Cari Blog Ini

PUTRI YANG TABAH LAGI PENYAYANG

Jikalau kita memerhatikan kisah kehidupan sosok shahabiyah dalam rubrik niswah kali ini, maka kita akan berdecak kagum. Bagaimana tidak? Sekalipun dalam usianya yang terbilang belia, kehidupannya dilalui penuh dengan ketabahan dan kesabaran. Dia adalah Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri kedua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.

Dia terlahir beberapa waktu setelah Zainab Al Kubra radhiyallahu ‘anha. Dan setelahnya lahirlah saudarinya Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha dalam waktu yang tidak terpaut lama. Sehingga di bawah bimbingan ayah dan ibundanya, tiga bersaudara ini tumbuh berkembang menjadi gadis-gadis muda belia dengan kecantikan parasnya, kemuliaan nasabnya, kebaikan budi pekerti dan akhlaknya. Tak heran banyak keluarga yang berkehendak menjadikan mereka bagian dari keluarganya. Maka setelah Zainab Al Kubra menikah dengan salah satu putra khalah (bibi) mereka Abul Ash ibn Rabi’, tak lama berseleang Ruqayyah dan Ummu Kultsum dipinang oleh Abdul Uzza Ibn Abdul Muthalib (lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab), untuk kedua anaknya yaitu Utbah dan Utaibah. Dengan maksud mempererat tali kekeluargaan di antara kedua keluarga maka pinangan tersebut diterima, dan dilangsungkanlah pernikahan mereka sebelum diangkatnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul.

Akan tetapi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi dan rasul, keadaan menjadi berubah. Pernikahan yang diharapkan dapat menjadi rekatnya hubungan dua keluarga ternyata tak mampu menepis rasa kebencian Abu Lahab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyeru kaumnya untuk meninggalkan peribadatan mereka kepada berhala-berhala yang selama ini mereka sembah. Bahkan rasa kebencian yang besar di dada Abu Lahab menjadikannya sebagai salah satu sosok yang sangat besar serangan serta penghinaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal mula diangkatnya beliau sebagai nabi dan rasul. Maka bersegeralah Abu Lahab memerintahkan kedua anaknya yaitu Utbah serta Utaibah untuk menceraikan kedua putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka keduanya menceraikan Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Kedua putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya kembali ke dalam naungan ayahandanya. Mereka menjanda dalam usia yang masih sangat belia.

Takdir Allah adalah yang terbaik. Dengan dikembalikannya mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah menyelamatkan mereka dari kesengsaraan dunia untuk hidup bersama dengan kedua anak Abu Lahab, yang kedua orangtua mereka telah Allah kabarkan dalam Al Quran surat Al Lahab merupakan calon-calon penghuni neraka. Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan sebab perceraiannya bahkan dapat lebih mudah mengimani, meyakini dan mengamalkan agama Islam yang dibawa oleh ayahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sepenuh hati.

Walau demikian, Allah tidaklah menghendaki bagi hamba-Nya yang beriman dengan keimanan yang baik kecuali kebaikan. Maka Allah beri ganti bagi keduanya seorang suami yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Seorang laki-laki yang beriman kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi dan rasul. Seorang laki-laki yang sejak sebelum masuk Islam pun tidak pernah minum khamr dan menyembah berhala. Seorang laki-laki dengan kebaikan akhlak dan nasab yang Rasulullah kabarkan sejak dia masih hidup bahwa dia kelak di akhirat termasuk penghuni surga. Dia lah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Rasulullah menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anha untuk menikahi Ruqayyah. Bahkan setelah wafatnya Ruqayyah, Rasulullah kembali menikahkan anak beliau Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Itulah sebabnya Utsman bin Affan diberi gelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), karena tidak ada yang mengumpulkan dua anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dia. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengeluarkan suatu perkataan yang menunjukkan keridhaannya kepada Utsman ibn Affan setelah wafatnya putri beliau Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha dengan perkataan, “Nikahkanlah anak kalian dengan Utsman. Jika aku memiliki putri ketiga (yang tersisa) niscaya aku akan menikahkannya dengan Utsman”.

Pernikahan Utsman bin Affan dengan Ruqayyah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlangsung di masa-masa sulit, di saat banyaknya tekanan dan gangguan diberikan oleh para pemuka Quraisy. Tekanan kepada siapa saja yang mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tekanan demi tekanan senantiasa diberikan orang-orang Quraisy kepada kaum muslimin dimulai pada pertengahan tahun ke empat nubuwwah hingga pertengahan tahun ke lima nubuwwah. Terutama yang menjadi sasaran kemarahan mereka adalah kaum yang lemah dari kalangan muslimin. Kondisi tersebut menyebabkan Mekkah terasa sempit bagi kaum muslimin yang tertindas. Mereka mulai berpikir untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang bertubi-tubi. Maka, mulailah satu persatu Allah turunkan ayat-ayat yang menjawab kekhawatiran dan permintaan kaum muslimin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya turunlah Al Quran surat Az Zumar : 10, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ يَـٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَـٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَ‌ٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba yang beriman, bertakwalah kepada Rabb kalian. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dalam kehidupan dunia ini (akan memperoleh) kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Setelah turun ayat tersebut yang mengisyaratkan bahwa bumi Allah luas, tidaklah sempit, sehingga seseorang dapat mencari tempat yang memudahkannya bertakwa kepada Allah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengarahkan pandangannya kepada suatu daerah bernama Habasyah yang dipimin oleh seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana yaitu Ashhamah An Najasy. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beberapa orang muslimin yang mampu untuk berhijrah (berpindah tempat) untuk hijrah ke Negeri Habasyah. Maka pada bulan Rajab tahun ke lima nubuwwah berjalanlah sekelompok sahabat yang terdiri dari kurang lebih dua belas orang laki-laki dan empat orang wanita menuju Habasyah. Mereka dipimpin oleh Utsman bin Affan bersama istrinya Ruqayyah radhiyallahu ‘anha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang keduanya (yang artinya),
Mereka adalah penduduk Baitul Haram pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth alaihimas salam”.

