Upaya untuk menghancurkan Islam begitu sering dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Baik dengan menghancurkan fisik, akidah, akhlak, maupun pemikiran mereka. Di antara cara menghancurkan kepercayaan kaum muslimin kepada agamanya adalah dengan merusak nama baik orang-orang terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di antara orang-orang yang paling dekat hubungan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk itu kali ini kita mencoba membaca biografi dari salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Ummul Mukminin Hafshah bintu Umar.
Beliau adalah Hafshah binti Umar bin Al Khaththab bin Naf’al bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Adapun Ibu beliau adalah Zainab binti Mazh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Mazh’un. Hafshah adalah saudara sekandung dengan Abdullah bin Umar. Lahir pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya setelah renovasi Ka’bah yang tertimpa banjir. Itu adalah tahun yang sama pula dengan tahun lahirnya Fathimah, putri bungsu Rasulullah. Tepatnya lima tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang Rasul.
KEPRIBADIAN
Ummul Mukminin Hafshah tumbuh dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Berkepribadian kuat, tegas, serta berani, sebagaimana pengakuan dari Aisyah bintu Abi Bakar radhiyallahu ‘anha tentang beliau. Beliau juga seorang yang cerdas. Hal ini terbukti dengan kepandaian dalam baca dan tulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Beliau masuk Islam melalui perantaraan sang ayah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu bersama seluruh anggota keluarga. Usia beliau saat itu masih sepuluh tahun.
PERNIKAHAN
Keislaman Umar memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke Makkah. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahami radhiyallahu ‘anhu. Pemuda inilah yang kemudian meminang Hafshah setibanya di Makkah, dan pinangan tersebut direstui oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. Berlangsunglah pernikahan keduanya yang dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Di saat ada perintah hijrah keduanya pun tak ketinggalan dalam menyambutnya. Mereka tak segan berhijrah dari Makkah menuju ke Yatsrib/ Madinah. Dengan sebab ini, keduanya digolongkan ke dalam kaum Muhajirin. Di tahun kedua hijriyyah pecahlah perang Badar. Kaum muslimin harus menghadapi kekuatan musyrikin yang berkali lipat jumlah serta persenjataannya. Di antara pasukan muslim, terdapat Khunais bin Hudzafah, suami Hafshah. Allah pun telah takdirkan Khunais mengalami luka parah yang membawanya kepada kematian dalam perang yang mulia ini. Saat kematian suaminya, Hafshah baru berusia delapan belas tahun, usia yang masih sangat muda untuk menjadi seorang janda. Walau demikian, beliau memiliki kesabaran dalam menerima cobaan yang menimpanya tersebut.
MENJADI UMMAHATUL MUKMININ
Setelah kematian suami Hafshah, Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun berusaha untuk menawarkan anak tercintanya kepada orang saleh. Untuk itu, beliau pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya Ruqayyah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar radhiyallahu ‘anhu sangat kecewa. Beliau pun menemui Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dan wanita yang lebih baik dari Hafshah adalah Ummu Kultsum, saudari Ruqayyah. Ya, Rasulullahlah orang yang akan menjadi pendamping Hafshah.
Setelah resmi menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Hafshah menjadi salah seorang Ummahatul Mukminin yang memiliki kedudukan yang mulia di sisi umat Islam. Tentu saja demikian, sebab Allah memilihkan istri untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dari wanita yang mulia. Beliau adalah wanita keempat yang menjadi istri beliau setelah Khadijah bintu Khuwailid, Saudah bintu Zam’ah, dan Aisyah bintu Abi Bakar. Pernikahan tersebut terjadi di tahun kedua hijriyyah, bertepatan dengan tahun berkumpulnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah. Usia di antara beliau dan Aisyah tak terpaut jauh sehingga Aisyah lebih cemburu terhadap Hafshah dibanding kepada Saudah yang sudah tua. Beliau mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai istri selama delapan tahun. Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah. Namun Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]
Layaknya sebuah rumah tangga keumuman manusia yang tak luput dari ujian, demikian pula rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, Rasulullah dan para istrinya adalah orang-orang terbaik dalam menghadapi cobaan. Senantiasa meniti syariat dalam mengambil sikap pada seluruh permasalahan. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah kepada istri-istri beliau karena mereka meminta tambahan nafkah yang tidak dimiliki beliau. Karena marah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan supaya mereka menyadari kesalahan mereka. Beliau berikan pilihan kepada istrinya untuk bersabar menjadi istri beliau dengan keadaan yang ada atau meminta cerai dengan perceraian yang baik. Allah pun menurunkan firman-Nya berkaitan dengan hal ini yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” [Q.S. Al-Ahzab: 28]
Dengan turunnya ayat ini, menyesallah seluruh istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari apa yang telah mereka tuntutkan. Mereka bertobat dari tuntutan tersebut dan lebih memilih negeri akhirat dengan tetap menjadi istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga beliau banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kejadian tersebut. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan salat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN HAFSHAH
Sangat jarang di kalangan wanita muslimah yang mampu mencapai keutamaan seperti keutamaan yang dimiliki oleh Hafshah. Selain sebagai istri Nabi, putri dari khalifah yang kedua, dan menjadi muhajirin di kalangan wanita, beliau masih memiliki banyak sekali keutamaan.
Hafshah memiliki andil yang besar bagi Islam dalam pengumpulan Al Qur’an karena beliaulah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Di masa awal, Al Quran dituliskan pada pelepah kurma, tulang, atau lembaran-lembaran kulit. Pada masa khalifah Abu Bakar ketika para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan, Abu Bakar memerintahkan Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan menjaganya. Mushaf asli Al-Qur’an itu tetap berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Di antara keutamaan beliau yang lainnya adalah jaminan masuk ke surga menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril pun menyebut beliau sebagai Shawwamah dan Qawwamah, yang banyak berpuasa dan melakukan salat malam. Demikianlah pengakuan atas keutamaan Hafshah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jibril berkata kepadaku, ‘Rujuklah kepada Hafshah, karena ia banyak puasa (shawwamah) dan Qiyamul lail (qawwamah), serta istrimu di surga.’” [H.R. Ibnu Sa’ad, Al Hakim, dan Ath-Thabarani]
WAFAT
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Hafshah wafat di bulan Sya’ban tahun ke-47 pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Beliau dikuburkan di pekuburan Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain. [Ustadz Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 51 vol.05 1436H-2015M rubrik Figur.