akhirnya lupa awalnya. Dengan demikian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya panjang sholat seseorang dan pendek khutbahnya adalah tanda kefaqihannya." Sebab sang khotib senantiasa memperhatikan keadaan mustami'in, namun kadang-kadang juga keadaan menuntut sang khotib untuk memanjangkan khutbah. Jadi apabila memanjangkannya karena tuntutan keadaan, tidaklah hal ini mengeluarkannya dari kefaqihan, karena toh perkara panjang dan pendek khutbah adalah perkara nisbi, dan telah ada dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkhutbah kadang-kadang dengan surat "Qaaf", sedangkan surat "Qaaf" jika dibaca dengan tartil dan berhenti pada tiap ayat, maka menjadi panjang. Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma'aad, "Beliau -Rosulullah, pent.- kadang-kadang memendekkan khutbah dan kadang memanjangkannya sesuai kebutuhan manusia, dan khutbahnya beliau yang sifatnya insidental lebih panjang daripada khutbahnya yang bersifat rutin."
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lain halnya dengan keadaan khotib ketika berdo'a saat khutbah, mayoritas para khotib amat sangat jarang memperhatikan masalah ini, terbukti dengan banyaknya para khotib yang mengangkat kedua tangan ketika berdo'a, bahkan sebagiannya menganggap ini amalan sunnah hingga mempertahankannya karena keukeuh. Tidak dipungkiri bahwa asal dalam berdo'a adalah dengan mengangkat kedua tangan, tetapi masalahnya sekarang dalam khutbah Jum'at yang keadaannya sebagaimana yang telah disinggung di atas, dan tentunya dominan kaitannya dengan masalah ibadah, bukankah ibadah itu tidak disyariatkan kecuali dengan apa yang telah dibawa dan dicontohkan oleh Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?!!, oleh karena itu tidak heran jika para sahabat mengingkari seseorang yang berkhutbah dan mengangkat kedua tangannya saat berdoa, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya "Kitabul Jum'ah." Dari Husein bin AbdurRohman dari Ammaaroh bin Ruaibah berkata: Ia telah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dan mengangkat kedua tangannya, maka berkata Ammaaroh,
قَبَّحَ اللهُ هَاتَيۡنِ الۡيَدَيۡنِ، لَقَدۡ رَأَيۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ مَا يَزِيدُ عَلَىٰ أَنۡ يَقُولَ بِيَدِهِ هٰكَذَا وَأَشَارَ بِإِصۡبَعِهِ الۡمُسَبِّحَةِ
"Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini! Sungguh aku telah melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ia tidak menambah kecuali berdo'a dengan tangan begini, lalu ia mengisyaratkan jari telunjuknya."Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah seperti dalam Al Ikhtiyaarot halaman 80, "Dan makruh atas imam / khotib mengangkat kedua tangan saat berdoa dalam khutbah, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau hanya mengisyaratkan jarinya bila berdo'a, adapun saat istisqo beliau mengangkat kedua tangannya, di atas mimbar."
Wal akhir semoga Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada kita dan tambahan ilmu, kemudian di hari yang paling baik ini mari kita warnai dengan amalan-amalan yang baik pula, wal ilmu indallah.
Ditulis oleh Al Ustadz Yusuf Al Atsary
Sumber: Buletin Al Wala` Wal Bara` Edisi ke-25 Tahun ke-1 / 06 Juni 2003 M / 05 Rabi'uts Tsani 1424 H.