(Fathimah radhiyallahu ‘anha binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Dewasa. Di dalam syariat Islam kedewasaan dikaitkan dengan istilah baligh, mukallaf yaitu seseorang yang sudah diberi beban syariat. Sedang di masyarakat, kata tersebut sering digunakan untuk menggambarkan suatu sikap yang menunjukkan kematangan berpikir, kebagusan sikap dan tingkah laku.
Kalau di dalam syariat Islam kata “dewasa” dikaitkan dengan beberapa istilah yang telah disebutkan di atas, berarti tidaklah dikatakan dewasa seseorang kecuali jika telah muncul tanda-tanda baligh pada dirinya. Sehingga setelah baligh, mulailah dia dianggap dewasa dan mulai terkena beban-beban syariat. Akan tetapi jika kita bicara tentang kedewasaan dari sisi pandang masyarakat, maka terkadang kedewasaan tidak dikaitkan dengan usia. Ketika kematangan berpikir, sikap dan tingkah laku, rasa tanggung jawab yang besar atas perkara-perkara yang ada di sekitarnya telah muncul pada diri seseorang, maka hal tersebut menunjukkan kedewasaannya sekalipun usianya terbilang masih belia. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kedewasaan dengan pengertian tersebut tidaklah terkait dengan usia.
Terkadang… kita melihat seorang yang telah cukup usia tapi sangat manja, tidak bisa mengerjakan sesuatu kecuali meminta bantuan, tidak bertanggung jawab terhadap apa yang diamanahkan kepada dirinya, terlalu mudah terbawa emosi dengan sesuatu yang sepele tanpa mempertimbangkan akibat dari perbuatannya yang terkadang bisa menyakiti orang lain. Sungguh sikap dan tingkah laku yang demikian kurang menunjukkan kedewasaan. Sebaliknya… terkadang kita melihat ada pada diri seseorang dengan usia yang jauh lebih muda akan tetapi terlihat kemandiriannya dalam banyak perkara, ketenangan dan kestabilan emosionalnya dalam menghadapi sesuatu, bertanggung jawab terhadap suatu perkara yang diamanahkan kepada dirinya, sungguh menunjukkan kedewasaan sikap dan kepribadiannya.
Kisah niswah kali ini adalah tentang seorang wanita yang memiliki sikap dan perilaku yang menunjukkan kedewasaan bahkan sejak di masa kanak-kanaknya. Sehingga tidak heran kemudian beliau dikenal dengan sebutan Ummu Abiha (Ibu bagi ayahnya). Dia adalah Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha memberikan keduanya beberapa anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki mereka dengan takdir Allah tidak ada yang bertahan hidup hingga usia dewasa. Sedangkan anak-anak perempuan beliau berdua hidup hingga menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa-masa kenabian.
Sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan tiga putrinya. Zainab, putri pertama beliau telah menikah dengan anak bibinya yaitu Abul Ash bin Rabi’. Sedang Ruqayyah dan Ummu Kultsum, keduanya telah menikah dengan Utbah dan Utaibah kedua putra Abu Lahab. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul, Zainab masih berada di bawah naungan suaminya Abul Ash bin Rabi’ yang di awal waktu masih dalam keadaan musyrik. Zainab masih bersama suaminya selama beberapa waktu hingga hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Sedangkan kedua putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum, maka Abu Lahab bersegera memerintahkan kedua putranya untuk menceraikan mereka berdua. Hingga keduanya kembali ke dalam naungan ayahnya.
Tidak berapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Ruqayyah dengan salah seorang sahabat mulia Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ruqayyah mendampingi suaminya di masa-masa sulit, ikut berhijrah bersama suaminya baik ke Habasyah maupun ke Madinah hingga akhirnya Allah mewafatkannya beberapa saat setelah perang Badr. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan sepeninggal Ruqayyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun Fathimah radhiyallahu ‘anha, beliau adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling muda. Di saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi dan Rasul usianya baru sekitar 5 tahun. Ketika itu, ketiga saudarinya telah menikah dan tidak lagi bersama dengan ayahnya. Fathimah kecil menyaksikan berbagai peristiwa yang menimpa keluarganya terutama ayahnya semenjak diangkat menjadi nabi dan Rasul. Perubahan sikap yang sangat besar yang diberikan bangsa Quraisy kepada keluarganya, tekanan, dan celaan tak jarang menjadi sebuah pemandangan yang hadir di depan matanya. Ia menyaksikan ibundanya Khadijah mendampingi ayahnya dalam menghadapi berbagai gangguan dan tekanan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
Ia menyaksikan ketika para pemuka Quraisy meletakkan kotoran binatang di punggung ayahnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang salat di dekat Ka’bah. Fathimah kecil segera membersihkan kotoran tersebut agar ayahnya dapat menyelesaikan salatnya. Salah satu bentuk penderitaan berat yang diberikan kaum kafir Quraisy adalah ketika mereka memboikot Bani Hasyim beserta kaum muslimin agar tidak mendapatkan bahan pangan serta kebutuhan yang lainnya selama beberapa waktu. Ia pun turut merasakan penderitaan tersebut.
Akan tetapi… kesabaran dan ketegaran ayah dan ibundanya memberikan sebuah pelajaran baginya bahwa dakwah di jalan Allah adalah sebuah perjuangan. Perjuangan bagi sebuah prinsip yang dasarnya adalah keyakinan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Perjuangan yang membutuhkan pembuktian dan pengorbanan jiwa dan raga. Tidaklah mampu bagi seseorang menghadapinya kecuali dengan pertolongan Zat yang Maha Kuat lagi Maha Kuasa. Maka gadis kecil ini, dengan pikirannya yang sederhana tapi matang ditempa keadaan, berusaha mencontoh, meniru, dan mempraktekkan apa yang diamalkan oleh kedua orangtuanya.
