Bukit Uhud adalah bukit yang mencintai dan dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat. Sebagai seorang yang beriman, kita pun mencintai bukit Uhud sebagaimana kecintaan kekasih-kekasih kita kepadanya. Sungguh, kelak ia akan menjadi saksi gigihnya perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mulia radhiyallahu ‘anhum di atasnya.
Uhud, medan laga bersejarah yang selalu diingat dari masa ke masa. Di sanalah bergolak pertempuran antara golongan setan dan tentara-tentara Allah. Peperangan yang menorehkan luka dalam bagi umat Islam atas gugurnya sahabat-sahabat pilihan, bahkan manusia terbaik, utusan Allah pun tak terhindar dari luka akibat serangan para penyembah berhala dari arah tak terduga.
Orang-orang terbaik itu kini memang berbaring dalam kubur para syuhada Uhud. Darah akibat hunjaman anak-anak panah, tusukan-tusukan tombak serta sayatan dan tebasan pedang. Di antara yang terbaik adalah Anas bin An Nadhr bin Dhamdham, seorang sahabat Anshar dan paman dari pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Ruh Anas dan juga sahabat lainnya tentu telah terlepas dari badan. Badan tak bisa lagi berkutik, mata tak bisa lagi memandang, selepas kepergiannya. Namun mereka bukanlah seonggok jenazah layaknya mayat pada umumnya. Justru sejak berpisahnya ruh dari badan, ia dan para sahabatnya terus menjalani kehidupan di sisi Allah. Hidup yang penuh kenikmatan, bergelimang rezeki, tak ada tempat sedikitpun dalam kehidupan mereka rasa cemas dan sedih. Kehidupan karena mendapatkan syahadah.
Siang itu, semilir angin kemenangan terasa bertiup ke arah pasukan Islam. Harapan Abu Sufyan untuk membalas kekalahan Badr hampir-hampir gagal total. Apa boleh buat, prajurit-prajurit pilihannya telah banyak bergelimpangan. Pasukan berhala pun lari tunggang langgang meninggalkan medan laga seakan mengikuti derasnya angin kekalahan.
Ghanimah nampak berserak. Hawa kemenangan yang berpihak pada pasukan Allah pun menghangatkan suasana, menembus persangkaan hampir seluruh para sahabat. Dari kejauhan, pasukan Islam yang berada di bukit serta merta menuruni lembah ikut merasakan sengatan hangat hawa itu. Ya, hawa hangat yang tak mampu lagi menahan mereka untuk tetap di tempat, padahal mereka telah dikomando untuk terus melindungi punggung-punggung pasukan dengan busur panahnya.
“Apa gunanya kita tetap berjaga dan terpaku di bukit ini. Bukankah pasukan Quraisy telah kalah? Saatnya mengumpulkan rampasan perang,” ucap sebagian pasukan.
Abdullah bin Jubair radhiyallahu ‘anhu yang ditunjuk sebagai komandan pasukan panah itu sebenarnya telah mengingatkan anggota regunya agar tetap waspada. Namun mereka tidak menoleh dengan teguran dan peringatan sang komandan. Perhitungan mereka, kemenangan jelas-jelas berpihak pada tentara Allah. Tugas telah berakhir.
Angin tidaklah selalu menuruni lembah. Suatu saat ia akan mendaki bukit. Itulah roda kehidupan yang berputar bersama perputaran siang dan malam, bergilirlah nasib manusia, mengikuti kehendak, dan hikmah Ar Rahman.
Pasukan musyrikin melihat celah kelemahan menganga lebar di arah bukit. Dengan gerak melambung pasukan Khalid bin Walid yang disangka kabur ternyata hanya mundur teratur, selanjutnya menggempur pasukan Islam dengan target awal melumpuhkan pasukan busur. Abdullah bin Jubair radhiyallahu ‘anhu dan pasukan busur yang tersisa gugur.
Perang di lembah kembali berkecamuk dahsyat. Dua pasukan saling menyerang. Namun kekuatan muslimin yang tak lagi ditopang dari bukit mulai terdesak. Bahkan pasukan musyrikin berhasil merangsek hingga mendekati para sahabat yang mengitari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu bertempur tak kenal berhenti melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari serangan Ibnu Qami’ah beserta pengiringnya. Panji perang dalam genggaman kanannya, lalu berpindah pada kepalan kirinya. Setelah dua lengan beliau terputus, beliau tersungkur dengan dada dan lehernya lalu ditebaslah oleh Ibnu Qami’ah.
Serangan yang begitu gencar Ibnu Qami’ah membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terluka. Luka itu lalu dihisap oleh Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhu hingga mengering. Salah satu gigi depan beliau patah. Dua kepingan dari topi baja beliau juga lepas lalu menusuk pada bagian wajah. Namun kepingan itu berhasil diangkat dengan gigitan Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhu.
Bendera perang diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah gugurnya Mush’ab. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang di bawah panji Anshar.
Abdullah bin Qami’ah menyangka, yang terbunuh di tangannya adalah Rasulullah. Sehingga ia menyebarkan isu kematian beliau. Terdengar pula teriakan membahana dari setan Azabbal ‘Aqabah yang sempat menggoncangkan keteguhan pasukan muslimin.