Demikianlah, dengan mengendap-endap kaum muslimin berjalan di waktu malam menuju ke pinggiran pantai hingga tiba di pelabuhan Syaibah. Dan ketika ada kapal yang bertolak menuju Habasyah, mereka menaikinya. Kelompok tersebut sempat dikejar oleh sekelompok orang-orang Quraisy, akan tetapi mereka berhasil menyelematkan diri sampai di negeri Habasyah dan mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang cukup baik di sana.

Akan tetapi sekalipun demikian, kaum muslimin di negeri Habasyah tidaklah berputus asa mengembangkan harapan mereka untuk bisa kembali ke tanah kelahiran dan berkumpul bersama sanak keluarga. Mereka senantiasa mencari kabar tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di Mekkah. Pernah terdengar kabar tentang sujudnya kaum musyrikin Quraisy di Mekkah ketika mendengar beberapa ayat dari surat An Najm dibacakan. Maka mereka menyangka bahwa orang-orang Quriasy telah masuk Islam, akan tetapi ternyata kabar tersebut tidak benar.

Dan akhirnya, setelah mereka mendengar kabar akan keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib serta Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhuma dan bagaimana dampak keislaman keduanya terhadap kekuatan kaum muslimin di Mekkah, yang semula kaum muslimin menyembunyikan keislamannya dikarenakan kekhawatiran akan tekanan dan siksaan yang akan mereka dapati dengan keislaman tersebut, akan tetapi –dengan izin Allah- setelah keislaman keduanya menjadi lebih berani dan lebih kuat, maka sebagian kaum muslimin di Habasyah bergegas kembali ke Mekkah untuk ikut bergabung bersama saudara-saudaranya yang lain. Ketika itu, Utsman bin Affan bersama Ruqayyah istrinya termasuk orang-orang yang ingin kembali ke Mekkah.

Akan tetapi ternyata keadaan yang dijumpai di Mekkah tidaklah seperti yang ada dalam bayangan mereka. Tekanan dan permusuhan yang diberikan orang-orang Quraisy kepada kaum muslimin ternyata bertambah besar sekalipun keberanian kaum muslimin bertambah besar pula. Ruqayyah radhiyallahu ‘anha bersama suaminya pun dihadapkan pada berbagai tekanan tersebut. Terlebih ketika dia kembali, dia dikejutkan oleh berita wafatnya ibunda tercinta. Ruqayyah melalui semuanya dengan hati tabah dan penuh kesabaran. Di usianya yang muda Ruqayyah sudah tertuntut untuk mendampingi suaminya dalam berbagai peristiwa sulit, mengesampingkan berbagai keinginan dan kebutuhan pribadinya sebagaimana layaknya pasangan muda untuk ditukar dengan pengorbanan serta amalan di jalan Allah dalam mencari keridhaan Rabbnya, kemudian keridhaan suaminya… subhanAllah.

Setelah peristiwa Baiat Aqabah yang kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa kaum muslimin yang berada di Yatsrib (Madinah) telah siap menerima saudaranya sesama muslim dari Mekkah untuk tinggal dan membangun masyarakat Islam bersama di Madinah. Kesiapan bahkan penantian mereka akan kedatangan saudara-saudaranya sesama muslim untuk datang ke kampung mereka. Bukanlah sekedar karena perasaan belas kasihan, akan tetapi didasari oleh rasa keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka secara bertahap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin yang ada di Mekkah untuk segera hijrah ke Madinah. Termasuk dalam rombongan kaum muslimin yang berhijrah ke Madinah tersebut Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama suaminya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Kehidupan baru bersama suami tercinta dilalui Ruqayyah radhiyallahu ‘anha dengan penuh rasa syukur hingga kemudian Allah berkenan memberikan kepada keduanya seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Abdullah. Serasa tergantikan semua duka dan kesulitan yang sebelumnya mereka lalui, berganti dengan kebahagiaan bersama anak yang datang di tengah-tengah mereka.

Akan tetapi, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Abdullah meninggal akibat sebuah luka yang dideritanya. Dia wafat dalam usia 6 tahun. Sekali lagi kesabaran Ruqayyah diuji. Kehilangan seorang anak yang dicintai memang bukan perkara yang mudah untuk dijalani, akan tetapi berbekal ketakwaan dan kesabaran dilalui semua peristiwa dalam kehidupannya dengan penuh keridhaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak berapa lama sepeninggal Abdullah, Ruqayyah radhiyallahu ‘anha sendiri kemudian tertimpa penyakit. Sang suami dengan sabar menemani dan mendampinginya hingga ajal menjemputnya.

Subhanallah. Tidaklah kita melalui kisah tentang para pendahulu kita yang saleh, kecuali akan kita temui bahwa mereka memang sosok-sosok yang patut untuk dijadikan suri teladan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semua dan memudahkan kita untuk bisa mencontoh mereka, serta mengumpulkan kita kelak bersama mereka di jannah-Nya yang penuh kenikmatan. Amin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 36 vol. 04 1437 H/ 2016 M rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.