إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَـٰمُ
"Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam" (Ali Imran: 19),
merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta'ala dan tidak ada kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi.
Allah Ta'ala berfirman:
أَفَغَيْرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُۥٓ أَسْلَمَ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
"Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan." (Ali Imran: 83).
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَـٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ
"Dan siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imran: 85).
Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta'ala dalam segala segi, segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah dijelaskan, sehingga tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya.
Allah Ta'ala berfirman:
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian." (Al Maidah: 3)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata: "Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wassalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada hal yang bertentangan." (Tafsir Al Qur`anul Azhim 3/14. Dar Al Ma'rifat).
Pernah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab rodhiyallahu 'anhu lalu ia berkata: Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian." turun atas kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya. Maka Umar menjawab: "Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum'at." (Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya nomor 45,4407,4606).
Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu membuat-buat hari raya baru karena Allah menurunkannya tepat pada hari besar yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, yaitu hari Arafah dan hari Jum'at.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah rodhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya ..." (Shahih Bukhari nomor 6604).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (juz 4 halaman 2217) dari Abu Zaid Amr bin Akhthab rodhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Shubuh bersama kami. (Selesai shalat) beliau naik ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Dhuhur, beliau turun dari mimbar dan shalat Dhuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari mimbar dan shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu mengkhutbahi kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau mengabarkan pada kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung ..."
Bid'ah Adalah Kesesatan
Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini diistilahkan bid'ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
فَإِنَّ خَيۡرَ الۡحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيۡرُ الۡهُدَىٰ هُدَىٰ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الۡأُمُورِ مُحۡدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR. Muslim no. 867)
Mengapa Bid'ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat?
Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan kesempurnaan agama ini.
Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti ia menuduh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar rodhiyallahu 'anhu mempersaksikan: "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami."
Abu Dzar kemudian berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian." (HR. Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).
Imam Malik rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam sesuatu kebid'ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah telah berfirman: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian." Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan bagian dari agama. (Lihat Al I'tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)
Ketiga, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap dirinya lebih berilmu dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apakah Teranggap Niat Baik Seseorang Ketika Berbuat Bid'ah?
Bagaimana bila ada orang yang berkata bahwa ia membuat-buat amalan bid'ah atau mengerjakannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah? Maka dijawab bahwa syarat diterimanya suatu amalan tidaklah sekedar niat baik atau ikhlas, namun juga harus dibarengi dengan Mutaba'ah Ar Rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), adakah contohnya dari beliau atau tidak.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَـٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
"Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal shalih dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam peribadatan kepada-Nya." (QS. Al Kahfi: 10)
Beliau rahimahullah berkata: Firman Allah: "... hendaklah ia melakukan amal shalih..." Yang cocok/sesuai dengan syariat Allah. Dan firman-Nya: "... dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam peribadatan kepada-Nya." Yang diinginkan dalam beribadah tersebut adalah wajah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya. Dua rukun diterimanya amalan adalah (pertama) harus dilakukan ikhlas karena Allah dan (kedua) amalan tersebut benar dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Tafsir Ibnu Katsir 3/114) ].
Terhadap firman Allah Ta'ala:
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
"Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kalian siapa yang paling baik di antara kalian amalannya." (QS. Al Mulk: 2)
Al Fudlail bin Iyadl rahimahullah berkata: "Amalan yang paling baik adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar/tetap. Karena amalan yang hanya disertai keikhlasan namun tidak benar maka amalan itu tidak diterima. Dan sebaliknya, bila amalan itu benar namun tidak dibarengi keikhlasan juga tidak akan diterima."
Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke rumah istri-istri beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala diberitahukan kepada mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka berkata: "Apa kedudukan kita dibanding Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang belakangan." Berkata salah seorang dari mereka: "Aku akan shalat sepanjang malam tanpa tidur selamanya." Yang kedua berkata: "Aku akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang terakhir berkata: "Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah selamanya." Lalu datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapan-ucapan mereka disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda : "Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu?! Ketahuilah! Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku juga menikahi wanita. Siapa yang benci (berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan dari golonganku (orang-orang yang menjalankan sunnahku)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niatan mereka yang baik yaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujui perbuatan mereka? Jawabannya bisa kita lihat dari pernyataan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Benar sekali apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas'ud rodhiyallahu 'anhu: "Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam perbuatan bid'ah."
Orang-orang yang mengadakan bid'ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak dengan dalil hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Dan beliau bersabda: "Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim). Karena itu yang wajib bagi kaum muslimin adalah mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa menambah ataupun menguranginya.
Hukum Membuat Bid'ah Dalam Agama
Hukum membuat bid'ah dalam agama adalah haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama), karena membuat bid'ah berarti menetapkan syariat yang menyaingi syariat Allah, yang berarti menentang dan mengadakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. (Hurmatul Ibtida' fid Dien wa Kullu Bid'atin Dlalalah, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, halaman 8)
Jalan Keluar dari Kebid'ahan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda: "Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)
Beliau juga menasehatkan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah 'azza wa jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid'ahan yang menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.
(Diringkas dari tulisan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq di www.salafy.or.id)