Tekanan dan gangguan semakin bertambah lagi dengan wafatnya paman ayahnya yaitu Abu Thalib pada bulan Rajab tahun ke sepuluh hijriyah, yang sekalipun masih dalam keadaan kafir akan tetapi sangat besar bantuan serta perlindungannya kepada ayah dan keluarganya. Kemudian disusul dengan wafatnya ibunda tercinta, Khadijah radhiyallahu ‘anha tiga bulan kemudian. Dua peristiwa duka yang terjadi dalam kurun waktu yang tidak terpaut lama menorehkan luka dan duka yang dalam bagi keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah senantiasa berada di sisi ayahnya ketika itu. Peristiwa demi peristiwa yang dijalani bersama memberikan suatu kedekatan yang teramat sangat antara putri kecil ini dengan ayahnya.
Bahkan setelah pernikahan Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, kedekatan tersebut tidaklah berkurang, bahkan bertambah terlebih setelah lahirnya putra dan putri mereka, Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum. Salah satu bentuk kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah digambarkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunannya, yang artinya,
“Aku tidak melihat ada seseorang yang perkataan dan pembicaraannya paling serupa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Fathimah. Jika Fathimah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau berdiri menuju kepadanya, mencium dan menyambutnya. Demikian pula Fathimah bersikap kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Bentuk-bentuk kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak pula dalam ucapan beliau yang lain dalam riwayat Al Bukhari, beliau bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku, mendustakanku apa-apa yang mendustakannya, dan menyakitiku apa-apa yang menyakitinya.”
Tidaklah mengherankan jikalau kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar kepada putrinya tersebut. Selain karena kedekatan beliau berdua, Fathimah pun menunjukkan kebagusan agama dan ketundukan yang besar kepada syariat. Diceritakan dalam sebuah hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Fathimah dalam keadaan Fathimah mengenakan sebuah kalung emas di lehernya pemberian suaminya Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Fathimah dengan keras. Maka dengan teguran tersebut, Fathimah bersegera melepas kalung tersebut dan menjualnya, kemudian beliau membeli seorang budak dan memerdekakannya. Ketika kabar tentang sikap Fathimah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata yang artinya, “Segala puji bagi Allah, Zat yang telah menyelamatkan Fathimah dari api neraka.”
Demikianlah Fathimah radhiyallahu ‘anha menjalani kehidupannya dalam kesabaran dan kekokohan di dalam agamanya. Banyak kisah yang menggambarkan kepribadiannya tersebut. Dan puncak keberhasilan dari perjalanan hidupnya adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan kepada dirinya ketika beliau mendekati ajalnya sebagaimana diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah di dalam Shahihnya. Ketika itu Fathimah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang dalam keadaan berbaring sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menciumnya dan memerintahkannya untuk duduk di samping beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membisikkan sesuatu kepadanya sehingga seketika saat itu, ia pun menangis. Ketika melihat kesedihan Fathimah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali membisikkan sesuatu kepadanya sehingga karenanya Fathimah tersenyum.
Setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta agar Fathimah menceritakan bisikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka Fathimah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
“Ketika beliau membisikkan sesuatu kepadaku pada kali yang pertama, beliau memberitahukan bahwa sesungguhnya Jibril membacakan Al Quran kepada beliau satu kali setiap tahunnya, sedangkan saat ini Jibril membacakan Al Quran dua kali dalam setahun kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah melihat kecuali ajalku telah dekat maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik pendahulu bagimu adalah aku.” Fathimah melanjutkan, “Karena mendengar perkataan beliau itulah aku pun menangis, sebagaimana tangisan yang engkau lihat. Saat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihanku maka kembali beliau membisikku untuk kedua kalinya dan berkata, “Wahai Fathimah apakah engkau tidak ridha bahwa engkau akan menjadi pemimpin para wanita di surga? Sesungguhnya engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.” Kemudian (karena mendengar itu) aku pun tertawa.”
SubhanAllah… benar-benar sebuah perkataan yang menyejukkan hati dan menenangkan jiwa. Dan tidaklah mungkin kata-kata tersebut diucapkan dengan kedustaan sekalipun dengan maksud menghibur. Sungguh jauh yang demikian dari akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal Al Amin, Ash Shadiqul Masduuq, yaitu yang terpercaya, yang benar lagi dibenarkan perkataannya. Tidak lain kata-kata itu diberikan shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendahulu kabar gembira bagi Fathimah radhiyallahu ‘anha, sebagai bukti keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya akan amal ibadahnya selama di dunia, sehingga beliau termasuk salah seorang shahabiyah yang dikabarkan akan masuk surga dalam keadaan masih hidup.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbukti. Kurang lebih 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah tiba-tiba jatuh sakit. Dan akhirnya pada tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriyah Fathimah radhiyallahu ‘anha meninggal dunia pada usia 27 tahun. Fathimah benar terbukti menjadi keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali menyusul beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ke hadapan Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya dan memudahkan kita semua untuk mengambil pelajaran dari perjalanan hidup beliau yang penuh kemuliaan. Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 34 vol. 3 1437 H/ 2015 M rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.