“Dengarlah, Muhammad telah terbunuh!”
Sebagian pasukan muslim kehilangan semangat juang mendengar teriakan bak dentuman mortir. Sebagian lari meninggalkan medan menyelamatkan diri. Bahkan beberapa Muhajirin dan Anshar tak lagi menghunuskan pedang dan tombaknya.
Maka datanglah Anas bin An Nadhar radhiyallahu ‘anhu menjumpai beberapa sahabat itu yang hanya diam, seperti kehilangan arwah.
“Apa yang membuat kalian hanya duduk termangu begitu?”
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat,” timpal mereka.
“Lalu kehidupan apa yang masih kalian inginkan bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat? Ayo bangkit! Kejarlah kematian seperti kematian yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-ayat sebagai hiburan dan pembangkit semangat dalam peristiwa menyedihkan ini. Di antaranya adalah,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَـٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [Q.S. Ali Imran: 144]
Segeralah Anas bin An Nadhr radhiyallahu ‘anhu melangkahkan kaki. Ia mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعۡتَذِرُ إِلَيۡكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ (يَعۡنِي الۡمُسۡلِمِينَ) وَأَبۡرَأُ إِلَيۡكَ مِمَّا جَاءَ بِهِ هَؤُلَاءِ
“Yaa Allah, Aku mohon kepadamu untuk memberi uzur dari apa yang mereka perbuat (yang dimaksud adalah kaum muslimin), dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang mereka bawa (yang dimaksud adalah orang-orang musyrik).”
Beberapa orang masih sempat ia temui. Termasuk Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Di hadapan Sa’ad beliau berkata, “Wahai Sa’ad, Sungguh demi Allah, aku benar-benar mencium aroma surga dari arah Uhud.” Maka Anas pun menerjang musuh, membabat leher-leher mereka tanpa ampun. Ia pun tak bisa menghindar dari balasan musuh. Tusukan tombak, hunjaman anak panah, dan bacokan pedang-pedang musuh menimpa tubuh sahabat itu hingga ia mendapatkan syahadah. Semoga Allah ridha kepada Anas.
Saat perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa jenazah para sahabat. Beliau temukan sesosok jenazah yang kondisinya sangat menyayat hati, tertimpa lebih dari 70 luka, sulit diidentifikasi. Jenazah tersebut akhirnya dapat dikenali oleh seorang yang mulia, Ar Rubayyi’ binti An Nadhar radhiyallahu ‘anha. Ternyata jenazah itu adalah jenazah Anas bin An Nadhr saudara kandungnya. Ia bisa mengenalnya setelah melihat jari-jemari yang tersisa.
Sebelum perang Uhud, beliau berjumpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku telah absen dari perang pertama melawan musyrikin di Badar. Maka andaikata Allah masih memberiku umur hingga perang berikutnya melawan musyrikin, niscaya Allah akan perlihatkan kepadamu apa yang aku perbuat nanti.”
Allah menakdirkan Anas untuk berjumpa musyrikin pada perang yang kedua di lembah Uhud. Maka ia pun penuhi janjinya, berjuang dengan gigih penuh kepahlawanan hingga mendapatkan kemenangan berupa syahdah.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ayat yang berkenaan dengan Anas bin An Nadhar radhiyallahu ‘anhu dan kegigihan beliau:
مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَـٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” [Q.S. Al Ahzab: 23]
Anas bin An Nadhr radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang bila bersumpah atas nama Allah dengan suatu permintaan, maka Allah pun akan mengabulkan. Pernah suatu hari Ar Rubayyi’ binti An Nadhar saudarinya memukul seseorang hingga mematahkan giginya. Keluarga Ar Rubayyi’ binti An Nadhar mengajak damai dan berjanji membayar diyat, namun tawaran ditolak. Keluarga korban minta diqishash. Sampailah kasus pidana ini hingga mahkamah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasul pun mengabulkan permintaan qishash dari keluarga korban.
Mendengar keputusan itu Anas bersumpah, “Demi Yang Mengutus engkau dengan Al Haq, gigi Ar Rubayyi’ binti An Nadhar tidak boleh dipatahkan!”
Keluarga korban pada akhirnya ridha dengan menerima diyat, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menegakkan hukuman qishash atas Ar Rubayyi’ binti An Nadhar dengan sebab sumpah saudaranya.
Nabi bersabda yang artinya, “Sesungguhnya di antara hamba Allah ada orang yang jika ia bersumpah dengan nama-Nya (atas sesuatu), maka Allah akan mengabulkan. Di antara mereka adalah Anas bin An Nadhr.” [H.R. Bukhari-Muslim, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]
Semoga Allah meridhai Anas. Dia telah berlaku jujur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah pun membalas kejujurannya. Sumpahnya kepada Allah selalu dikabulkan. Sebagaimana ia telah penuhi ikatan-ikatan perjanjiannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 33 vol.03 1437 H/ 2015 M rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Ustadz Abu Humaid Fauzi Isnain.